Pascakolonialisme (hubungan internasional)

Revisi sejak 16 September 2023 20.26 oleh Ferian Nilman (bicara | kontrib) (Fitur saranan suntingan: 1 pranala ditambahkan.)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Pascakolonialisme adalah pendekatan kritis terhadap hubungan internasional (HI) dan bukan teori arus utama. Menurut Baylis, hubungan internasional pascakolonial umumnya ditinggalkan oleh para teoriwan HI arus utama dan belakangan ini mulai memiliki pengaruh bagi disiplin ini. Pascakolonialisme berfokus pada bertahannya kekuasaan kolonial dan rasisme dalam politik dunia.[1]

Pascakolonialisme menantang HI yang eurosentris, terutama asumsi parokialnya yang menganggap pemikiran Renaisans Barat lebih superior, progresif, dan universal. Kaum pascakolonialis menduga ini terjadi karena konstruksi sosial yang menyatakan bahwa orang-orang di luar Eropa (the Other) irasional dan terbelakang.[2]

Pascakolonialisme berusaha membantah asumsi-asumsi parokial HI, misalnya konstruksi orang kulit putih versus orang kulit berwarna (coloured). Contoh lainnya adalah beban orang kulit putih (white men's burden) untuk mendidik dan membebaskan orang kulit berwarna, dan melindungi perempuan berwarna dari pria berwarna. Contoh ini kadang berkaitan dengan teori pascapositivis lain seperti feminisme pascakolonial yang menganalisis isu-isu HI melalui sudut pandang gender dan budaya.

Contoh sifat parokial dalam HI adalah parokialisme geografi dan chauvinisme budaya. Pada contoh pertama, konstruksi yang menyatakan bahwa Perang Dingin adalah masa-masa damai justru mengabaikan kenyataan bahwa konflik-konflik besar masih berlangsung di dunia berkembang. Selain itu, sejarah HI yang kerap digunakan justru dikonstruksi dengan unsur-unsur Barat (lihat subbagian Hubungan internasional#Sejarah), dan HI telah digunakan untuk membenarkan apapun mulai dari imperialisme sampai "tempat bermain" bagi permusuhan antara dua negara adidaya saat Perang Dingin. Pada contoh kedua, Barat (melalui organisasi antarpemerintah; contohnya aksi IMF untuk "menyelamatkan" Asia setelah krisis keuangan Asia 1997–8) dapat dipandang sebagai beban orang kulit putih untuk menyelamatkan Asia atau menata ulang kapitalisme Asia sesuai pandangan Barat.[3]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Baylis, Smith and Owens, The Globalisation of World Politics, OUP, 4th ed, p187-189
  2. ^ Edward Said (1979), Orientalism, New York: Vintage Books
  3. ^ Cultural Chauvinism and the Liberal International Order - ‘West vs Rest’ in Asia’s Financial Crisis - Forthcoming in G. Chowdhry and S. Nair (eds), Power in a Postcolonial World: Race, Gender and Class in International Relations (London: Routledge) http://www.isanet.org/archive/ling2.html