Kerendahan hati

Revisi sejak 20 September 2023 08.17 oleh Hanin Al Wafa (bicara | kontrib) (pengertian tawadhu)

Kerendahan hati (Inggris: humility, Arab: تَوَاضَعٌ atau tawādhu) artinya ialah suatu sikap menyadari keterbatasan kemampuan diri, dan ketidakmampuan diri sendiri, sehingga dengannya seseorang tidaklah mengangkuh, dan tidak pula menyombong.[1] Karena itulah, menurut Buya Hamka (1908-81) menyatakan bahwa sifat ini membuat orang yang memilikinya tidak mencampuri urusan yang tak ia pahami, tahu membatas diri pada bidang yang ia ilmui. Orang yang begitu tahu bahwa orang yang segala tahu menandakan bahwa ia kurang pengetahuannya.[2] Karena itulah, Buya Hamka menyebut bahwa sifat rendah hati itu memiliki istilah lain, yakni tahu diri.[2]

KBBI menjelaskan definisi untuk "rendah hati", yakni "tidak sombong atau tidak angkuh".[3]

Istilah bahasa Inggrisnya, "humility" berasal daripada Latin yakni humilitas, kata benda yang bertalian dengan kata sifat humilis, yang kelihatannya bisa diterjemahkan sebagai "santun", bisa pula "membumi", atau "dari Bumi", mengingat ia adalah bentukan dari kata humus (Bumi), yang berkaitan pula dengan kata humus.[4]

PANDANGAN AGAMA ISLAM

Islam sangat menganjurkan umatnya untuk bersikap tawadhu atau rendah hati.Rendah hati sendiri menurut imam Ibnu Hajar adalah menampakkan diri lebih rendah pada orang yang ingin mengagungkannya. Ada pula yang mengatakan bahwa tawadhu’ adalah memuliakan orang yang lebih mulia darinya.” (Fathul Bari, 11: 341) sedangkan menurut imam Al Hasan Al Bashri berkata, “Tahukah kalian apa itu tawadhu’? Tawadhu’ adalah engkau keluar dari kediamanmu lantas engkau bertemu seorang muslim. Kemudian engkau merasa bahwa ia lebih mulia darimu.”[5]

Diantara tanda dalam diri ada sifat tawadhu’ menurut imam Abdullah al Haddad, dalam kitab Risalatul Muawaanah adalah:

a.     adalah lebih senang tidak dikenal daripada menjadi orang terkenal;

b.    bersedia menerima kebenaran dari siapa pun asalnya baik dari kalangan orang terpandang maupun dari kalangan orang yang rendah kedudukannya;

c.     mencintai fakir miskin dan tidak segan-segan duduk bersama mereka;

d.    bersedia mengurusi dan menunaikan kepentingan orang lain dengan sebaik mungkin;

e.     berterima kasih kepada orang-orang yang telah menunaikan hak yang dibebankan atas mereka, sementara memaafkan mereka yang melalaikannya.”[6]

Referensi

  1. ^ Octavia, Lanny; Syatibi, Ibi; Ali, Mukti; Gunawan, Roland; Hilmi, Ahmad (2014). Pendidikan Karakter Berbasis Pesantren Diarsipkan 2018-11-29 di Wayback Machine. hlm.252. Jakarta: Rene Books. ISBN 978-602-1201-06-0.
  2. ^ a b Hamka, Prof. Dr. (2016). Lembaga Budi. Hlm.151. Jakarta: Republika. ISBN 978-602-0822-16-7.
  3. ^ "rendah" kbbi.kemdikbud.go.id. Diakses pada 29 November 2018.
  4. ^ "Humble" from Merriam-Webster, m-w.com
  5. ^ Ibnu Hajar al Asqolani, Fathul Bari
  6. ^ Imam Abdullah bin ALwi al Haddad, Risalatul Muawanah