Kawih adalah seni musik tradisional yang berasal dari barat daya kepulauan Sunda Besar. Kesenian ini biasanya ditampilkan oleh seorang penyanyi dengan iringan permainan alat musik tradisional Sunda seperti kacapi indung (kecapi besar), suling, kacapi rincik (kecapi kecil), dan rebab.

Tembang yang diiringi kacapi dan seruling.

Tembang Sunda pada awalnya disebut juga dengan istilah Cianjuran. Istilah Tembang Sunda mulai diperkenalkan sejak tahun 1962 dengan alasan bahwa kesenian gaya Cianjuran tidak hanya terbatas pada satu daerah tertentu melainkan telah banyak diadopsi di kawasan lain.[1] Tembang Sunda kadang membawa kebingungan karena banyak jenis musik Sunda lain disebut sebagai tembang Sunda.[1]

Sejarah

Sejarah Tembang Sunda berasal dari seni bercerita (carita pantun) tentang mitos dan legenda suku Sunda misalnya cerita asal mula padi (Kisah Sulanjana) dan nenek moyang (Kisah Mundinglaya di Kusumah).[1] Carita pantun itu ditampilkan dalam perayaan-perayaan seperti pesta sunatan, pernikahan, panen raya atau ritual penyucian. Cerita kuno yang disampaikan telah tertulis dalam dokumen berbahasa Sunda klasik berjudul Sanghyang Siksakanda ng Karesian yang ditulis tahun 1518. Carita pantun selalu diiringi dengan petikan alat musik utama berupa kacapi. Kombinasi pantun dan kacapi ini diperkirakan telah dilakukan sejak zaman kuno.[1] Pada tahun 1840, Bupati Cianjur yang bernama Dalem Pancaniti memerintahkan keempat orang penulis puisi untuk menciptakan lagu-lagu berdasarkan episode carita pantun.[1]

Tembang Sunda merupakan tradisi yang diturunkan dari mulut ke mulut (oral) sehingga kebanyakan nama penciptanya tidak diketahui.

Lagu-lagu

Lagu-lagu dalam Tembang Sunda dibagi ke dalam kategori papantunan, jejemplangan, dedegungan, rarancangan, kakawen, dan panambih yang masing-masing bisa dibedakan menurut musik serta isi liriknya (puisi).[2]

Papantunan adalah lagu-lagu yang diciptakan pada awal abad ke-19 dan dianggap sebagai dasar Tembang Sunda, sementara kategori lainnya berusia lebih muda. Lagu-lagu Papantunan banyak yang berasal dari carita pantun Mundinglaya di Kusumah, antara lain yang berjudul: Mupu Kembang (memetik bunga), Pangapungan (perjalanan di angkasa) dan Nataan Gunung (menghitung gunung). Lagu-lagu ini dianggap sebagai repertoar Tembang Sunda yang paling awal. Dalam lima puluh tahun terakhir banyak Rarancagan dan Panambih baru yang diciptakan.[3]

Ritual keagamaan

Tembang Sunda dianggap sebagai kesenian yang berhubungan erat dengan ritual keagamaan. Sama seperti carita pantun, Tembang Sunda juga sering digunakan dalam ritual penyucian (ngaruat).[1] Lagu tertentu dianggap mengandung nilai magis yang dimainkan menyembuhkan orang yang dimasuki roh (kasurupan).

Referensi

  1. ^ a b c d e f Zanten 1984.
  2. ^ Julia 2011, hlm. 58-60.
  3. ^ Williams 1990, hlm. 75.

Daftar pustaka

  • Williams, Sean (1990). The Urbanization of Tembang Sunda: An Aristocratic Musical Genre of West Java, Indonesia (dalam bahasa Inggris). University of Washington.