Tegaldowo, Gunem, Rembang
Tegaldowo adalah desa di kecamatan Gunem, Rembang, Jawa Tengah, Indonesia. Desa ini terkenal di daerah sekitarnya karena menjadi arus perlintasan desa-desa sekitarnya. Desa ini begitu sederhana, pasar tradisional di pagi hari menjadi keramaiannya.
Tegaldowo | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Jawa Tengah | ||||
Kabupaten | Rembang | ||||
Kecamatan | Gunem | ||||
Kode Kemendagri | 33.17.03.2003 | ||||
Luas | 1061,85 ha | ||||
Jumlah penduduk | - | ||||
Kepadatan | - | ||||
|
Geografi
Terletak 37 kilometer dari pusat kota Rembang, daerah ini memiliki banyak pohon jati milik Perhutani di sepanjang jalan menuju desa. Tegaldowo terletak dekat perbatasan Kabupaten Rembang-Blora, dan berada di Pegunungan Botak.
Demografi
Penduduk tinggal di rumah-rumah joglo, dan hampir di setiap rumahnya memiliki ternak seperti sapi atau kambing. Mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai petani.
Menurut data tahun 2008, jumlah penduduk yang buta huruf sebanyak 900 jiwa. Yang tidak tamat sekolah dasar 1637 jiwa, tidak tamat sekolah lanjutan tingkat menengah sebanyak 351 orang, dan tidak tamat sekolah lanjutan tingkat atas 41 jiwa. Tak banyak yang bisa mengenyam bangku pendidikan tinggi. Meski demikian, data untuk mereka yang tamat SD pada tahun 2008 sebanyak 2046 orang. Rendahnya lulusan pendidikan di sana erat kaitannya dengan tradisi menikah muda di desa ini.
Tradisi pernikahan muda
Menurut data dari KUA Gunem, antara bulan Januari 2008 sampai Juni 2009 tercatat 21 pernikahan di bawah usia 16 tahun. Hal ini terkait dengan kepercayaan yang mereka anut, yaitu bahwa jika orang tua memiliki anak perempuan dan ditanyakan atau diminta seorang pria untuk dinikahi harus diterima. Jika menolak, maka dipercaya anak itu takkan menemui jodoh kembali di kemudian hari.
Sering orang tua tidak mempedulikan apakah anak gadisnya mau dinikahkan atau tidak. Anak gadis usia belia di Tegaldowo banyak yang sudah menjanda, dan menurut tradisi di sana lebih diterima ketimbang menjadi perawan tua.
Sebelum Reformasi, cukup banyak terjadi anak perempuan usia di bawah usia 12 tahun dinikahkan dengan pria berusia 20 tahun lebih. Namun, sejak abad ke-21, tradisi menikahkan anak di bawah usia SD sudah amat jarang. Hanya pernikahan anak usia SLTP yang masih sering terjadi.