Hikayat Aceh adalah tulisan sejarah mengenai Kesultanan Aceh yang ditulis dalam Bahasa Melayu dengan Aksara Arab. Hikayat ini menceritakan kejayaan Sultan Iskandar Muda (1583-1636) yang saat ini menjadi Pahlawan Nasional Indonesia.[1]

Manuskrip Hikayat Aceh secara resmi menjadi Memory of The World atau warisan dunia yang ditetapkan organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) pada 18 Mei 2023. Naskah berbahasa Melayu dalam aksara Arab itu menceritakan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda.[2] Nominasi naskah ini diajukan bersama oleh Belanda dan Indonesia. Manuskrip ini sangat istimewa. Sebab, tergolong sangat tua untuk sebuah manuskrip berbahasa Melayu yang ditulis pada abad ke-17. Penyusunan naskah tersebut atas inisiatif Sultan Safiyyat al-Din Syah, putri Sultan Iskandar Muda. Di dalamnya juga banyak menceritakan kehidupan di Aceh masa itu, perang, Islam, dan hubungan luar negeri Aceh—di antaranya dengan Portugal, Cina, dan Turki.

Naskah Hikayat Aceh tergolong langka dengan hanya tiga manuskrip yang masih ada. Menurut situs Universitas Leiden, ada tiga manuskrip yang diusulkan ke UNESCO. Dua di antaranya saat ini disimpan di Leiden dan satu lagi di Perpustakaan Nasional Indonesia. Naskah tertua dan paling lengkap ada di Perpustakaan Universitas Leiden, yang ditulis sekitar tahun 1675-1700. Sebuah salinan yang juga disimpan di Leiden ditulis pada 1847 dan ditulis dalam bahasa Melayu Batavia. Adapun manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Indonesia merupakan salinan pada awal abad ke-20. Hikayat ini merupakan sumber penting bagi siapa pun yang tertarik dengan Islam, hubungan internasional, dan sejarah Aceh.

Daftar Hikayat

  1. Hikayat Prang Sabi
  2. Hikayat Raja-raja Pasai
  3. Hikayat Teungku di Meukek
  4. Hikayat Prang Peuringgi
  5. Hikayat Prang Gompeuni
  6. Hikayat Malem Diwa
  7. Hikayat Banta Beuransah
  8. Hikayat Meudeuhak

Referensi