Lie Eng Hok (1893-1961) dulu adalah seorang aktivis kemerdekaan Indonesia. Ia juga merupakan jurnalis di koran Tionghoa Indonesia, Sin Po. Pemerintah Belanda lalu menuduh Lie terlibat dalam pemberontakan di Banten pada tahun 1926, sehingga Lie akhirnya diasingkan ke kamp konsentrasi Boven-Digoel mulai tahun 1927 hingga 1932.[1][2] Ia juga merupakan teman dekat dari Wage Rudolf Supratman, penulis lagu kebangsaan Indonesia.[3] Pada tahun 1959, Lie dianugerahi gelar Perintis Kemerdekaan oleh pemerintah Indonesia.[4]

Potret dari Lie Eng Hok, tahun tidak diketahui

Biografi

Lie lahir di Balaraja, Tangerang, Banten, Hindia Belanda pada tanggal 7 Februari 1893.[4][3] Tidak banyak yang diketahui mengenai masa kecil Lie.[5]

Pada dekade 1910-an dan 1920-an, ia menjadi jurnalis di koran Sin Po, serta di sejumlah koran berbahasa Melayu seperti Sin Bin, Tjemboek, dan Kong Po.[6][5] Menurut sejarawan Michael C. Williams, Lie mungkin adalah salah satu orang pertama yang bergabung dengan PKI di Banten.[7] Orang-orang pertama yang bergabung dengan PKI di Banten ternyata adalah pekerja percetakan, terutama di koran berbahasa Belanda, De Banten-bode, dan Lie merupakan salah satunya. Lie lalu terkena masalah hukum di Serang, pada bulan September 1925 karena berupaya mengunjungi koleganya di penjara dan menolak untuk mundur ketika izinnya ditolak.[8] Pada bulan Oktober 1925, PKI membuka kantor di bangunan milik Lie di Pasar Serang.[7]

Pada tahun 1926, ia keluar dari Banten dan membuka sebuah toko buku di Pasar Johor, Semarang. Sembari menjaga toko, serta membeli dan menjual buku di rumahnya, ia juga kerap menjadi penceramah untuk orang-orang yang simpatik dengan PKI atau gerakan kemerdekaan Indonesia.[4][5][1] Namun, pada musim gugur tahun 1926, kepolisian Banten meminta kepolisian Semarang untuk menahan Lie atas keterlibatannya dalam pemberontakan PKI kepada pemerintah di sana.[6] Ia kemudian dituntut atas perannya sebagai propagandis PKI dan ikut serta dalam pemberontakan dengan nama samaran Eming.[9] Pada akhir tahun 1927, ia diasingkan ke kamp konsentrasi Boven-Digoel di Papua.[4] Ia pun menjadi salah satu dari hanya segelintir Tionghoa Indonesia yang diasingkan oleh Belanda.[5] Sebagian besar Tionghoa yang diasingkan di Boven-Digoel dituduh sebagai anggota PKI yang terlibat dalam pemberontakan di Banten pada tahun 1926.[2]

Saat di sana, ia menolak untuk berkolaborasi dengan pemerintah Belanda, sehingga ia menjadi salah satu dari hanya beberapa tahanan yang tidak mendapat fasilitas yang layak. Ia pun bertahan hidup dengan cara memperbaiki sepatu milik tahanan lain.[3][5] Pada tahun 1929, ia menulis sebuah surat ke Sin Po mengenai kondisi di kamp yang makin buruk. Isi surat tersebut kemudian juga diterjemahkan dan dicetak ulang oleh pers Belanda.[10][11] Dalam surat tersebut, ia mencatat bahwa pengelola kamp telah mengurangi tunjangan untuk tahanan sebanyak seperempat, dan pada tahun berikutnya, para tahanan tidak akan mendapat tunjangan sama sekali. Ia juga menyatakan bahwa ia mengelola sebuah kedai kopi di kamp untuk bertahan hidup, tetapi ternyata tidak mencukupi, sehingga ia bermaksud meminta bantuan dari Sin Po.

Ia akhirnya dibebaskan dari Boven-Digoel sesuai keputusan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tanggal 19 Januari 1932.[4] Ia pun kembali ke Semarang dan kembali bekerja sebagai penjual buku.[1]

Pada tanggal 22 Desember 1959, ia dianugerahi gelar Perintis Kemerdekaan oleh pemerintah Indonesia.[4]

Ia akhirnya meninggal pada tanggal 27 Desember 1961. Jenazahnya awalnya dimakamkan di sebuah pemakaman umum di Semarang, tetapi pada tahun 1986, makamnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal.[5][3][12] Ia pun menjadi salah satu dari hanya dua orang Tionghoa yang dimakamkan di sana.[1]

Referensi

  1. ^ a b c d Rukardi. "Perintis Kemerdekaan Bernama Lie Eng Hok". Sejarah Semarang. Diakses tanggal 27 June 2021. 
  2. ^ a b Matanasi, Petrik (2017-01-30). "Tionghoa yang Berdagang dan Berjuang Hingga ke Boven Digoel". tirto.id. Diakses tanggal 27 June 2021. 
  3. ^ a b c d Setyautama, Sam (2008). Tokoh-tokoh etnis Tionghoa di Indonesia = [Yinni Hua zu ming ren ji] (edisi ke-1). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan Chen Xingchu Foundation. hlm. 169. ISBN 9789799101259. 
  4. ^ a b c d e f Yahya, Yunus (2002). Peranakan idealis : dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya (edisi ke-Cet. 1). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 3–7. ISBN 9789799023841. 
  5. ^ a b c d e f Pamungkas, M. Fazil (2020-01-27). "Lima Tionghoa di Taman Makam Pahlawan". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. Diakses tanggal 27 June 2021. 
  6. ^ a b "CHINEES AANGEHOUDEN. Verdenkingen". De Locomotief. 1926-11-29. 
  7. ^ a b Williams, Michael C. (2010). Sickle and crescent : the Communist revolt of 1926 in Banten (edisi ke-1st Equinox). Jakarta: Equinox Pub. ISBN 9786028397537. 
  8. ^ "Communistisch Nieuws". Bataviaasch Nieuwsblad. 1925-09-11. 
  9. ^ "De Geïnterneerden". De Koerier: dagblad voor Ned.-Indië (dalam bahasa Belanda). 1927-12-16. 
  10. ^ "KOLONIEN De Chineesche balling in Boven-Digoel". Arnhemsche courant (dalam bahasa Belanda). 1929-05-07. 
  11. ^ "Noodkreet uit Digoel". Deli courant (dalam bahasa Belanda). 1929-10-04. 
  12. ^ "Lie Eng Hok (1893-1961)". Find a Grave (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 27 June 2021.