Strategi Singapura

Revisi sejak 19 Oktober 2023 17.53 oleh Inspektur Prindapan (bicara | kontrib) (Fitur saranan suntingan: 2 pranala ditambahkan.)

Strategi Singapura adalah kebijakan pertahanan laut Imperium Britania yang melibatkan serangkaian rencana perang dari tahun 1919 sampai 1941. Strategi ini bertujuan mencegah agresi Kekaisaran Jepang dengan menugaskan satu armada Royal Navy di Asia Timur, yang mampu mencegat dan mengalahkan armada Jepang yang bergerak ke selatan menuju India atau Australia. Agar efektif strategi ini mensyaratkan pangkalan yang memiliki perlengkapan baik. Singapura, yang berada di ujung timur Selat Malaka, dipilih sebagai lokasi paling sesuai pada tahun 1919. Pembangunan pangkalan dan pertahannya dilaksanakan selama dua dasawarsa berikutnya.

Strategi Singapura
A formidable line of warships with big guns heads straight toward you, trailing smoke
HMS Repulse memimpin kapal perang saudaranya HMS Renown dan kapal perang utama lainnya dalam manuver pada tahun
Era1919–1942
Ruang tempurLaut

Para perencana meramalkan bahwa perang dengan Jepang akan berlangsung dalam tiga fase: ketika garnisun di Singapura mempertahankan bentengnya, armada laut akan melaju dari perairan Inggris ke Singapura, membantu atau merebut kembali Hong Kong, dan memblokade Kepulauan Jepang untuk memaksa Jepang buat berdamai. Gagasan invasi Jepang ditolak karena dianggap tidak praktis, namun para perencana Britania tidak menduga bahwa Jepang akan bersedia terlibat dalam pertempuran laut yang menentukan dengan mati-matian. Sadar akan dampak blokade terhadap bangsa kepulauan di jantung imperium maritim, mereka merasa bahwa tekanan ekonomi akan mencukupi.

Strategi Singapura adalah landasan kebijakan pertahanan Imperium Britania selama dasawarsa 1920-an dan 1930-an. Pada tahun 1937, menurut Kapten Stephen Roskill, "konsep 'Armada Utama ke Singapura', telah, mungkin lewat pengulangan terus-menerus, tidak dapat diganggu gugat layaknya Kitab Suci".[1] Gabungan kesukaran keuangan, politik dan praktis memastikan bahwa strategi ini tidak dapat dilaksanakan. Selama dasawarsa 1930-an, strategi ini dikritik berkali-kali di Britania dan di luar negeri, terutama di Australia, tempat Strategi Singapura digunakan sebagai dalih kebijakan pertahanan yang kikir anggaran. Strategi ini pada akhirnya berujung kepada pengiriman Pasukan Z ke Singapura dan penenggelaman kapal perang Prince of Wales dan Repulse oleh serangan udara Jepang pada 10 Desember 1941. Jatuhnya Singapura yang terjadi kemudian disebutkan oleh Winston Churchill sebagai "bencana terburuk dan penyerahan yang terbesar dalam sejarah Britania".[2]

Catatan

  1. ^ McIntyre 1979, hlm. 214
  2. ^ Churchill 1950, hlm. 81

Referensi