Ngabe Anom Soekah
Ngabe Anom Soekah atau Ngabe Sukah adalah seorang Dayak Ngaju yang menjadi pemimpin (pambakal) di Pahandut pada 1908 dimana saat itu Pahandut masih menjadi bagian dari negara Hindia Belanda.
Ngabe Anom Soekah | |
---|---|
Kelahiran | Soekah 1829, Pahandut, Bukit Rawi, Midden-Kahajan (Hindia Belanda) |
Kematian | 1942, Bukit Ngalangkang, Kuala Kapuas (Hindia Belanda)[1] |
Keturunan | 1. Stefanus Rasat 2. Djahit 3. Rikae 4. Inin 5. Darit 6. Buntit |
Ayah | Bayuh |
Ibu | Kambang |
Agama | Kaharingan |
Ayahnya bernama Bayuh, dan ibunya bernama Kambang. Orangtua Ngabe Anom Soekah berasal dari Lewu (kampung) Bukit Rawi. Dulu dikenal sebagai Lewu Barah. Kampung ini pinggiran Sungai Kahayan. Ayahnya asli orang Bukit Rawi, sedangkan istrinya berasal dari Lewu Kanamit atau Pulau Telo (Kapuas).
Disebut lewu Barah karena tempat itu berpasir sehingga terasa panas didiami. Barah adalah kata benda dalam Bahasa Ngaju yang berarti bara. Barah umumnya berasal dari kayu-kayu yang dibakar. Dulu, warga Bukit Rawi tinggal di lewu Barah, kemudian mereka pindah ke area yang tanahnya bagus dan baik untuk berladang. Dikarenakan orang-orang berladang di sana banyak, tempat itu menjadi rami atau rawi, sehingga disebut Bukit Rawi. Bukit Rawi berarti bukit yang ramai (untuk berladang).
Desa Bukit Rawi terletak di Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Pulang Pisau. Kawasan ini berjarak sekitar 21 kilometer dari Kota Palangka Raya. Karena lewu Bukit Rawi dulu dikenal dengan lewu Barah, maka temenggung yang memimpin Bukit Rawi dikenal sebagai Tamanggung Bukit Rawi atau Tamanggung Lawak Barah[2] atau Toemenggoeng Soera Djaja.[3]
Kala itu, Bayuh dan Kambang merasa Lewu Barah sudah tidak memberikan harapan untuk meneruskan hidup. Mereka bersepakat mencari area baru untuk membangun dukuh dan memulai hidup. Selanjutnya dengan perahu, mereka pergi ke hilir.
Setelah mendayung sekian waktu, Bayuh dan Kambang sampai ke tempat yang menjadi pesanggarahan Soekarno saat ke Pahandut, ayam jago yang mereka bawa berkokok untuk pertama kalinya. Ayam itu mengeluarkan suara nyaring seraya mengarahkan kepalanya ke arah Pahandut. Bagi Bayuh Kambang, ayam memberikan pertanda baik. Ayam terus berkokok, dan pada kokokan yang ketujuh, ayam jago mengeluarkannya persis di sekitar pelabuhan Rambang. Sesuai petenung, tempat itu baik untuk dijadikan pemukiman.
Di area ayam berkokok terdapat areal tanah tinggi yang disebut Bukit Manyuluh. Kawasan ini terbentang dari sekitar Pasanggarahan tempat Soekarno menginap saat datang ke Pahandut (di Jalan Kalimantan) menuju ke Pahandut lama (area Pelabuhan Rambang). Area itu terlihat cocok untuk ditinggali, karena tinggi dan terhindar dari banjir.
Tidak jauh dari kawasan itu, terdapat dataran pematang (tanah tinggi) yang membentang dari sungai Kahayan menuju sungai Rungan yang disebut Tangking atau Tangkiling, terkenal dengan sebutan Bukit Jekan dengan tanah berbukit di Tangkiling pada kawasan tepi barat sungai Kahayan, sedangkan di bagian Timur, terdapat danau besar yang dinamakan Danau Tundai dengan jumlah dan jenis ikan yang melimpah. Setelah mengetahui sumber daya yang begitu baik terbentang di seputar kawasan itu, Bayuh dan Kambang bersepakat menghentikan pencarian mereka. Mereka memutuskan membangun tempat tinggal di sini, tempat yang selanjutnya dikenal sebagai dukuh Bayuh.
Dukuh Bayuh
Di tempat baru ini (sekitar pelabuhan Rambang) Bayuh dan Kambang membangun pondok dan menjadikan kawasan itu sebagai Eka Badukuh. Eka Badukuh adalah bahasa untuk menyatakan tempat untuk untuk hidup sebagai petani. Di sini mereka memulai hidup sebagai petani, mencari ikan, berburu binatang serta mengumpulkan hasil hutan.
Di sini mereka sejahtera. Kesejahteraan mereka tersebar ke kalangan keluarganya di lewu Barah, serta lain di kawasan sungai Kahayan, sungai Rungan, sungai Kapuas dan bahkan sungai Barito. Berita itu menarik sanak famili mereka untuk ikut menetap di Dukuh Bayuh. Dikarenakan semakin banyak manusia yang bermukim di sana, diperlukan sebuah penataan sistem kemasyarakatan. Sistem ini mengikuti adat-istiadat Dayak Ngaju yang sudah berlaku di tempat-tempat lain. Masyarakat menamai tempat itu ‘Dukuh Bayuh’ mengikuti nama orang pertama yang menghuni kawasan. Agar sistem pemerintahan dan adat berjalan, warga mengangkat Bayuh sebagai kepala kampung yang mereka sebut pambakal.
Dukuh Bayuh Menjadi Pahandut
Dukuh Bayuh yang berkembang menjadi kampung Bayuh. Kampung ini semakin ramai dan berkembang. Hal ini dikarenakan kampung tersebut dilalui dan bahkan menjadi area persinggahan warga dari perhuluan sungai Kahayan dan sungai Rungan yang hilir mudik menuju kawasan muara atau Banjarmasin.
Ketika Bayuh menjadi pambakal (kepala kampung), ada seorang warganya yang dikenal dengan sebutan Bapa Handut. Warga ini memiliki anak yang bernama Handut, sehingga dipanggil Bapa Handut. Bapa Handut adalah dukun yang dikenal pandai mengobati orang sakit. Karena kesohorannya dalam mengobati itulah membuat orang-orang dari berbagai daerah mengenal Bapa Handut. Ketika menuju Pahandut, orang-orang ini selalu berkata “handak kan lewun Bapa Handut (mau ke kampungnya Bapa Handut.” Kalimat itu bisa saja menyatakan mereka mau ke kampung yang ditempati Bapa Handut. Namun karena kalimat itu selalu diperbincangkan orang, maka yang tersisa dalam ingatan orang adalah Lewu Bapa Handut.
Kondisi ini membuat Lewu Bayuh menjadi sangat terkenal, namun bukan lagi dikenal sebagai kampung Bayuh oleh orang-orang dari luar, melainkan sebagai kampung Bapa Handut (kampung yang ditempati oleh Bapa Handut). Pada akhirnya orang-orang menjadi terbiasa menyebut Lewu Bayuh menjadi lewun Bapa Handut. Sebutan lewun Bapa Handut ini disingkatkan oleh kebiasaan percakapan warga kala itu menjadi lewun Pa Handut (Bapa Handut). Sampai pada akhirnya orang-orang mengenal lewu ini menjadi Pahandut saja.
Kiprah
Ikut Perang Banjar
Sedari tanggal 18 April 1859 sampai dengan 1906 berlangsung perang antara Kesultanan Banjarmasin melawan pemerintahan Kolonial Belanda.[4] Perang yang terjadi setelah Sultan Adam mangkat ini dikenal sebagai Perang Banjar. Perang paling panas dan banyak menjatuhkan korban dari pihak Belanda kebanyakan di Barito, [[Kapuas dan Kahayan.
Pemerintah Hindia Belanda mengendalikan perpolitikan Kalimantan Tengah melalui Residen Kalimantan Timur dan Selatan (Resident Ooster en Zuinder Afdeling van Borneo) yang berkedudukan di Banjarmasin.
Sejatinya, kepentingan pemerintahan Kolonial Belanda menguasai Borneo di bagian selatan dan tengah untuk menguasai perdagangan Lada (sahang) yang menjadi komoditi penting saat itu.[5] Disamping kepentingan untuk menguasai sumber daya alam, misalnya emas, intan, batubara dan kayu. Namun karena Belanda menggunakan pendekatan militer, strategi monopoli beserta perjanjian-perjanjian yang sering kali merugikan pihak kesultanan Banjarmasin, maka Belanda secara langsung menancapkan kuku penjajahannya.
Perang yang dikobarkan Antasari mulai meletus ketika Belanda berhasil mengadu domba Pangeran Tamjidullah II dan Pangeran Hidayatullah II [6] Pangeran Antasari, pencetus perang Banjar membangun pangkalan utama kekuatan pasukan perang Banjar di sepanjang Sungai Barito. Antasari mendapat dukungan penuh dari Tamanggung Unjung atau Tumenggung Surapati, yang merupakan kakak iparnya. Oleh karena itu Antasari juga didukung oleh orang-orang Dayak di sepanjang sungai Barito. Pasukan yang paling ganas selama perang Banjar adalah laskar orang-orang Siang Murung.
Selain di Barito, perang pasukan masyarakat Dayak melawan pasukan kolonial juga terjadi di Pulau Petak pada bulan Juni 1859. Pertempuran yang disebut Perang Palangkai ini dipimpin oleh Dambung Duyu dari Kuala Kapuas dan Sutajaya dari Marabahan dan Juragan Kaut dari Tumbang Kuatan (Sungai Kapuas).[7]
November 1859 warga Dayak di Pulau Kanamit, Kapuas bertempur melawan pasukan Kolonial. Pertempuran ini dipimpin oleh Petinggi Sutil. Tembakan meriam Petinggi Sutil yang dia panggul di atas bahunya berhasil menenggelamkan armada Belanda bernama Tjipanas, meskipun akibat aksi nekat itu Petinggi Sutil terluka dan meninggal karena meriamnya pecah.[8] Sebulan kemudian juga terjadi pertempuran antara pasukan Belanda dengan warga Dayak di Pulau Telo, Kapuas. Pertempuran ini dipimpin oleh Kiai Sutajaya. Selanjutnya pada tahun 1860 perlawanan warga Dayak makin meluas, diantaranya perlawanan Tamanggung Sura Djaya (Lawak) di Bukit Rawi.
Maret 1860 Resident Overste (Letnan Kolonel) G.M. Verspyck mengumumkan bahwa perang Banjar selesai serta menghapus kesultanan Banjarmasin.[9] Selanjutnya wilayah Banjarmasin dikendalikan langsung oleh gubernur di Batavia berdasarkan proklamasi Resident F.N. Nieuwenhuyzen pada 11 Maret 1860.[10] Penghapusan kesultanan Banjarmasin oleh G.M. Verspyck mendapat perlawanan keras dari Pangeran Antasari dengan mengeluarkan proklamasi pantang menyerah pada 14 Maret 1862.
Pangeran Antasari wafat pada bulan Oktober 1862. Namun perjuangannya belum padam, karena dilanjutkan oleh Sultan Muhammad Seman, puteranya. Melalui kepemimpinan Sultan Matseman, pasukan Temenggung Surapati yang dipimpin oleh Panglima Wangkang menyerang kekuatan pasukan Belanda di Banjarmasin pada tahun 1870. Peristiwa ini dikenal dengan Perang Wangkang.[11]
Wangkang membangun kekuatan di hulu Barito, khususnya dari orang-orang Dayak Siang Murung di Puruk Cahu . Pasukan Wangkang adalah salah satu pasukan yang ditakuti Belanda. “Letnan Kolonel Schultze dalam suratnya ke Batavia mengakui pengaruh Wangkang sangat kuat, sementara Residen Tiedtke terutama begitu lemah dalam menghadapinya dan situasi politik keresidenan secara umum menakutkan.” Pernyataan ini bersumber dari Surat Letnan Kolonel Schultze kepada Panglima Tentara di Batavia: Banjarmasin, 12 Oktober 1870, dalam Verbaal, 25-1-1871 No. 33/95.[12]
Perang yang berkepanjangan ini memanggil Soekah. Soekah meninggalkan kampung Pahandut dan bergabung dengan pasukan Panglima Wangkang di Puruk Cahu. Soekah bergabung dengan pasukan orang-orang Siang yang terkenal paling ditakuti Belanda selama periode Perang Banjar. Pasukan ini dipimpin oleh Panglima Wangkang.
Kesetiaan Soekah kepada kesultanan Banjar bukan tanpa sebab. Soekah sudah diangkat sebagai Pambakal tahun 1846, takala masih sangat muda. Tamanggung yang menjadi kepala wilayah yang dipimpin oleh Soekah adalah Tamanggung Sura Jaya Pati Lawak yang berkedudukan di Bukit Rawi. Tamanggung Lawak ini sangat setia dengan Sultan Banjar dan sering kali bertempur demi Sultan Banjar. Tamanggung Lawak bertempur melawan musuh-musuh Sultan di Kotta Tumbang Manang dan Kotta Toembang Rukum. Bersama Nyai Balau, Tamanggung Lawak bertempur mempertahankan Tewah. Bahkan ketika Sultan Banjar menyerah kepada Belanda, Tamanggung Lawak tidak sepenuhnya 100 persen mengakui Belanda. Karena setelah itu anak Tamanggung Lawak bernama Mutar memimpin Perang Kasintu melawan Belanda. Perang yang digaungkan Tamanggung Lawak melawan Belanda reda setelah adanya pertemuan damai di Tumbang Anoi.
Bayuh, ayah Soekah memiliki garis keluarga atau satu keturunan dengan Tamanggung Lawak.[13] Bisa jadi kehadiran Soekah di Perang Banjar dikarenakan pengaruh seorang Tamanggung Lawak, pribadi yang dihormatinya.
Sebagai Kepala Suku Dalam Pertemuan Tumbang Anoi
Antara tahun 1700 sampai dengan 1900 masehi alam Tanah Dayak (Borneo) masih sangat keras. Pada masa itu, kayau-mengayau adalah fakta yang terjadi di Borneo. Tidak semua sub suku Dayak mengenal budaya ini, namun sebagian besar sub suku-suku besar melakukan tindakan kayau-mengayau. Ada banyak alasan yang mendasari terjadinya praktek kayau-mengayau, namun yang paling dominan adalah unsur balas dendam. Kondisi ini menjadikan sub suku Dayak terkotak-kotak berdasarkan rumpun dan kekerabatan (yang didasari aliran sungai). Masing-masing sub suku ini memiliki musuh, sehingga peperangan bisa terjadi kapan saja.
Disamping praktek kayau-mengayau, masyarakat Dayak pada masa silam mengenal sistem perbudakan. Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga Kasta, yaitu utus gantung (trah ningrat, bangsawan, pemimpin, orang kaya), utus randah (rakyat biasa) dan utus jipen (kaum budak). Utus jipen adalah kalangan budak belia yang mengabdi kepada kaum utus gantung. Perbudakan itu direkam oleh Schwaner di kampung Pulau Petak (Kapuas).[14] Sekitar tahun 1846, Pulau Petak memiliki 14.000 penduduk (orang Dayak Ngaju). Dari jumlah itu, 5.000 adalah kalangan Budak, 1.000 adalah para pemilik budak (utus gantung) dan sekitar 8.000 adalah orang merdeka.
Para raja di pesisir hampir tidak bisa menangani perkara-perkara yang berkaitan dengan kayau-mengayau dan perbudakan di pedalaman. Akhirnya penguasa kolonial di Afdeling Borneo Barat dan Borneo Timur menginisiasikan pertemuan para kepala suku, untuk membahas rencana perdamaian. Pertemuan permulaan dilakukan di Kuala Kapuas yang memutuskan Tumbang Anoi sebagai tempat pelaksanaan puncak pertemuan.
Dalam laporan J.P.J Barth (kontrolir Melawi yang hadir dalam pertemuan Tumbang Anoi) dan A.C de Heer (kontrolir Tanah Dayak) dijelaskan bahwa perkara-perkara di Tanah Dayak yang dibawa ke pertemuan Tumbang Anoi adalah soal serangan kayau-mengayau yang memanggal kepala, pengorbanan manusia (untuk upacara Tiwah), pembunuhan karena aksi balas dendam serta perbudakan.[15]
Pertemuan para kepala suku di Tumbang Anoi dilakukan dari 22 Mei sampai dengan 24 Juli 1894 (64 hari) dengan jumlah yang hadir, yaitu para kepala suku (152) dan pengawal lebih dari 1.000 orang.[16] Rapat itu membahas 300 perkara adat. Namun hanya 233 yang dapat diselesaikan, 24 perkara ditolak karena kadaluwarsa atau sudah berusia lebih dari 30 tahun, dan 57 perkara ditolak karena kekurangan bukti.
Pertemuan ini berhasil menyepakati 9 prinsip, seperti: (1) menghentikan permusuhan dengan Belanda; (2) menghentikan kebiasaan perang antar suku; (3) menghentikan balas dendam antar keluarga; (4) menghentikan kebiasaan mengayau; (5) menghentikan kebiasaan perbudakan; (6) menentukan berlakunya hukum adat; (7) penyeragaman hukum adat antar sub-suku; (8) menghentikan kebiasaan berpindah-pindah agar menetap dalam suatu pemukiman; serta (9) menyelesaikan sengketa antar sesama suku Dayak/pribumi, maupun dengan kelompok berbeda melalui pertemuan Tumbang Anoi.
Pertemuan 152 kepala suku di Tumbang Anoi juga menghasilkan 96 pasal singer (hukum adat). Dimana pasal-pasal tersebut mengatur hampir keseluruhan system kehidupan masyarakat Dayak. Secara garis besar, singer-singer dalam hukum adat Dayak Ngaju mengatur (1) kesalahan laki-laki terhadap perempuan seperti pemerkosaan, penghinaan, dll (2) merampas hak-hak orang lain (termasuk merampas perempuan, merampok/mencuri), (3) hadat perkawinan (baik yang normal maupun tidak normal/kawin sumbang, termasuk kawin lari), (4) hadat mendamaikan perkara akibat kejahatan (pembunuhan, perkelahian), (5) pelanggaran tata krama, (6) adat-istiadat kematian, (7) sengketa (hak ulayat, harta benda dan pewarisan), (8) hadat mengatur manusia dengan religi serta manusia dengan alam.
Ketika pertemuan itu dilangsungkan, Soekah hadir sebagai salah satu kepala suku Dayak Ngaju yang memimpin lewu Pahandut. Soekah terhitung dalam 152 kepala suku merumuskan perdamaian di tanah Borneo.
Peran Khusus Ngabe Anom Soekah di Tumbang Anoi
Soekah dan Damang Batoe berteman. Bahkan sebelum pertemuan di Tumbang Anoi, Damang Batu dan Soekah sempat mengadakan pertemuan. Soekah sempat menawarkan agar pertemuan itu di Pahandut, namun Damang Batu tidak setuju, karena kuatir adanya sabotase jika pertemuan itu dilangsungkan di Pahandut. Apabila dilangsungkan di Tumbang Anoi, Damang Batu berani menjamin keadaan dan kelancaran acara tersebut.
Disamping mengikuti agenda yang merangkul kepentingan orang Dayak secara khusus, Soekah memiliki agenda tersendiri atas kesuksesan acara tersebut.[16] Beberapa tahun sebelum pertemuan itu berlangsung, di Hulu Kahayan akan dilangsungkan upacara Tiwah. Pemilik tiwah menggunakan jipen sebagai korban yang dimaksukan ke tiang yang akan ditanam sandung. Pemilik tiwah membuat lubang besar untuk menanam sandung itu. Sehari sebelum pelaksanaan tiwah, mereka memasukan jipen perempuan dan anaknya yang masih bayi sebagai calon kurban ke dalam lubang itu. Pada malam harinya, terjadi hujan yang sangat lebat dan air memenuhi lubang sandung. Karena air naik, ibu dan anak ini merangkak naik. Setelah di atas, mereka berlari ke sungai dan mengambil perahu di jamban, mengayuh perahu itu menuju ke hilir.
Dengan mengikuti arus dan di tengah terpaan hujan badai, anak dan ibu ini berhasil lari. Mereka menuju ke Pahandut dan menemui Ngabe Soekah. Di hadapan Ngabe Soekah, ibu dan anak ini menjelaskan bahwa mereka adalah jipen yang akan dikorbankan dalam pelaksaan Tiwah yang melarikan diri. Mereka menyerahkan hidup mereka kepada Ngabe Soekah dan memohon perlindungan. Ngabe Soekah berjanji memberikan perlindungan kepada ibu dan anak ini.
Praktek seperti ini membuat Soekah resah. Dia ingin cara-cara seperti ini dihentikan. Oleh karena itu, pertemuan di Tumbang Anoi sangat penting bagi Soekah.
Menerima Missionaris
Tahun 1896, missionaris Jerman, G.A. Alt menjadikan Pahandut sebagai stasi. Kala itu, pambakal adalah kunci bisa atau tidaknya seseorang (apalagi orang asing) menetap di suatu kampung. Restu dari kepala kampung adalah sabda sakti yang menjadi jaminan keselamatan seseorang. Soekah menerima kehadiran missionar G.A. Alt yang berasal dari Jerman, bisa jadi karena kehadiran mereka dianggap bermanfaat.
Para misionaris ini tidak melulu menyebarkan kabar bahalap (kabar dari Injil menurut orang Ngaju), namun mendirikan sekolah-sekolah ala Jerman, mengajari masyarakat menggunakan teknologi barat kala itu, dan berdiskusi dengan warga soal masa depan suku Dayak.
Bisa jadi karena alasan inilah Soekah menerima kehadiran masionar G.A. Alt untuk menjadikan Pahandut sebagai stasinya. Terbukti, sejak kehadiran para misionar, warga Pahandut mulai sekolah dan melek aksara latin.
Berkompromi dengan Belanda
Dengan hadirnya G.A. Alt yang merupakan orang Jerman, Soekah sudah menerima orang asing di kampungnya. Tetapi tidak demikian dengan Belanda. Beberapa kali orang-orang Belanda datang ke Pahandut dan Seokah tidak menunjukan persahabatan dengan mereka. Soekah tidak pernah memberikan izin bagi orang Belanda yang ingin membangun pangkalan di sana. Soekah bahkan pernah merampas meriam kecil (lela) milik utusan Belanda. Oleh Djahit Soekah (anak kedua) dan Enath Saleh (cucu) meriam rampasan ini disembunyikan di dalam tanah, persis di belakang rumah Ngabe Soekah.
Tahun 1908, Soekah menandai suksesnya kompromi antara dirinya sebagai tokoh Dayak Ngaju dan pemimpin lewu Pahandut dengan mendirikan tiang bendera di depan rumahnya. Tiang ulin setinggi 12 meter itu dipasang bendera Belanda. Soekah juga membangun asrama interned, yang berfungsi sebagai asrama tahanan.
Perdamaian itu tidak semata perdamaian. Soekah juga mengambil keuntungan ekonomis dari sana. Dengan menggunakan kapal Rubber fond milik Belanda, Soekah rutin mendatangkan berton-ton garam dari pulau Jawa. Garam-garam ini untuk mencukup kebutuhan warga Pahandut dan bahkan warga Kahayan Tengah dan Hulu, warga Rungan dan Manuhing.
Pahandut di Zaman Ngabe Soekah
Mulai Berkebun Karet Alam
Warga Pahandut mendapatkan bibit Karet ketika Belanda masuk ke kawasan Borneo. Belanda masuk sekitar tahun 1700 an, namun karet datang kemudian, sekitar tahun 1830. Pada awalnya ditanam sembarangan begitu saja sehingga kebanyakan tumbuh tidak beraturan.
Di Pahandut, karet mulai dibudidayakan sebagai tanaman perkebunan sejak tahun 1900 an. Sejak saat itu, semua warga Pahandut menanam karet. Sehingga kawasan Jalan Kalimantan, Jalan Sumbawa, Jalan Murjani, Jalan Darmosugondo, Jalan Ahmad Yani, kawasan Bukit Tindu (dikenal sebagai Bukit Hindu sekarang), kawasan Imam Bonjol ditumbuhi tanaman buah dan karet warga Pahandut.
Pada masa penguasaan kolonial Belanda, karet dari petani Dayak dibeli oleh pemerintahan kolonial Belanda melalui lembaga yang bernama Rubber Fond. Oleh Rubber Fond, karet-karet ini diolah menjadi bahan baku industri.
Pahandut menjadi sentra karet. Beberapa kawasan penting kota Palangka Raya adalah kebun karet. Salah satu kawasan karet yang berubah bentuk adalah Bandara Panarung (Tjilik Riwut sekarang). Dulu kawasan tersebut adalah kebun karet yang dikelola oleh keluarga Djahit Soekah.
Masuknya Kristen Protestan
Gereja Protestan yang saat ini dikenal sebagai Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) masuk ke Pahandut sewaktu Ngabe Anom Soekah sebagai pambakal. Sebelum 1935, GKE disebut Gereja Dayak Evangelis. GKE yang berkembang di Pahandut dibawa oleh para misionar yang langsung tinggal di kampung tersebut.
Di tempat lain, misionaris Zending Barmen (Rheinische Missionsgesellschaft atau RMG) sudah masuk sejak tahun 1835. Namun di Pahandut sejak tahun 1896, ketika misionar G.A. Alt memulai karyanya di sana. Meskipun demikian, Pahandut sudah masuk ke peta Zending Barmen sejak 1859.
Ketika meletus perang dunia I, RMG menyerahkan wilayah misinya kepada Zending Basel (Basel Mission) di Swiss. Sehingga sejak tahun 1921, masionaris yang bertugas di Pahandut adalah G. Schwarz.
Sejak tahun 1920, jemaat GKE di Pahandut memiliki kapel untuk peribadatan di Jalan Kalimantan. Namun sejak tahun 1962, kapel itu dibongkar dan dibangunlah gereja Imanuel yang terletak di Jalan Bangka.
Bangunan gereja Imanuel di Jalan Bangka adalah gereja tertua di Kota Palangka Raya. Bangunan gereja ini dibuat ketika Pahandut masih dikelilingi kebun kelapa dan karet.
Sebagian warga Pahandut menjadi Protestan, termasuk anak dan cucu Ngabe Soekah. Anak bungsu Soekah (Buntit Soekah) bahkan menjadi salah satu pambarita (penginjil) yang aktif berkunjung ke kampung-kampung di sepanjang sungai Rungan dan Kahayan.
Masuknya Agama Islam
Soekah bersahabat karib dengan pemeluk Islam dan Nasrani. Dalam perang Banjar, Soekah berperang untuk mempertahankan distrik Bakumpai dari pencaplokan penguasa kolonial. Panglima Wangkang, pemimpin pasukan Soekah adalah orang Bakumpai. Dayak Bakumpai adalah orang-orang Dayak Ngaju yang terpusat di Barito Kuala serta kebanyakan memeluk agama Islam.
Namun Soekah benar-benar berinteraksi secara pribadi dengan Islam ketika anak ketiganya, Inin memilih menjadi Islam sewaktu menikah dengan Siti Wangi. Inin adalah pedagang karet yang sering melakukan transaksi dagang di Banjarmasin. Ketika menjual karet ke Banjarmasin, Inin bertemu dengan Siti Wangi, perempuan berdarah Cina Banjar. Siti Wangi bekerja sebagai pencatat timbangan karet di pelabuhan Banjarmasin.
Inin jatuh hati kepada Siti Wangi dan meminta izin kepada Ngabe Soekah untuk menikahinya. Soekah menyetujui pernikahan Inin dan Siti Wangi. Setelah menikah, Inin memboyong Siti Wangi dan hidup bersama Soekah. Ketika memeluk Islam, Inin menambahkan kata Abdullah di depan namanya, sehingga menjadi Abdullah Inin.
Menurut perkiraan Fahrul Dirun (menantu Abdullah Inin), Abdullah Inin tame Salam (masuk Islam) pada tahun 1925. Sebelum memeluk Islam, Abdullah Inin adalah Kaharingan.
Ketika sudah Islam, Abdullah Inin membangun surau Walfadzri yang terletak di Jalan Kalimantan. Surau ini adalah sarana ibadah umat Islam yang pertama di Pahandut dan di Kota Palangka Raya.
Memimpin Pahandut
Memimpin Kampung Pahandut
Ngabe Anom Soekah adalah kepala kampung Pahandut.[17] Di masa Soekah, para pemimpin kampung, kepala suku ataupun pemimpin politik dipilih dari keturunan pemimpin sebelumnya. Seorang temenggung yang menjabat biasanya berasal dari keturunan temenggung sebelumnya, seorang raja berasal dari keturunan raja sebelumnya. Kepemimpinan dinasti seperti ini masih berlaku sampai sekarang di Brunei Darussalam, Inggris, Arab Saudi serta negara-negara yang menganut sistem kerajaan.
Sebelum Soekah menjadi pembakal Pahandut, pemimpin kampung ini adalah Bayuh, ayah Soekah. Soekah memimpin lewu Pahandut dari tahun 1846 sampai dengan tahun 1928.[18] Dia menggantikan ayahnya ketika masih berusia muda. Bayuh memilih Soekah sebagai penerusnya karena pemuda ini dianggap cerdas, energik dan memiliki jiwa kepemimpinan yang bagus.
Ketika Perang Banjar berkecamuk di kawasan Barito, Soekah meminta izin kepada ayahnya, agar dilepaskan dari jabatannya. Dengan bergabungnya Soekah sebagai pasukan Perang Banjar, kepemimpinan di lewu Pahandut dipegang oleh kakaknya, Tindan yang digelar sebagai Jaga Tulis.
Pasca meninggalnya Panglima Wangkang dalam perang di Banjarmasin tahun 1870, Soekah kembali ke Lewu Pahandut. Sekembalinya Soekah ke Pahandut, pembakal lewu Pahandut masih dipegang oleh Tindan, kakak sulung Soekah. Namun Tindan tidak terlalu sehat, sehingga warga Pahandut meminta kepemimpinan itu dipegang kembali oleh Soekah. Akhirnya Soekah kembali menjadi pembakal lewu Pahandut.
Pada masa Soekah memimpin, kawasan Kahayan dimasukkan ke dalam Dajaksche Provintien oleh Pemerintahan Hindia Belanda. Sehingga Sungai Kahayan disebut sebagai “Groote Dajak Rivier” atau sungai Dayak besar. Kala itu Belanda (VOC dan Pemerintahan Hindia) menguasai kerajaan Banjarmasin melalui perjanjian Karang Intan I dan Karang Intan II. Kawasan Soekah termasuk ke onderdistrik Kahayan Tengah atau Mideen Kahajan
Takala Soekah memimpin, penduduk Pahandut masih sedikit. Hanya ada sekitar 20 sampai 25 rumah yang dihuni oleh 40 sampai dengan 50 kepala keluarga. Pada masa itu keluarga Dayak besar-besar. Dalam satu keluarga bisa diisi oleh 5 sampai 10 anggota keluarga.[19]
Posisi kampung utama Pahandut kala itu adalah kawasan Pelabuhan Rambang ke arah Pasanggrahan (Jalan Kalimantan Sekarang). Area pelabuhan Rambang adalah perkampungan Soekah dan anak-anaknya, sedangkan para pendatang yang datang setelah Soekah menjadi pambakal diarahkan untuk membuat rumah di Jalan Kalimantan, Jalan Ahmad Yani dan Lewu Jekan (area Tugu Soekarno).
Kampung Pahandut Di Masa Pambakal Soekah
Soekah memimpin dengan penuh wibawa. Kala itu Pahandut menjadi pintu keluar hasil hutan yang dibawa dari daerah Sabangau dan sekitar kawasan Pahandut (sungai Kahayan). Hasil hutan yang menjadi andalan saat itu adalah getah jelutung, getah hangkang, getah katiau, rotan serta damar. Disamping itu, Pahandut juga menjadi tempat transit para pedagang dari kawasan muara (Bandar Masih atau Banjarmasin) yang berdagang ke perhuluan.
Untuk memudahkan warga berkunjung ke Pahandut, Soekah membangun darmaga, persis di depan rumah besarnya (huma hai). Dengan demikian, kapal-kapal yang melalui sungai Kahayan dan sungai Rungan mudah bersandar di Pahandut. Darmaga Soekah ini menjadi cikal bakal darmaga Rambang saat ini.
Kediaman pribadi Soekah, yaitu sebuah huma hai yang besar, hanya berjarak sekitar 50 meter dari darmaga Rambang. Keseharian Soekah langsung menyaksikan aktivitas di sungai Kahayan serta pergerakkan manusia di area tersebut.
Pada masa itu, Pahandut bukan saja menjadi simpul ekonomi di jalur Kahayan dan Rungan, namun sudah menjadi simpul pemeluk kepercayaan Kaharingan, Kristen dan Islam. Para pemeluk kepercayaan ini saling menghormati dan mengikat rasa kekeluargaan yang tinggi.
Membangun Pasanggrahan
Pembakal Soekah membangun pesanggrahan, persis di samping darmaga Rambang (saat ini) yang berada di depan huma hai miliknya. Orang Pahandut menyebut bangunan itu dengan sebutan pasanggrahan. Arti yang dimaksud sama dengan pesanggrahan pada umumnya, yaitu tempat peristirahatan.
Para pengguna pasanggrahan adalah warga dari berbagai tempat, misalnya dari Rungan, Kahayan, Banjarmasin ketika berkunjung ke kampung Pahandut. Karena tersedia pasanggrahan, orang-orang merasa nyaman untuk mendatangi Pahandut. Hal ini membuat banyak kapal-kapal dagang bersandar di darmaga Rambang.
Pasanggrahan Ngabe Soekah memiliki kelebihan dari pesanggrahan biasa. Bangunan los (seperti aula) tanpa kamar itu sering kali dijadikan aula pertemuan, bahkan sebagai tempat mengadili suatu perkara.
“Seringkali pasanggrahan ini menjadi tempat pertemuan, atau bahkan tempat mengadili orang,” kata Enat, salah satu cucu Ngabe Soekah yang pernah hidup di betang bersama Ngabe Soekah.[20]
Melindungi Kawasan Pahandut
Soekah menjadi pambakal Pahandut untuk yang kedua kalinya ketika sebagai prajurit Veteran Perang Banjar. Meskipun perang di Barito (yang dikenal sebagai Perang Banjar) tetap berkecamuk pasca meninggalnya Panglima Wangkang, Soekah memilih kembali dan mengurusi kampung halamannya.
Hampir 35 tahun Soekah memimpin Pahandut dalam bayang-bayang perseteruan politik antara kesultanan Banjar dan Pemerintah Hindia Belanda.
Situasi itu membuat Soekah waspada. Dia tidak menyukai kehadiran orang-orang dari Banjarmasin dan orang asing di Pahandut. Seringkali para pendatang ini dicurigai sebagai Mata-mata pejabat Hindia Belanda.
Kecurigaan Soekah bukan tidak beralasan, karena jalur Kahayan pernah terjadi bentrokan antara para pemimpin Dayak melawan Belanda. Tamanggung Tawa atau Tamanggung Bukit Rawi terlibat bentrok dengan pejabat Belanda di Tuyun pada 1885,[21] sebagai Pambakal yang berada di bawah pengawasan kepala onderdistrik Miden Kahajan yang berkedudukan di Bukit Rawi, tentu Soekah berada di pihak Tamanggung Rawi. Apalagi setelah kejadian di Tuyun itu, sekitar 600 warga Dayak ditangkap dan dipaksa untuk menyerang Tumbang Patangan.
Pada tahun yang sama, juga terjadi bentrokan pasukan Tamanggung Binti Tampang dengan Belanda. Perlawanan Tamanggung Binti berhasil dipatahkan oleh pasukan Belanda, dan Tamanggung Binti Tampang bergabung dengan pasukan Dayak di Tewah. Pada 31 Agustus 1886, pertahanan Tamanggung Binti Tampang dan warga Tewah dipatahkan Belanda. Banyak korban yang jatuh saat itu, sehingga tempat pertempuran itu disebut Rangan Daha, karena banyak darah yang jatuh di sana.
Perang yang sudah melibatkan warga Dayak di Kahayan Tengah dan Kahayan Hulu ini bukanlah perkara yang ringan bagi Soekah. Dia tidak ingin pertempuran itu ada di Pahandut. Itulah sebabnya, dia akan mengusir atau bahkan membantai habis pihak-pihak yang dianggap mata-mata pejabat Hindia Belanda di Pahandut.
Pada masa itu, Belanda tidak berani memasuki Pahandut. Padahal cukup lama Belanda ingin membangun pangkalan di kampung itu.
Mendapat Gelar Ngabe Anom Soekah
Para pemimpin suku Dayak pada masa silam memiliki banyak Gelar. Beragam gelar tersebut misalnya; Singa, Patih, Raden, Mangku, Jaga, Ngabe. Gelar-gelar ini juga menjadi simbol keningratan seseorang dalam strata sosial Dayak Ngaju.
Soekah memakai gelar Ngabe Anom.[22] Sezaman dengan Soekah, ada pemimpin suku Dayak Ngaju dari Tumbang Manyangan yang bergelar Ngabe, yaitu Ngabe Hanjung, dan kepala onderdistrik Boven Kahajan (Kahayan Hulu) yaitu Tamanggung Ngabehi Pandji.
Soekah mendapatkan gelar Ngabe Anom dari Pemerintah Hindia Belanda, pada usia usia 79 tahun (tahun 1908). Pemberian gelar bersamaan dengan penyematan bintang jasa berbingkai perak yang berisi batu giok sebesar telur ayam kampung di tengahnya.
Tugas Pambakal Di Zaman Ngabe Soekah
Sampai hari ini, kepala desa di perkampungan orang Dayak sering disebut pambakal. Pambakal di tanah orang Dayak Ngaju saat ini dipilih melalui Pemilu kepala desa (pilkades).
Sebelum adanya UU No. 5 Tahun 1979, desa-desa di Kalimantan Tengah dikenal dengan sebutan lewu. Meskipun lewu tidak hanya digunakan untuk menyebut satuan pemukiman kecil, pemukiman besar semacam kota terkadang disebut lewu. Para pemimpin lewu dikenal dengan sebutan pambakal atau bakas lewu. Istilah desa dan kades (kepala desa) adalah istilah baru yang diadopsi dari istilah di Jawa.
Pada zaman Soekah, tanggungjawab pambakal adalah sebagai pemimpin politik sekaligus pemimpin pemerintahan. Untuk menjadi pambakal di masa lalu haruslah berasal dari keturunan pambakal sebelumnya. Seperti halnya Ngabe Soekah adalah keturunan dari Bayuh, yang merupakan pambakal pertama lewu Bayuh.
Pambakal pada masa silam ibaratkan raja kecil dalam sebuah lewu. Otoritas politik dan pemerintahan dalam lewu tersebut menjadi tugas sang pambakal.
Pambakal Pahandut di zaman Ngabe Soekah diawasi oleh kepala onderdistrik Kahayan Tengah atau Distriktshoofd van Mideen Kahajan yang berkedudukan di Bukit Rawi. Sejak tahun 1867 kepala onderdistrik Mideen Kahajan adalah Tamanggung Soera Djaya.[23]
Sebagai pambakal, Ngabe Soekah menjalankan tiga fungsi pemerintahan sekaligus, yaitu sebagai yudikatif (yang melakukan tugas-tugas peradilan dan penegakan hukum), sebagai eksekutif (yang menyelenggarakan pemerintahan), sebagai legislatif (membuat aturan-aturan dan mendengarkan aspirasi masyarakat).
Sebagai pelaksana yang menjalankan fungsi yudikatif, Soekah bisa bertindak sebagai hakim (yang memutuskan) atau sekaligus sebagai jaksa (penuntut) atau bahkan sebagai pengacara (pembela) seseorang yang berkasus. Hukum yang dipakai adalah hukum adat Dayak Ngaju.
Sebagai pelaksana yang menjalankan fungsi eksekutif, Soekah menjadi pemimpin berdasarkan kearifan lokal yang berlaku di lewu Pahandut. Dia menjadi kepala pemerintahan dan menjadi wakil warga Pahandut apabila berhadapan dengan system yang lebih tinggi, misalnya berhadapan dengan tamanggung, kontrolir, residen ataupun utusan sultan.
Menjadikan Pahandut Sebagai Pusat Distribusi Garam
Pada masa Soekah sebagai pambakal, Garam sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat di sepanjang sungai Kahayan dan sungai Rungan. Meskipun sebagai kebutuhan pokok, garam sangat sulit dicari. Tidak ada pembuat garam di kawasan ini. Garam juga tidak dijual secara bebas seperti saat ini. Oleh karena itu, garam adalah barang yang sangat berharga.
Agar keperluan garam warga di sepanjang sungai Kahayan dan sungai Rungan terpenuhi, Soekah membangun gudang garam di samping huma hai miliknya. Gudang ini adalah sebuah rumah besar, berbentuk rumah panggung, materialnya berasal dari kayu ulin.
Dengan adanya gudang penyimpanan ini, garam-garam dalam jumlah banyak dikirim dari Jawa menggunakan kapal Rubber Fond milik Belanda. Kemudian garam itu dibongkar dan disimpan di Pahandut, yang diperuntukkan bagi warga sepanjang jalur Kahayan (Mideen dan Boven Kahajan) dan Rungan Manuhing. Bentuk garam kala itu berbongkah seperti bata merah.
Garam-garam ini dibagi secara cuma-cuma kepada warga di sepanjang sungai Kahayan dan sungai Rungan. Pembagian ini diurus oleh pembantu pambakal yang disebut mantri garam. Karena menjadi pusat distribusi garam, Pahandut menjadi kampung yang ramai dikunjungi warga dari sungai Kahayan dan Rungan Manuhing.
Menjadikan Pahandut Sebagai Pusat Pengumpulan Hasil Alam
Di masa Soekah, Pahandut sudah terlibat menjadi area perdagangan. Beberapa warga kampung Soekah, termasuk anak-anaknya menjadi pengumpul hasil alam seperti rotan, kayu, getah jelutung, karet alam dan damar. Produk alam ini dikumpulkan dari warga Pahandut serta masyarakat di kawasan Kahayan dan Rungan, selanjutnya dibawa ke Banjarmasin untuk dijual. Proses perdagangan ini membuat warga Pahandut tidak hanya berurusan dengan ladang dan hutan semata, namun menjadikan mereka banyak berinteraksi dengan dunia luar.
Anak keempat Ngabe Soekah, yaitu Abdullah Inin mendapatkan jodoh dari orang muara karena sering berlayar ke pelabuhan Banjarmasin. Beberapa orang luar Pahandut, seperti Dinan Gani dan Tueng Kaling (deklerator penyerahan Pahandut ke Pemerintah Republik Indonesia) memilih menetap di Pahandut karena berdagang.
Pahandut Menjadi Pusat Pendidikan
Di zaman Soekah menjadi pambakal, Pahandut sudah menjadi kampung modern di masanya. Warga Pahandut sudah terlibat dalam dunia perdagangan dengan Banjarmasin. Bahkan Pahandut mendatangkan langsung garam dari Jawa.
Tahun 1924, misionar G. Schwarz sudah menjadi guru bagi warga Pahandut. Atas didikan para misionar, banyak warga Pahandut yang menjadi guru. Bahkan pada tahun 1927 diadakan konferensi oleh para guru di Pahandut. Pusat pendidikan ada di jalan Kalimantan saat ini. Zending mendirikan Mission School dan warga Pahandut belajar di sini.
Tidak heran, warga Pahandut sudah mengenal pendidikan latin dan melek aksara jauh sebelum Indonesia terbentuk.
Melestarikan Sumber Ikan di Danau Besar
Sampai hari ini, Palangka Raya terkenal dengan ikan-ikan sungai dari alam yang melimpah. Baung, lais, tampahas (tapah), karandang, kelabau serta berbagai jenis ikan sungai yang segar dan hidup gampang ditemukan di pasaran. Bahkan banyak warga Palangka Raya yang menggantungkan hidup dari mencari ikan, berjualan ikan segar di pasar dan membuka rumah makan khusus ikan-ikan sungai.
Rata-rata orang-orang luar yang datang ke Palangka Raya dan mencicipi ikan sungai akan terpesona dengan kegurihan ikan-ikan dari air Palangka Raya. Ikan-ikan itu berkembang di danau-danau besar seperti Hanjalutung, Takapan, Rangas, Rawet, Tundai, Kanda, Bangis, Papar, Lutan dan berbagai danau lainnya.
Sejak zaman pambakal Ngabe Soekah, danau-danau di sekitar Palangka Raya dijaga dengan ketat. Warga yang mencari ikan di danau-danau ini dilarang menggunakan racun, bahkan tuba dari alam sekalipun. Masyarakat memikili cara yang bersumber dari kearifan lokal dalam menangkap ikan.
“Keleh ketun mampatei arep melai benteng danau, daripada ketun manuwe danau (lebih baik kalian bunuh diri di tengah danau, daripada kalian menuba danau),” kira-kira demikian ancaman Soekah kepada orang-orang yang mencari ikan di sana.[24]
Kearifan ala Soekah ini diteruskan oleh anak-anaknya takala mereka menjadi pambakal. Diantara anak-anak Ngabe Soekah yang ketat menjalankan pola ini adalah Pambakal Abdullah Inin Soekah. Ketika kebijakan ini dijalankan, orang-orang hanya mengandalkan pisi (pancing), rengge (pukat), bubu, lunta (jala) serta alat-alat tradisional lainnya dalam mencari ikan di kawasan yang masuk ke lewu Pahandut. Dan pola ini berlaku sampai sekarang.
Keturunan Ngabe Anom Soekah
Soekah menikah dengan Garu (dari Buntoi). Garu memiliki nama kecil Esah.
Dari pernikahan ini, Soekah memiliki enam orang anak, yaitu Stepanus Rasad (Bapa Silie), Djahit atau Papeh (Indu Sawal), Rikae (Indu Iber), Abdullah Inin (Bapa Una), Darit (Indu Mine), Buntit (Bapa Demar).
Dari pernikahan keenam anaknya, Soekah – Garu memiliki 51 cucu kandung dan 3 cucu tiri serta 8 menantu. Anak dan Cucu Ngabe Anom Soekah :
1. Stefanus Rasat Soekah
Anak pertama bernama Stepanus Rasat. Rasat menikah dua kali, yang pertama dengan Nila Metar dan yang kedua dengan Regina Dawai Mutar. Dari pernikahan pertama lahir Silie Rasat (bapa Yob) dan dari pernikahan kedua lahir Supie (indu Enggol), Sabrin (bapa Unok).
2. Djahit Soekah
Anak kedua bernama Djahit. Djahit (Papeh) menikah dua kali, pernikahan pertama dengan Lasarus Tundjan. Dari pernikahan pertama ini Djahit memiliki 7 orang anak, yaitu; (1) Herman Syawal Tundjan (bapa Henie) menikah dengan Wilna Moetar dari desa Tewah, (2) Lusi Tundjan (indu Ana) menikah dengan Willem Dean Masal dari desa Buntoi, (3) Aser Tundjan (bapa Rite) menikah dengan Halene dari desa Kandan (Sampit), (4) Marihen Tundjan (indu Muller) menikah dengan Niu Senas dari Pahandut, (5) Ludi Tundjan (indu Nekoi) menikah dengan Manan Tuwan dari desa Bukit Rawi, (6) Mintje Tundjan (indu Palui) menikah dengan Elias Djohan dari Barimba, (7) Ruben Tundjan (bapa Paris) menikah dengan Entas dari Bukit Rawi.
Lasarus Tundjan meninggal ketika anak-anak Djahit masih kecil.
Setelah Lasarus meninggal, Djahit menikah dengan Yohanis Rasan, saudara sepupu Lasarus Tundjan.
Dari pernikahan dengan Yohanis Rasan, Djahit memiliki 6 anak, yaitu; (8) Idel Rasan (bapa Ardi) menikah dengan Rusina Masal dari desa Buntoi, (9) Murie Rasan (Indu Anggeng) menikah dengan Dinan Rahen dari Tumbang Jutuh, (10) Leni Rasan (indu Erun) Hermanus Emon Ali dari Bukit Bamba, (11) Zaini Rasan (bapa Bidin) menikah dengan Kasum asal Banjarmasin, (12) Naemi Rasan (indu Taguh) E.D Bahen dari Bahu Palawa, dan (13) Nellie Rasan (indu Herthy) menikah dengan Joseph Lautt dari desa Rabauh.
3. Rikae Soekah
Anak ketiga bernama Rikae. Rikae (baca Rika) menikah dengan Marthinus David Tundang (dari Tewah). Dari pernikahan ini Rikae memiliki 8 anak, yaitu; (1) Eberhard Tundang/Iber (Bapa Rantian), (2) Ise Tundang (Indu Lily), (3) Herbert Tundang (Bapa Kun), (4) Hendrik Tundang (Bapa Munas), (5) Alfred Tundang (Bapa Lula), (6) Keneng (Indu Sinta), (7) Ile Tundang (Indu Butet) dan (8) Godlif Tundang (Jagau).
4. Abdullah Inin Soekah
Anak keempat bernama Inin. Inin yang dikenal dengan Abdulah Inin menikah dengan Siti Wangi (Banjarmasin). Pernikahan Siti dengan suami sebelumnya memiliki 3 anak, yaitu Una Besar (indu Uus), Una Kecil dan Nanang. Ketiga anak Siti Wangi ini dibesarkan oleh
Abdullah Inin. Pernikahan Abdulah Inin dan Siti Wangi memiliki 7 anak, yaitu Sapiah (indu Ramiah), Saniah (indu Riah), Basrin Inin (bapa Yatie), Jariah (indu Burhan), Nurbayah (indu Netty), Jaurah (indu Rahmat) dan Thamrin (bapa Lucia).
5. Darit Soekah
Anak kelima bernama Darit. Darit menikah dengan Saleh Andung. Dari pernikahan ini Darit memiliki 8 anak, yaitu (1) Mine Saleh (menikah dengan Hotman Pahoe dari Buntoi), (2) Haester Saleh (menikah dengan Elisabet Lamak dari Rungan), (3) Linen (menikah dengan Dili Djinu), (4) Reiner Naning, (5) Enath Saleh (menikah dengan F. Selly Duyan dari Sei Pasah), (6) Tiphat Saleh (menikah dengan Victor Ruji dari Tangkahen), (7) Lusen Saleh (menikah dengan Fransiskus Lundju) dan (8) Sengko Saleh (menikah dengan Ani Riyanti, Bandung).
6. Buntit Soekah
Anak yang keenam bernama Buntit. Buntit menikah dengan Sarah Ayab. Dari pernikahan ini Buntit memiliki 12 anak, yaitu (1) Demar Buntit Soekah (Bapa Cici), (2) Sinae Buntit Soekah (Indu Enggek), (3) Kasier Buntit Soekah (Bapa Wawan), (4) Durae Buntit Soekah (Indu Ruseni), (5) Sahidar Buntit Soekah (Bapa Tineng), (6) Yudae Buntit Soekah (Bapa Tesi), (7) Selmae Buntit Soekah (Indu Digi), (8) Marina Buntit Soekah (Indu Manuah)), (9) Sulae Buntit Soekah (Indu Debora), (10) Saptae Buntit Soekah (Bapa Agus), (11) Wilae Buntit Soekah (Indu Yaya), dan (12) Willington Buntit Soekah (Bapa Marisa).
Rujukan
- ^ "SANDUNG NGABE SOEKAH". Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Kepemudaan dan Olah Raga Kota Palangka Raya. Diakses tanggal 2023-04-06.
- ^ Usop, KMA (1996), Pakat Dayak, Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Batang Garing, hal 37
- ^ https://books.google.co.id/books?id=TVZVAAAAcAAJ&dq=Kjahi%20Matsaleh&hl=id&pg=PA179#v=onepage&q=Kjahi%20Matsaleh&f=false
- ^ https://sejarahlengkap.com/indonesia/sejarah-perang-banjar
- ^ King, Vicktor T (2013), Kalimantan Tempo Doeloe (2013), Komunitas Bambu, hal 91 – 114, Usop, KMA Usop (1996), Pakat Dayak, Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Batang Garing, hal 26, https://sejarahlengkap.com/indonesia/sejarah-perang-banjar
- ^ Usop, KMA, (1996), Pakat Dayak, Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Batang Garing, hal 28
- ^ Siyok, Damianus, Bambang S Lautt, Yankris (2019), Ngabe Anom Soekah : Narasi Perintisan dan Sejarah Pembangunan Kota Palangka Raya,58
- ^ Suan, TT, (2003), Menelusuri Sejarah Mencari Identitas Dayak, Bayumedia Publishing 32
- ^ https://republika.co.id/berita/nasional/daerah/13/06/11/mo7dw1-hari-ini-di-1860-belanda-menghapus-kerajaan-banjar
- ^ Siyok, Damianus, Bambang S Lautt, Yankris (2019), Ngabe Anom Soekah : Narasi Perintisan dan Sejarah Pembangunan Kota Palangka Raya, 58
- ^ Usop, KMA Usop (1996), Pakat Dayak, Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Batang Garing, hal 31
- ^ https://jejakrekam.com/2017/07/23/menghadirkan-panglima-wangkang/
- ^ Pertiwi, Hana, Bambang Lautt (2016), Asal Mula Kampung Pahandut dan Tokohnya, hal 31
- ^ Mahin, Marko (2005), Tamanggong Nikodemus Ambo Djaja Negara, Lembaga Studi Dayak 21, hal 39
- ^ Siyok, Damianus, Bambang S Lautt, Yankris (2019), Ngabe Anom Soekah : Narasi Perintisan dan Sejarah Pembangunan Kota Palangka Raya, 64
- ^ Siyok, Damianus, Bambang S Lautt, Yankris (2019), Ngabe Anom Soekah : Narasi Perintisan dan Sejarah Pembangunan Kota Palangka Raya,68
- ^ https://regional.kompas.com/read/2016/11/02/05280811/keteladanan.ngabe.soekah.tokoh.bijaksana.di.palangkaraya?page=all
- ^ Pertiwi, Hanna, Bambang Lautt (2016), Asal Mula Kampung Pahandut dan Tokohnya, 33
- ^ Siyok, Damianus, Bambang S Lautt, Yankris, (2019), Ngabe Anom Soekah, Narasi Perintisan dan Sejarah Pembangunan Kota Palangka Raya, 75-76
- ^ Siyok, Damianus, Bambang S Lautt, Yankris, (2019), Ngabe Anom Soekah, Narasi Perintisan dan Sejarah Pembangunan Kota Palangka Raya, 78
- ^ Usop, KMA (1996), Pakat Dayak, Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Batang Garing, 37
- ^ https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbkaltim/sandung-ngabe-sukah/
- ^ Landsdrukkerij (Batavia), Landsdrukkerij (Batavia) (1870). Almanak van Nederlandsch-Indië voor het jaar. 43
- ^ Siyok, Damianus, Bambang S Lautt, Yankris (2019), Ngabe Anom Soekah, Narasi Perintisan dan Sejarah Pembangunan Kota Palangka Raya, 89