Prasangka
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Prasangka berarti membuat keputusan sebelum mengetahui fakta yang relevan mengenai objek tersebut. Awalnya, istilah ini merujuk pada penilaian berdasar ras seseorang sebelum memiliki informasi yang relevan yang bisa dijadikan dasar penilaian tersebut. Selanjutnya prasangka juga diterapkan pada bidang lain selain ras. Pengertiannya sekarang menjadi sikap yang tidak masuk akal yang tidak terpengaruh oleh alasan rasional[1]
John E. Farley mengklasifikasikan prasangka ke dalam tiga kategori.[2]
- Prasangka kognitif, merujuk pada apa yang dianggap benar.
- Prasangka afektif, merujuk pada apa yang disukai dan tidak disukai.
- Prasangka konatif, merujuk pada bagaimana kecenderungan seseorang dalam bertindak.
Beberapa jenis diskriminasi terjadi karena prasangka dan dalam kebanyakan masyarakat tidak disetujui.
Definisi Prasangka Sosial
Menurut Worchel, dkk (2000) pengertian prasangka dibatasi sebagai sifat negatif yang tidak dapat dibenarkan terhadap suatu kelompok dan individu anggotanya. Prasangka atau prejudice merupakan perilaku negatif yang mengarahkan kelompok pada individual berdasarkan pada keterbatasan atau kesalahan informasi tentang kelompok tersebut. Prasangka juga dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat emosional, yang akan mudah sekali menjadi motivator munculnya ledakan sosial.
Menurut Mar’at (1981), prasangka sosial adalah dugaan-dugaan yang memiliki nilai positif atau negatif, tetapi biasanya lebih bersifat negatif. Sedangkan menurut Brehm dan Kassin (1993), prasangka sosial adalah perasaan negatif terhadap seseorang semata-mata berdasar pada keanggotaan mereka dalam kelompok tertentu.
Menurut David O. Sears dan kawan-kawan (1991), prasangka sosial adalah penilaian terhadap kelompok atau seorang individu yang terutama didasarkan pada keanggotaan kelompok tersebut, artinya prasangka sosial ditujukan pada orang atau kelompok orang yang berbeda dengannya atau kelompoknya. Prasangka sosial memiliki kualitas suka dan tidak suka pada objek yang diprasangka, dan kondisi ini akan mempengaruhi tindakan atau perilaku seseorang yang berprasangka tersebut.
Selanjutnya Kartono (1981), menguraikan bahwa prasangka merupakan penilaian yang terlampau tergesa-gesa, berdasarkan generalisasi yang terlampau cepat, sifatnya berat sebelah dan dibarengi tindakan yang menyederhanakan suatu realitas.
Prasangka sosial menurut Papalia dan Sally (1985), adalah sikap negatif yang ditujukan pada orang lain yang berbeda dengan kelompoknya tanpa adanya alasan yang mendasar pada pribadi orang tersebut. Lebih lanjut diuraikan bahwa prasangka sosial berasal dari adanya persaingan yang secara berlebihan antar 2 individu atau kelompok. Selain itu proses belajar juga berperan dalam pembentukan prasangka sosial dan hal-hal ini akan terintegrasi dalam kepribadian seseorang.
Allport (dalam Zanden, 1984) menguraikan bahwa prasangka sosial merupakan suatu sikap yang membenci kelompok lain tanpa adanya alasan yang objektif untuk membenci kelompok tersebut. Selanjutnya, Kossen (1986), menguraikan bahwa prasangka sosial merupakan gejala yang interen yang meminta tindakan pra hukum, atau membuat keputusan-keputusan berdasarkan bukti yang tidak cukup. Dengan demikian bila seseorang berupaya memahami orang lain dengan baik maka tindakan prasangka sosial tidak perlu terjadi.
Menurut Sears individu yang berprasangka pada umumnya memiliki sedikit pengalaman pribadi dengan kelompok yang diprasangkai. Prasangka cenderung tidak didasarkan pada fakta-fakta objektif, tetapi didasarkan pada fakta-fakta yang minim yang diinterpretasi secara subjektif. Jadi, dalam hal ini prasangka melibatkan penilaian apriori karena memperlakukan objek sasaran prasangka (target prasangka) tidak berdasarkan karakteristik unik atau khusus dari individu, tetapi melekatkan karakteristik kelompoknya yang menonjol.
Ciri-Ciri Prasangka Sosial
Ciri-ciri prasangka sosial menurut Brigham (1991) dapat dilihat dari kecenderungan individu untuk membuat kategori sosial (social categorization). Kategori sosial adalah kecenderungan untuk membagi dunia sosial menjadi dua kelompok, yaitu “kelompok kita” (in group) dan “kelompok mereka” (out group). In group adalah kelompok sosial di mana individu merasa dirinya dimiliki atau memiliki (“kelompok kami”). Sedangkan, out group adalah grup di luar grup sendiri (“kelompok mereka”). Timbulnya prasangka sosial dapat dilihat dari perasaan in group dan out group yang menguat.
Ciri-ciri dari prasangka sosial berdasarkan penguatan perasaan in group dan out group adalah:
Proses generalisasi terhadap perbuatan anggota kelompok lain
Menurut Ancok dan Suroso (1995), jika ada salah seorang individu dari kelompok luar berbuat negatif, maka akan digeneralisasikan pada semua anggota kelompok luar. Sedangkan jika ada salah seorang individu yang berbuat negatif dari kelompok sendiri, maka perbuatan negatif tersebut tidak akan digeneralisasikan pada anggota kelompok sendiri lainnya.
Kompetisi sosial
Kompetisi sosial merupakan suatu cara yang digunakan oleh anggota kelompok untuk meningkatkan harga dirinya dengan membandingkan kelompoknya dengan kelompok lain dan menganggap kelompok sendiri lebih baik daripada kelompok lain.
Penilaian ekstrem terhadap anggota kelompok lain
Individu melakukan penilaian terhadap anggota kelompok lain baik penilaian positif ataupun negatif secara berlebihan. Biasanya penilaian yang diberikan berupa penilaian negatif.
Pengaruh persepsi selektif dan ingatan masa lalu
Pengaruh persepsi selektif dan ingatan masa lalu biasanya dikaitkan dengan stereotipe. Stereotipe adalah keyakinan (belief) yang menghubungkan sekelompok individu dengan ciri-ciri sifat tertentu atau anggapan tentang ciri-ciri yang dimiliki oleh anggota kelompok luar. Jadi, stereotipe adalah prakonsepsi ide mengenai kelompok, suatu image yang pada umumnya sangat sederhana, kaku, dan klise serta tidak akurat yang biasanya timbul karena proses generalisasi. Sehingga apabila ada seorang individu memiliki stereotype yang relevan dengan individu yang mempersepsikannya, maka akan langsung dipersepsikan secara negatif.
Perasaan frustasi (scope goating)
Menurut Brigham (1991), perasaan frustasi (scope goating) adalah rasa frustasi seseorang sehingga membutuhkan pelampiasan sebagai objek atas ketidakmampuannya menghadapi kegagalan. Kekecewaan akibat persaingan antar masing-masing individu dan kelompok menjadikan seseorang mencari pengganti untuk mengekspresikan frustasinya kepada objek lain. Objek lain tersebut biasanya memiliki kekuatan yang lebih rendah dibandingkan dengan dirinya sehingga membuat individu mudah berprasangka
Agresi antar kelompok
Agresi biasanya timbul akibat cara berpikir yang rasialis sehingga menyebabkan seseorang cenderung berperilaku agresif.
Dogmatisme
Dogmatisme adalah sekumpulan kepercayaan yang dianut seseorang berkaitan dengan masalah tertentu, salah satunya adalah mengenai kelompok lain. Bentuk dogmatisme dapat berupa etnosentrisme dan favoritisme. Etnosentrisme adalah paham atau kepercayaan yang menempatkan kelompok sendiri sebagai pusat segala-galanya. Sedangkan, favoritisme adalah pandangan atau kepercayaan individu yang menempatkan kelompok sendiri sebagai yang terbaik, paling benar, dan paling bermoral.
Sumber-sumber prasangka sosial
Prasangka sebagai suatu sikap mempunyai berbagai macam sumber yang menjadi penyebabnya. Prasangka terhadap orang lain mungkin saja disebabkan faktor situasional tetapi yang jelas tidak hanya satu faktor saja yang berperan. Beberapa sumber prasangka yaitu:[3]
Kompetisi
Kompetisi merupakan sumber prasangka yang paling mendasar. Prasangka terjadi karena adanya kompetisi diantara kelompok sosial dalam mendapatkan komoditas maupun kesempatan yang berharga. Dapat dikatakan prasangka berkembang karena perjuangan dalam mencapai kesejahteraan (struggle for the welffare). Pendapat ini kemudian dikenal dengan realistic conflict theory[4]. Jika kompetisi itu berlangasung terus maka akan muncul pandangan yang negatif terhadap orang lain. Orang lain dianggap sebagai musuh.[3]
Peran belajar sosial
Prasangka bukan merupakan bawaan. Tidak ada seorang bayi yang baru dilahirkan mempunyai kebencian tertentu terhadap orang lain. Kebencian dan sikap negatif pada orang atau kelompok lain merupakan sesuatu yang dipelajarinya dari lingkungan karena prasangka sebagai suatu sikap merupakan hasil belajar sosial. Perbedaan warna kulit dan mata, bahasa, adat istiadat dan kebudayaan merupakan perbedaan yang langsung diterima individu sejak lahir. Individu tidak dapat memilih untuk dilahirkan dengan berkulit putih dan bermata biru, dengan kata lain bahwa perbedaan merupakan sesuatu yang wajar dan natural. Anak-anak tidak pernah mempedulikan perbedaan tersebut, tetapi karena pengaruh orang tua dan faktor lingkungan lainnya maka kemudian baru muncul sikap senang, benci dan lainnya. Anak akan belajar dari sikap orang tua, acara TV, majalah, koran, maupun dari teman dan bahkan guru.[3]
Sudut Pandang
Sudut pandang individu
Prasangka dapat timbul dari individu terhadap individu lain dalam suatu kelompok sosial. Selain itu, prasangka indivdual dapat timbul pada kelompok-kelompok sosial dengan individu-individu yang memiliki perbedaan yang jelas. Prasangka individu menimbulkan perilaku berupa gosip melalui lisan atau menghindari pertemuan dengan individu lain di dalam kelompok sosial yang sama. Selain itu, prasangka individu dapat meningkat menjadi perilaku diskriminasi, kekerasan, maupun pembunuhan massal.[5]
Sudut pandang masyarakat
Prasangka dapat terjadi dalam kelompok masyarakat yang meyakini toleransi maupun yang meyakini rasisme. Dalam masyarakat yang meyakini toleransi, prasangka dapat terjadi karena adanya tekanan sosial yang mengakibatkan terjadinya diskriminasi. Sedangkan, dalam masyarakat yang meyakini rasisme, prasangka timbul jika tidak diterapkannya diskriminasi sebagai norma sosial oleh individu di dalam kelompok sosial.[5]
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Prasangka Sosial
Proses pembentukan prasangka sosial menurut Mar’at (1981) dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
Pengaruh Kepribadian
Dalam perkembangan kepribadian seseorang akan terlihat pula pembentukan prasangka sosial. Kepribadian otoriter mengarahkan seseorang membentuk suatu konsep prasangka sosial, karena ada kecenderungan orang tersebut selalu merasa curiga, berpikir dogmatis dan berpola pada diri sendiri.
Pendidikan dan Status
Semakin tinggi pendidikan seseorang dan semakin tinggi status yang dimilikinya akan mempengaruhi cara berpikirnya dan akan meredusir prasangka sosial.
Pengaruh Pendidikan Anak oleh Orangtua
Dalam hal ini orang tua memiliki nilai-nilai tradisional yang dapat dikatakan berperan sebagai family ideologi yang akan mempengaruhi prasangka sosial.
Pengaruh Kelompok
Kelompok memiliki norma dan nilai tersendiri dan akan mempengaruhi pembentukan prasangka sosial pada kelompok tersebut. Oleh karenanya norma kelompok yang memiliki fungsi otonom dan akan banyak memberikan informasi secara realistis atau secara emosional yang mempengaruhi sistem sikap individu.
Pengaruh Politik dan Ekonomi
Politik dan ekonomi sering mendominir pembentukan prasangka sosial. Pengaruh politik dan ekonomi telah banyak memicu terjadinya prasangka sosial terhadap kelompok lain misalnya kelompok minoritas.
Pengaruh Komunikasi
Komunikasi juga memiliki peranan penting dalam memberikan informasi yang baik dan komponen sikap akan banyak dipengaruhi oleh media massa seperti radio, televisi, yang kesemuanya hal ini akan mempengaruhi pembentukan prasangka sosial dalam diri seseorang.
Pengaruh Hubungan Sosial
Hubungan sosial merupakan suatu media dalam mengurangi atau mempertinggi pembentukan prasangka sosial. Sehubungan dengan proses belajar sebagai sebab yang menimbulkan terjadinya prasangka sosial pada orang lain, maka dalam hal ini orang tua dianggap sebagai guru utama karena pengaruh mereka paling besar pada tahap modeling pada usia anak-anak sekaligus menanamkan perilaku prasangka sosial kepada kelompok lain. Modelling sebagai proses meniru perilaku orang lain pada usia anak-anak, maka orang tua dianggap memainkan peranan yang cukup besar. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ashmore dan DelBoka,(dalam Sears et all, 1985) yang menunjukkan bahwa orang tua memiliki peranan yang penting dalam pembentukan prasangka sosial dalam diri anak. Jadi, terdapat korelasi antara sikap etnis dan rasial orang tua dengan sikap etnis dan rasial pada diri anak. Dari uraian singkat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa prasangka sosial terjadi disebabkan adanya perasaan berbeda dengan orang lain atau kelompok lain. Selain itu prasangka sosial disebabkan oleh adanya proses belajar, juga timbul disebabkan oleh adanya perasaan membenci antar individu atau kelompok misalnya antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas. Rose (dalam Gerungan, 1991) menguraikan bahwa faktor yang mempengaruhi prasangka sosial adalah faktor kepentingan perseorangan atau kelompok tertentu,yang akan memperoleh keuntungan atau rezekinya apabila mereka memupuk prasangka sosial. Prasangka sosial yang demikian digunakan untuk mengeksploitasi golongan-golongan lainnya demi kemajuan perseorangan atau golongan sendiri. Prasangka sosial pada diri seseorang menurut Kossen (1986) dipengaruhi oleh ketidaktahuan dan ketiadaan tentang objek atau subjek yang diprasangkainya. Seseorang sering sekali menghukum atau memberi penilaian yang salah terhadap objek atau subjek tertentu sebelum memeriksa kebenarannya, sehingga orang tersebut memberi penilaian tanpa mengetahui permasalahannya dengan jelas, atau dengan kata lain penilaian tersebut tidak didasarkan pada fakta-fakta yang cukup. Selanjutnya Gerungan, (1991) menguraikan bahwa prasangka sosial dipengaruhioleh kurangnya pengetahuan dan pengertian akan fakta-fakta kehidupan yang sebenarnya dari golongan-golongan orang yang diprasangkainya.
Teori-teori prasangka sosial
Prasangka merupakan hasil dari interaksi sosial, maka prasangka sebagian besar disebabkan oleh faktor sosial. Berikut terdapat beberapa teori psikologi yang dapat menjelaskan bagaimana faktor sosial yang telah dijelaskan diatas dapat menyebabkan munculnya prasangka dan mengapa prasangka muncul dalam interaksi sosial, yaitu: teori konflik realistik, teori belajar sosial, teori kognitif,teori psikodinamika, teori kategorisasi sosial, teori perbandingan sosial, teoribiologi dan deprivasi relative
Teori Konflik Realistik
Teori ini memandang bahwa terjadinya kompetisi (biasanya persaingan memperoleh sumber-sumber langka, seperti ekonomi dan kekuasaan) dan konflik antar kelompok dapat meningkatkan kecenderungan untuk berprasangka dan mendiskriminasikan anggota out group. Kompetisi yang terjadi antara dua kelompok yang saling mengancam akan menimbulkan permusuhan dan menciptakan penilaian negatif yang bersifat timbale balik. Jadi, prasangka merupakan konsekuensi dari konflik nyata yang tidak dapat dielakan. Judd dan Park (1988) menyatakan bahwa ketika kelompok ada dalam situasi kompetisi maka akan memunculkan efek homogenitas out group, yaitu kecenderungan untuk m elihat semua anggota dari out group adalah sama atau homogen semakin intensif. LeVine dan Campbel (1972) menyebut kompetisi yang terjadi sebagai konflik kelompok yang realistik. Biasanya terjadi karena kedua kelompok bersaing untuk memperebutkan sumber langka yang sama. Contoh dari teori konflik realistik adalah prasangka anti-Negro di Selatan (Amerika Serikat) yang menyatakan bahwa penyebabnya adalah konflik kelompok yang realistis. Pada saat itu, di daerah Selatan relatif miskin, dan sangat tergantung pada perkebunan kapuk dan tembakau, serta industri yang relatif kecil. Ladang kerja sedikit dan jauh, sehingga kelas pekerja berdasarkan jenis kulit mengalami persaingan. Individu negro merupakan pekerja yang tidak terampil dan kurang terdidik berusaha memperebutkan ladang kerja yang langka itu dengan individu kulit putih yang pada dasarnya merupakan pekerja yang terampil dan terdidik. Berdasarkan teori, konflik yang terjadi antara kedua kelompok tersebut menumbuhkan rasialisme dan menunjang timbulnya diskriminasi kerja terhadap individu Negro, karena individu kulit putih memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang lebih besar.
Teori Belajar Sosial (Albert Bendura)
Menurut teori belajar sosial, prasangka adalah sesuatu yang dipelajari seperti halnya individu belajar nilai-nilai sosial yang lain. Prasangka biasanya diperoleh anak-anak melalui proses sosialisasi. Anak-anak banyak yang menginternalisasikan norma-norma mengenai stereotipe dan perilaku antar kelompok yang ditetapkan oleh orang tua dan teman sebaya. Selain dari orang tua dan teman sebaya, media massa juga menjadi sumber anak untuk mempelajari stereotipe dan prasangka. Contoh dari teori belajar sosial adalah di Amerika, banyak anak kulit putih yang mungkin melihat tuanya bersikap diskriminatif terhadap individu kulit hitam, mendengar ucapan-ucapan orang tuanya yang meremehkan kulit hitam, dan melarang anaknya untuk bermain dengan anak-anak kulit hitam. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka akan mendengar pembicaraan teman-teman sebayanya yang mengatakan bahwa individu kulit hitam adalah jelek dan mereka akan dikucilkan jika kelihatan bermain dengan kulit hitam. Orang tua mereka juga menekankan cerita-cerita yang mengatakan individu kulit hitam merupakan pelanggar hukum. Sehingga dari kejaadian-kejadian tersebut anak diajarkan untuk berprasangka terhadap individu kulit hitam. Anak-anak memiliki model orang tua dan teman sebaya yanag berprasangka dan juga menghukum jika ia bermain dengan individu kulit hitam, dengan demikian anak belajar untuk membenci kulit hitam.
Teori Kognitif
Menjelaskan bagaimana cara individu berpikir mengenai prasangka (objek yang dijadikan sasaran untuk diprasangkai) dan bagaimana individu memproses informasi dan memahami secara subjektif mengenai dunia dan individu lain. Dalam mengamati individu lain, seseorang berusaha mengembangkan kesan yang terstruktur mengenai individu lain dengan cara melakukan proses kategorisasi. Kategorisasi sering kali didasarkan pada isyarat yang sangat jelas dan menonjol, seperti warna kulit, bentuk tubuh, dan logat bahasa. Berdasarkan teori kognitif, prasangka timbul karena adanya atribusi dan perbedaan antara in group dan out group
Teori Atribusi
Atribusi adalah proses bagaimana kita mencoba menafsirkan dan menjelaskan perilaku individu lain, yaitu untuk melihat sebab tindakan mereka. Menurut teori atribusi, prasangka disebabkan oleh individu sebagai pengamat melakukan atribusi yang “bias” terhadap target prasangka. Thomas Pettigrew (1979), Emmot, Pettigrew, dan Johnson (1983) mengemukakan bahwa individu yang berprasangka cenderung melakukan “ultimate attribution error”, yang merupakan perluasan dari “fundamental attribution error”. Pettigrew juga menyebutkan adanya ketidakkonsistenan atribusi individu yang berprasangka terjadi karena target prasangka menunjukkan perilaku positif, yaitu:
- Kasus yang terkecuali (exceptional case) – Individu yang berprasangka akan memandang tindakan positif individu yang ditunjukkan target prasangka sebagai kasus yang terkecuali. Sebagai contoh,individu kulit putih yang melihat individu kulit hitam memiliki perilaku yang baik akan menyebutkan bahwa individu kulit hitam tersebut berbeda dari individu kulit hitam lainnya.
- Nasib baik atau keberuntungan istimewa (luck or special advantage) – Individu yang berprasangka melihat target prasangka bertindak positif, maka mereka akan mempersepsikan hal tersebut bukan sebagai potensi atau pembawaan yang baik dari target prasangka, melainkan target prasangka sedang mengalami nasib baik atau mendapatkan keberuntungan.
- Konteks situasional – Individu yang berprasangka melihat target prasangka bertindak positif, maka mereka akan mempersepsikan hal tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh faktor paksaan situasi (konformitas), bukan disebabkan oleh faktor disposisi kepribadiannya.
- Usaha dan motivasi yang tinggi – Individu yang berprasangka melihat target prasangka bertindak positif (misalnya berprestasi), maka mereka akan mempersepsikan hal tersebut bukansebagai usaha dan motivasi target prasangka untuk mencapai kesuksesan, bukan karena kemampuannya.
- In group dan out group – Secara umum, in group dapat diartikan sebagai suatu kelompok di mana seseorang mempunyai perasaan memiliki dan “common identity” (identitas umum). Sedangkan out group adalah suatu kelompok yang dipersepsikan jelas berbeda dengan “in group”. Adanya perasaan “in group” sering menimbulkan “ingroup bias”, yaitu kecenderungan untuk menganggap baik kelompoknya sendiri. Menurut Henry Tajfel (1974) dan Michael Billig (1982), In group bias merupakan refleksi perasaan tidak suka pada out group dan perasaan suka pada in group. Hal tersebut terjadi kemungkinan karena loyalitas terhadap kelompok yang dimilikinya yang pada umumnya disertai devaluasi kelompok lain. Berdasarkan Teori Identitas Sosial, Henry Tajfel dan John Tunner (1982)mengemukakan bahwa prasangka biasanya terjadi disebabkan oleh “in group favoritism”, yaitu kecenderungan untuk mendiskriminasikan dalam perlakuan yang lebih baik atau menguntungkan in group di atas out group. Berdasarkan teori tersebut, masing-masing dari kita akan berusaha meningkatkan harga diri kita, yaitu: identitas pribadi (personal identity) dan identitas sosial yang berasal dari kelompok yang kita miliki. Jadi, kita dapat memperteguh harga diri kita dengan prestasi yang kita miliki secara pribadi dan bagaimana kita membandingkan dengan individu lain. Identitas sosial merupakan keseluruhan aspek konsep diri seseorang yang berasal dari kelompok sosial mereka atau kategori keanggotaan bersama secara emosional dan hasil evaluasi yang bermakna. Artinya, seseorang memiliki kelekatan emosional terhadap kelompok sosialnya. Kelekatan itu sendiri muncul setelah menyadari keberadaannya sebagai anggota suatu kelompok tertentu.Orang memakai identitas sosialnya sebagai sumber dari kebanggaan diri danharga diri. Semakin positif kelompok dinilai maka semakin kuat identitaskelompok yang dimiliki dan akan memperkuat harga diri. Sebaliknya jika kelompok yang dinilai memiliki prestise yang rendah maka hal itu juga akan menimbulkan identifikasi yang rendah terhadap kelompok. Dan apabila terjadi sesuatu yang mengancam harga diri maka kelekatan terhadap kelompok akan meningkat dan perasaan tidak suka terhadap kelompok lain juga meningkat. Demikian pula akhirnya prasangka diperkuat.Sebagai upaya meningkatkan harga diri, seseorang akan selalu berusaha untuk memperoleh identitas sosial yang positif. Upaya meningkatkan identitas sosial yang positif itu diantaranya dengan membesar-besarkan kualitas kelompok sendiri sementara kelompok lain dianggap kelompok yang inferior. Secara alamiah memang selalu terjadi in group bias yakni kecenderungan untuk menganggap kelompok lain lebih memiliki sifat-sifat negatif atau kurang baik dibandingkan kelompok sendiri. Tidak setiap orang memiliki derajat identifikasi yang sama terhadap kelompok. Ada yang kuat identifikasinya dan ada pula yang kurang kuat. Orang dengan identifikasi sosial yang kuat terhadap kelompok cenderung untuk lebih berprasangka daripada orang yang identifikasinya terhadap kelompok rendah. Secara umum derajat identifikasi seseorang terhadap kelompok dibedakan menjadi dua yakni, high identifiers dan low identifiers. High identifiers mengidentifikasikan diri sangat kuat, bangga, dan rela berkorban demi kelompok. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan melindungi dan membela kelompok kala mendapatkan imej yang buruk. Dalam situasi yang mengancam kelompok, orang dengan high identifiers akan menyusun strategi kolektif untuk menghadapi ancaman tersebut. Sebaliknya low identifiers kurang kuat mengidentifikasikan kedalam kelompok. Orang dengan identifikasi rendah terhadap kelompok ini akan membiarkan kelompok terpecah-pecah dan melepaskan diri mereka darikelompok ketika berada dibawah ancaman. Mereka juga merasa bahwa anggota-anggota kelompok kurang homogen. Teori identitas sosial memiliki dua prediksi, yaitu: (1) ancaman terhadap harga diri seseorang akan meningkatkan kebutuhan untuk in group favoritism dan (2) ekspresi in group pada gilirannya meningkatkan harga diri seseorang. Menurut Worchel dan kawan-kawan (2000), biasanya loyalitas dan in group favoritism akan lebih muncul dan lebih intens pada kelompok minoritas daripada kelompok mayoritas. Pada dasarnya, timbulnya in group bias selain bergantung pada tendensi seseorang untuk berinteraksi secara primer dengan anggota kelompok mereka sendiri, juga bergantung pada pola interaksi yang ada antar kelompok. Jika interaksi antar kelompok jauh, maka gap antar kelompok akan lebar dan dapat memperbesar kemungkinan timbulnya in group bias.
Teori Psikodinamika
Menurut teori psikodinamika, prasangka adalah agresi yang dialihkan. Pengalihan agresi terjadi apabila sumber frustasi tidak dapat diserang karena rasatakut dan sumber frustasi itu benar-benar tidak ada. Prasangka juga dapat timbulakibat terganggunya fungsi psikologis dalam diri individu tersebut. Berdasarkan teori psikodinamika, prasangka timbul karena adanya rasafrustasi dan kepribadian yang otoriter:
- Teori Frustasi. Menurut teori frustasi, prasangka merupakan manifestasi dari “displaced aggression” sebagai akibat dari frustasi. Asumsi dasar teori ini adalah jika tujuanseseorang dirintangi atau dihalangi, maka individu tersebut akan mengalamifrustasi. Frustasi yang dialami akan membawa individu tersebut pada perasaanbermusuhan terhadap sumber penyebab frustasi. Hal itulah yang menyebabkanindividu sering kali mengkambing-hitamkan individu lain yang kurang memiliki kekuasaan.
- Kepribadian Otoriter. Adorno, Frenkel, Brunswick, Levinson, dan Sanfok (1950) pada bukunya yang berjudul "The Authoritarian Personality" menyebutkan bahwa prasangka adalah hasil dari karakteristik kepribadian tertentu yang disebut dengan istilah kepribadian otoriter. Tipe kepribadian ini ditandai dengan super ego yang ketat dan kaku, id yang kuat, dan struktur ego yang lemah. Kepribadian otoriter berkembang karena perasaan bermusuhan yang latent kepada orang tua yang rigid (kaku) dan tidak terlalu banyak menuntut. Sebagai contoh, anak yang memiliki orang tua dangan pola pengasuh anotoriter akan memiliki anggapan bahwa orang tua selalu benar karena memiliki kuasa akan dirinya di rumah. Hal itu dapat menyebabkan permusuhan dasar anak terhadap orang tuanya. Namun, karena anak tidak berani untuk mengarahkan permusuhannya langsung kepada orang tuanya, ia akan mengarahkan permusuhan itu kepada temannya yang lemah atau tidak memiliki kekuasaan.
Teori Kategorisasi Sosial
Dunia merupakan kekompleksan yang tiada batas. Melalui kategorisasi kita membuatnya menjadi sederhana dan bisa kita mengerti. Melalui kategorisasi kita membedakan diri kita dengan orang lain, keluarga kita dengan keluarga lain,kelompok kita dengan kelompok lain, etnik kita dengan etnik lain. Pembedaan kategori ini bisa berdasarkan persamaan atau perbedaan. Misalnya persamaan tempat tinggal, garis keturunan, warna kulit, pekerjaan, kekayaan yang relatif sama dan sebagainya akan dikategorikan dalam kelompok yang sama. Sedangkan perbedaan dalam warna kulit, usia, jenis kelamin, tempat tinggal, pekerjaan, tingkat pendidikan dan lainnya maka dikategorikan dalam kelompok yang berbeda. Mereka yang memiliki kesamaan dengan diri kita akan dinilai satu kelompok dengan kita atau in group . Sedangkan, mereka yang berbeda dengan kita akan dikategorikan sebagai out group. Seseorang pada saat yang sama bias dikategorikan dalam in group ataupun out group sekaligus. Misalnya, Sandi adalah tetangga kita, jadi sama-sama sebagai anggota kelompok pertetanggaan lingkungan RT. Pada saat yang sama ia merupakan lawan kita karena ia bekerja pada perusahaan saingan kita. Jadi, Sandi termasuk satu kelompok dengan kita (in group) sekaligus bukan sekelompok dengan kita (out group). Kategorisasi memiliki dua efek fundamental yakni melebih-lebihkan perbedaan antar kelompok dan meningkatkan kesamaan kelompok sendiri. Perbedaan antar kelompok yang ada cenderung dibesar-besarkan dan itu yang sering di ekspos sementara kesamaan yang ada cenderung untuk diabaikan. Disisilain kesamaan yang dimiliki oleh kelompok cenderung sangat dilebih-lebihkan dan itu pula yang selalu diungkapkan. Sementara itu perbedaan yang ada cenderung diabaikan. Sebagai contoh perbedaan antara etnik jawa dan etnik batak akan cenderung di lebih-lebihkan, misalnya dalam bertutur kata di mana etnis jawa lembut dan etnis Batak kasar. Lalu, orang-orang seetnis cenderung untuk merasa sangat identik satu sama lain padahal sebenarnya di antara mereka relatif cukup berbeda. Ukuran kelompok adalah faktor penting dalam menilai apakah di antara anggota-anggotanya relatif sama ataukah plural. Kelompok minoritas menilai dirinya lebih similar dalam kelompok, sementara kelompok mayoritas menilai dirinya kurang similar. Anggota kelompok minoritas juga mengidentifikasikan diri lebih kuat ke dalam kelompok ketimbang anggota kelompok yang lebih besar. Kelompok yang minoritas juga menilai dirinya lebih berada di dalam ancaman dibanding kelompok yang lebih besar. Keadaan ini menyebabkan kelompok minoritas tidak mudah percaya, sangat berhati-hati dan lebih mudah berprasangka terhadap kelompok mayoritas. Kecemasan berlebih itu tidak kondusif dalam harmonisasi hubungan sosial karena sebagaimana yang dikatakan oleh Islam dan Hewstone (1993) hubungan yang cenderung meningkatkan kecemasan akan mengurangi sikap yang baik terhadap kelompok lain. Pengkategorian cenderung mengkontraskan antara dua pihak yang berbeda. Jika yang satu dinilai baik maka kelompok lain cenderung dinilai buruk. Kelompok sendiri biasanya akan dinilai baik, superior, dan layak dibangga kanuntuk meningkatkan harga diri. Sementara itu disaat yang sama, kelompok lain cenderung dianggap buruk, inferior, dan memalukan. Keadaan ini bias menimbulkan konflik karena masing-masing kelompok merasa paling baik. Keadaan konflik ini baik terbuka ataupun tidak melahirkan prasangka. Oakes, Haslam & Turner (1994) menyatakan bahwa kategorisasi sosial juga akan melahirkan diskriminasi antar kelompok jika memenuhi kondisi berikut: Derajat subjek mengidentifikasi dengan kelompoknya. Semakin tinggi derajat identifikasi terhadap kelompok semakin tinggi kemungkinan melakukan diskriminasi. Menonjol tidaknya kelompok lain yang relevan. Bila kelompok yang relevan cukup menonjol maka kecenderungan untuk terjadi diskriminasi juga besar. Derajat di mana kelompok dibandingkan pada dimensi-dimensi itu (kesamaan, kedekatan, perbedaan yang ambigu). Semakin sama, semakin dekat, dan semakin ambigu yang dibandingkan maka kemungkinan diskriminasi akan mengecil. Penting dan relevankah membandingkan dimensi-dimensi dengan identitas kelompok. Semakin penting dan relevan dimensi yang dibandingkan dengan identitas kelompok maka kemungkinan diskriminasi juga semakin besar. Status relatif in group dan karakter perbedaan status antar kelompok yang dirasakan. Semakin besar perbedaan yang dirasakan maka diskriminasi juga semakin mungkin terjadi
Teori Perbandingan Sosial
Kita selalu membandingkan diri kita dengan orang lain dan kelompok kita dengan kelompok lain. Hal-hal yang dibandingkan hampir semua yang kita miliki, mulai dari status sosial, status ekonomi, kecantikan, karakter kepribadian dan sebagainya. Konsekuensi dari pembandingan adalah adanya penilaian sesuatu lebih baik atau lebih buruk dari yang lain. Melalui perbandingan sosial kita juga menyadari posisi kita di mata orang lain dan masyarakat. Kesadaran akan posisi ini tidak akan melahirkan prasangka bila kita menilai orang lain relatif memiliki posisi yang sama dengan kita. Prasangka terlahir ketika orang menilai adanya perbedaan yang mencolok. Artinya keadaan status yang tidak seimbanglah yang akan melahirkan prasangka (Myers, 1999). Dalam masyarakat yang perbedaankekayaan anggotanya begitu tajam prasangka cenderung sangat kuat. Sebaliknya bila status sosial ekonomi relatif setara prasangka yang ada kurang kuat. Para sosiolog menyebutkan bahwa prasangka dan diskriminasi adalah hasil dari stratifikasi sosial yang didasarkan distribusi kekuasaan, status, dan kekayaan yang tidak seimbang di antara kelompok-kelompok yang bertentangan (Manger,1991). Dalam masyarakat yang terstruktur dalam stratifikasi yang ketat, kelompok dominan dapat menggunakan kekuasaan mereka untuk memaksakan ideologi yang menjustifikasi praktik diskriminasi untuk mempertahankan posisi menguntungkan mereka dalam kelompok sosial. Hal ini membuat kelompok dominan berprasangka terhadap pihak-pihak yang dinilai bisa menggoyahkan hegemoni mereka. Sementara itu kelompok yang didominasi akan berprasangka terhadap kelompok dominan karena kecemasan akan dieksploitasi
Teori Biologi
Menurut pendekatan ini prasangka memiliki dasar biologis. Hipotesisnya adalah bahwa kecenderungan untuk tidak menyukai kelompok lain dan hal-hal lain yang bukan milik kita merupakan warisan yang telah terpetakan dalam gen kita. Pendekatan biologis ini berasal dari sosiobiologi. Rushton dalam Baron dan Byrne (1991) mengistilahkan pendekatan ini sebagai genetic similarity theory. Asumsi dari teori ini adalah bahwa gen akan memastikan kelestariannya dengan mendorong reproduksi gen yang paling baik yang memiliki kesamaan. Bukti dari hal ini adalah bisa dilacaknya nenek moyang kita melalui DNA karena kita dengan nenek moyang kita memiliki kesamaan gen. Maka, menurut teori ini orang-orang yang memiliki kemiripan satu sama lain atau yang menunjukkan pola sifat yang mirip sangat mungkin memiliki gen-gen yang lebih serupa dibandingkan dengan yang tidak memiliki kemiripan satu sama lain. Misalnya orang-orang yang berasal dari etnik yang sama memiliki gen yang relatif lebih mirip daripada dengan orang dari etnik yang berbeda. Menurut teori kesamaan gen, faktor kesamaaan gen dalam satu etnik dimungkinkan sebagai faktor yang menyebabkan individu berperilaku lebih murah hati terhadap anggota etniknya daripada kepada etnis yang berbeda. Rushton juga menyebutkan bahwa ketakutan dan kekurang percayaan terhadap orang asing telah terpola dalam gen, sebab meskipun orang asing tidak membahayakan sama sekali, kecenderungan curiga dan tidak percaya tetap ada. Hal ini memberikan kontribusi nyata terhadap munculnya prasangka. Banyak ilmuwan menolak teori sosiobiologis. Teori ini dinilai tidak bias dipertanggungjawabkan. Mereka yang menolak berpendapat bahwasanya prasangka semata-mata merupakan produk dari adanya interaksi sosial dan kecenderungan kepribadian tertentu.
Deprivasi Relatif
Deprivasi relatif adalah keadaan psikologis di mana seseorang merasakan ketidakpuasan atas kesenjangan atau kekurangan subjektif yang dirasakannya pada saat keadaan diri dan kelompoknya dibandingkan dengan orang atau kelompok lain. Keadaan deprivasi bisa menimbulkan persepsi adanya suatu ketidakadilan. Sedangkan perasaan mengalami ketidakadilan yang muncul karena deprivasi akan mendorong adanya prasangka (Brown, 1995). Misalnya di suatu wilayah, sekelompok etnis A bermata pencaharian sebagai petani padi sawah. Masing-masing keluarga etnik tersebut mengerjakan sawah seluas 2 ha. Rata-rata hasil panen yang didapatkan setiap kali panen (1 kali setahun) adalah 8 ton padi. Mereka sangat puas dengan hasil tersebut dan merasa beruntung. Kemudian datanglah sekelompok etnis B yang juga mengerjakan sawah di wilayah itu dengan luas 2 ha per keluarga. Ternyata, hasil panen kelompok etnis B jauh lebih banyak (14 ton sekali panen). Sejak itu muncullah ketidakpuasan etnis A terhadap hasil panennya karena mengetahui bahwa etnis B bisa panen lebih banyak. Ketidakpuasan yang dialami etnis A itu merupakan deprivasi relatif. Pada awal kedatangan etnis B, mereka disambut baik oleh etnis A. Akan tetapi setelah etnis B berhasil memanen padi di sawah barunya, mulailah timbul ketidaksukaan etnis A terhadap etnis B. Etnis A menuduh etnis B berkolusi engan petugas pengairan sehingga mendapatkan pengairan yang lebih baik karenanya hasil panennya lebih baik. Etnis A mulai merasakan adanya perlakuan yang tidak adil dari petugas pengairan terhadap mereka, meski sebenarnya tidak ada pembedaan perlakuan dari petugas tesebut. Tidak hanya itu, dalam berbagai hal etnis A pun jadi berprasangka terhadap etnis B, dan mulai tidak menerima kehadiran etnis B. Contoh diatas menggambarkan timbulnya prasangka akibat dari deprivasi relatif. Hal demikian sering kali terjadi terutama di daerah-daerah di mana terdapat penduduk asli dan penduduk pendatang yang cukup besar. Contoh paling bagus adalah daerah transmigrasi di mana penduduk asli tinggal tidak jauh dari sana. Sepanjang kondisi ekonomi penduduk asli masih lebih baik daripada transmigran, penerimaan penduduk asli terhadap transmigran akan berjalan baik. Akan tetapi begitu kondisi ekonomi pendatang menjadi lebih baik daripada penduduk asli maka mulai timbullah deprivasi relatif dari penduduk asli, hal mana mulai menimbulkan prasangka dan berbagai gejolak lainnya.
Cara Mengurangi Prasangka Sosial
Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi dan mencegah timbulnya prasangka, yaitu:
- Melalukan kontak langsung
- Mengajarkan pada anak untuk tidak membenci
- Mengoptimalkan peran orang tua, guru, individu dewasa yang dianggap penting oleh anak dan media massa untuk membentuk sikap menyukai atau idak menyukai melalui contoh perilaku yang ditunjukkan (reinforcement positive).
- Menyadarkan individu untuk belajar membuat perbedaan tentang individu lain, yaitu belajar mengenal dan memahami individu lain berdasarkankarakteristiknya yang unik, tidak hanya berdasarkan keanggotaan individu tersebut dalam kelompok tertentu. Menurut Worchel dan kawan-kawan (2000), upaya tersebut akan lebih efektif jika dibarengi dengan kebijakan pemerintah melalui penerapan hukum yang menjunjung tinggi adanya persamaan hak dan pemberian sanksi pada tindakan diskriminasi baik berdasarkan ras, suku, agama, jenis kelamin, usia, dan faktor-faktor lainnya.
Alasan-alasan yang mendasari hukum dapat mengurangi prasangka adalah:
- Hukum membuat diskriminasi menjadi perbuatan ilegal, sehingga akan mengurangi tindakan yang memojokkan pada kehidupan anggota-anggota minoritas.
- Hukum membantu untuk menetapkan atau memantapkan norma-norma dalam masyarakat, yaitu hukum berperan dalam mendefinisikan jenis-jenis perilaku yang dapat diterima atau tidak dapat diterima dalam masyarakat.
- Hukum mendorong konformitas terhadap perilaku yang non diskriminatif, yang mungkin pada akhirnya akan menghasilkan internalisasi sikap tidak berprasangka melalui proses persepsi diri atau pengurangan disonansi
Dampak Prasangka Sosial
Prasangka sosial menurut Rose (dalam Gerungan, 1981), dapat merugikan masyarakat secara dan umum dan organisasi khususnya. Hal ini terjadi karena prasangka sosial dapat menghambat perkembangan potensi individu secara maksimal. Selanjutnya, Steplan (1978) menguraikan bahwa prasangka sosial tidak saja mempengaruhi perilaku orang dewasa tetapi juga anak-anak sehingga dapat membatasi kesempatan mereka berkembang menjadi orang yang memiliki toleransi terhadap kelompok sasaran misalnya kelompok minoritas. Rosenbreg dan Simmons (1971) juga menguraikan bahwa prasangka sosialakan menjadikan kelompok individu tertentu dengan kelompok individu lain berbeda kedudukannya dan menjadikan mereka tidak mau bergabung atau bersosialisasi. Apabila hal ini terjadi dalam organisasi atau perusahaan akan merusak kerjasama. Selanjutnya diuraikan bahwa prasangka sosial dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama karena prasangka sosial merupakan pengalaman yang kurang menyenangkan bagi kelompok yang diprasangkai tersebut. Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian tentang dampak prasangka sosialdi atas adalah bahwa dengan adanya prasangka sosial akan mempengaruhi sikapdan tingkah laku seseorang dalam berbagai situasi. Prasangka sosial dapat menjadikan seseorang atau kelompok tertentu tidak mau bergabung atau bersosialisasi dengan kelompok lain. Apabila kondisi tersebut terdapat dalam organisasi akan mengganggu kerjasama yang baik sehingga upaya pencapaian tujuan organisasi kurang dapat terealisir dengan baik.
Catatan
- ^ Rosnow, Ralph L.; Poultry and Prejudice. Psychology Today, (March, 1972): p. 53.
- ^ Farley, John E. (2004). Majority - Minority Relations. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall. hlm. 18–19. ISBN 978-0131444126.
- ^ a b c Joko Kuncoro (2007). "Diskriminasi dan Prasangka". Jurnal Psikologi Proyeksi. 2 (2): 6-7.
- ^ "Realistic conflict theory". Wikipedia (dalam bahasa Inggris). 2022-03-09.
- ^ a b Rahman, M. T. (2011). Glosari Teori Sosial (PDF). Bandung: Ibnu Sina Press. hlm. 101. ISBN 978-602-99802-0-2.