Ceki
Halaman ini sedang dipersiapkan dan dikembangkan sehingga mungkin terjadi perubahan besar. Anda dapat membantu dalam penyuntingan halaman ini. Halaman ini terakhir disunting oleh Alteaven (Kontrib • Log) 391 hari 433 menit lalu. Jika Anda melihat halaman ini tidak disunting dalam beberapa hari, mohon hapus templat ini. |
Ceki (dibaca dengan e pepet /tʃəki/) adalah sejenis kartu permainan dari masyarakat Tionghoa dan Peranakan yang dimainkan di Malaysia, Singapura dan Indonesia. Ceki merupakan turunan kartu permainan Tionghoa bergambar uang dengan tokoh Batas Air yang gambar-gambarnya mengalami penyederhanaan dan abstraksi.
Nama
Beberapa sumber menduga bahwa kata ceki (Jawi چکي, aksara Jawa ꦕꦼꦏꦶ, aksara Bali ᬘᭂᬓᬶ) berasal dari istilah Bahasa Hokkien seperti chít ki (一枝) “satu kartu” atau jī ki (二枝) "dua kartu". Istilah ini mungkin merujuk pada jenis permainan sebelum bergeser makna menjadi kartunya sendiri.[1][2] Di beberapa tempat, ceki masih dirujuk sebagai jenis permainan sementara kartunya dikenal dengan nama lain seperti daun ceki, iyu/ijo,[a] kartu Cina, kertu cilik,[3] koa/kowa,[4][5][6] dan sikiah.[7] KBBI menggunakan ejaan ceki untuk Bahasa Indonesia baku,[8] namun terdapat banyak variasi ejaan dalam rujukan lama, termasuk cuki,[9] cekian,[10] chĕki,[11] chaqui,[2] tjeki, dan tyekén.[12]
Pemain
Ceki awalnya dikenal di seantero Nusantara berkat peran dagang masyarakat Tionghoa dan Peranakan yang kemudian memperkenalkan permainan kartu mereka pada masyarakat lokal. Ceki bahkan pernah dimainkan di Suriname, dibawa oleh tenaga kerja Jawa yang didatangkan pemerintahan kolonial Belanda pada akhir abad ke-19.[12] Kini, populeritas ceki sebagian besar sudah tergantikan dengan kartu remi meski terdapat sejumlah daerah yang masih memainkannya.
Di Malaysia dan Singapura masa kolonial, ceki sempat menjadi permainan rakyat yang dimainkan segala kalangan, dari jelata hingga bangsawan. Sebagai contoh, catatan keuangan Sultan Abdul Hamid Halim dari Kedah (1864-1943) menunjukkan bahwa sang sultan senang berjudi menggunakan ceki.[13] Berbagai istilah ceki dikenal dengan nama Hokkien, dan gambar kartu yang digunakan cenderung lebih mendekati kartu Tionghoa asli dibanding kartu-kartu yang digunakan di Indonesia. Rujukan lebih baru dari Malaysia dan Singapura mengindikasikan bahwa lambat laun hanya wanita yang memainkan ceki, terutama dari kalangan peranakan, dan terus mengalami penurunan populeritas hingga hampir punah di masa modern. Buku The Babas melaporkan bahwa sekitar 1980an ceki hanya bisa dibeli di Malaka. Namun begitu terdapat upaya untuk melestarikan dan mempopulerkan kembali ceki pada masyarakat umum.
Sama seperti di Malaysia dan Singapura, di Indonesia ceki sempat menjadi permainan rakyat berbagai kalangan pada masa kolonial Belanda, namun seiring waktu populeritasnya hanya bertahan di beberapa daerah. Ceki kini sulit didapat dan hampir tidak dimainkan di Jawa, meski populer dimainkan setidaknya hingga 1940an.[14] Sementara itu, ceki hingga kini masih umum dimainkan di ranah Minang serta Bali dan cukup mudah ditemukan di berbagai toko daerah tersebut.[15][16]
Dek
Galeri
|
Catatan
- ^ ejaan lama, dibaca i-yo /ijo/, bukan /idʒo/
Rujukan
- ^ Jones 2008, hlm. 48.
- ^ a b Amaro 1993.
- ^ Robson & Wibisono 2002, hlm. 365.
- ^ Matthes 1859.
- ^ Matthes 1874.
- ^ Wilkinson 1901.
- ^ Robson & Wibisono 2002, hlm. 679.
- ^ "Ceki". Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring.
- ^ Duff-Cooper 1987, hlm. 72.
- ^ Dalton 1997, hlm. 174.
- ^ Hamilton 1924, hlm. 53.
- ^ a b Hoefte 1998, hlm. 170.
- ^ Musa 2015, hlm. 58.
- ^ Siem 1941.
- ^ Muhammad 2021, hlm. 170.
- ^ Alkatiry & Aviandy 2018.
Daftar Pustaka
- Alkatiry, Zeffry; Aviandy, Mochammad (2018). "Tradition Card Game Ceki: Community Identity Chinese Melay Medan, Minang, and Bali". International Review of Humanities Studies. 3 (2): 274–286. doi:10.7454/irhs.v3i2.69.
- Amaro, Ana Maria (1993). "'Chaqui and Partui: Two Popular Card Games of the 'Christãos' of Malacca', translated by A. G. Smith". Journal of the International Playing-Card Society. 22 (2): 34-40.
- Dalton, Bill (1997). Bali Handbook. Chico: Moon Publications. ISBN 1-56691-073-0.
- Duff-Cooper, Andrew (1987). "Some Imaginative Functions of Consciousness from a Balinese Form of Life on Lombok". Anthropos. 82 (1): 63–85.
- Chia, Felix (1980). The Babas. Singapore: Times Books International. ISBN 9971-65-058-4.
- Hamilton, A. W. (1924). "Chinese Loan-Words in Malay". Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society. 2 (June): 48–56.
- Hoefte, Rosemarijn (1998). Gainesville: University Press of Florida. ISBN 0-8130-1625-8. Teks "titleIn Place of Slavery: A Social History of British Indian and Javanese Laborers in Suriname" akan diabaikan (bantuan); Tidak memiliki atau tanpa
|title=
(bantuan) - Jones, Russell (2008). Loan-words in Indonesian and Malay. Leiden: KITLV Press. ISBN 978-90-6718-304-8.
- Matthes, Benjamin Frederik (1859). Makassaarsch–Hollandsch woordenboek. Amsterdam: Frederik Muller.
- Matthes, Benjamin Frederik (1874). Boegineesch–Hollandsch woordenboek. Amsterdam: C. A. Spin & Zoon.
- Muhammad, Ali Azhar (2021). "The Transitional Democracy Trap: Democracy, Complexity, and Local Oligarchy in Bali". Dalam Vandenberg, Andrew. Pages in Security, Democracy, and Society in Bali. Singapore: Palgrave Macmillan. hlm. 155–176. ISBN 978-981-15-5848-1.
- Musa, Mahani (2015). "The Memory of the World Register: The Sultan Abdul Hamid Correspondence and Kedah history". Kajian Malaysia vol. 33: 53–74.
- Robson, Stuart ; Wibisono, Singgih (2002). Javanese English Dictionary. Singapore: Periplus Editions. ISBN 0-7946-0000-X.
- Siem 沁, Tjan Tjoe 曾祖 (1941). Javaanse Kaartspelen: bijdrage tot de beschrijving van land en volk; Verhandelingen van het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen volume 75. Bandung: A. C. Nix & Co.
- Wilkinson, Richard James (1901). A Malay–English Dictionary volume 1: ‘Alif to Za’. Singapore: Kelly & Walsh.
Pranala Luar
Ceki Cards oleh George Pollard (2023)