Wisconsin v. Yoder

Revisi sejak 17 Desember 2023 17.21 oleh Agytigan (bicara | kontrib) (Latar belakang kasus)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Wisconsin v. Yoder, 406 U.S. 205 (1972) adalah putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat yang mengatur bahwa anak-anak keluarga kaum Amish tidak bisa diwajibkan oleh pemerintah daerah untuk masuk sekolah kelas 8 ke atas. Hak kebebasan beragama orang tua anak dipertahankan dari penuntutan pemerintah Wisconsin untuk mendidik penduduknya.

Wisconsin v. Yoder
Disidangkan pada Desember 8, 1971
Diputus pada May 15, 1972
Nama lengkap kasusState of Wisconsin v. Jonas Yoder, Wallace Miller, and Adin Yutzy
Kutipan406 U.S. 205 (lanjut)
92 S. Ct. 1526; 32 L. Ed. 2d 15; 1972 U.S. LEXIS 144
Versi sebelumnyaTerdakwa dihukum, Kaunti Green, Mahkamah Keliling Wisconsin; dibatalkan, 182 N.W.2d 539 (Wis. 1971); cert. granted, 402 U.S. 994 (1971)
Versi selanjutnyaTidak ada
Amar putusan
Peraturan Wajib Sekolah Wisconsin melanggar hak tercantum di Ayat Kebebasan Beragama dari Amendemen Pertama karena peraturan wajib sekolah di kelas 8 ke atas merintangi hak orang tua kaum Amish mendidik agama mereka kepada anak-anaknya. Mahkamah Agung Wisconsin bersependapat.
Hakim yang memutus
Pendapat
MayoritasBurger, bersama Brennan, Stewart, White, Marshall, Blackmun
MenyetujuiStewart, bersama Brennan
MenyetujuiWhite, bersama Brennan, Stewart
MenolakDouglas
Powell dan Rehnquist tidak turut memberi pertimbangan dan mengambil keputusan.
Dasar hukum
U.S. Const. amend. I; Wis. Stat. § 118.15 (Wisconsin Compulsory School Attendance Law)

Latar belakang kasus

sunting

3 murid sekolah keturunan Amish dari keluarga yang tidak sama berhenti sekolah dan tidak melanjuti kelas 8 di Sekolah Mengenah New Glarus (New Glarus High School) di Desa New Glarus, Wisconsin, dikarenakan oleh kepercayaan agama orang tua mereka. Saat persidangan, ketiga-tiga keluarga ini diwakili oleh Jonas Yoder, salah satu bapak keluarga tersebut. Awalnya mereka dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Kaunti Green, dan setiap terdakwa didenda 5 dolar. Namun, Mahkamah Negara Bagian Wisconsin berpihak kepada Yoder dan mengajukan banding kepada Mahkamah Agung Amerika Serikat.

Karena keluarga Amish ini mematuhi perintah Alkitab yang menyebutkan "berilah juga pipi kirimu", mereka tidak ingin mengusut perkara ini dan tidak mampu membela diri pada saat persidangan dan di depan komite legislatif. Seorang pendeta Gereja Luther William C. Lindholm menurun tangan dalam perkara hak kebebasan beragama ini dan membentuk Komite Nasional Kebebasan Beragama Kaum Amish (The National Committee For Amish Religious Freedom) untuk melayani penganjuran-penganjuran hukum kepada kaum tersebut.

Menurut ajaran-ajaran gereja Amish, pendidikan tinggi bukan hanya tidak penting untuk kehidupan sederhana mereka, namun juga membahayakan keselamatan rohaniah mereka. Karena itu keluarga-keluarga Amish tersebut meminta diizinkan tidak melanjuti pendidikan anak-anaknya dengan alasan kebebasan beragama. Mereka yakin bahwa bekal ajaran norma-norma rumah akan mengungguli pendidikan duniawi sekolah.

Putusan

sunting

Mahkamah Agung sepenuhnya berpihak kepada Yoder. Hakim William O. Douglas menuliskan pernyataan separuh tidak setuju, namun tetap menuruti keputusan mahkamah. Hakim-hakim lainnya, Lewis F. Powell, Jr. dan William Rehnquist tidak turut mengusulkan suara.

Mahkamah Agung Negara Bagian Wisconsin juga menyatakan bahwa pelaksanaan hukum wajib sekolah yang jika dianggap melanggar Amendemen Pertama akan diterapkan menurut Amandmenen Keempatbelas. Pernyataan mereka:

  1. Setiap negara-negara bagian tidak berwewenang mewajibkan setiap individu untuk masuk sekolah jika pelaksanaan keputusan tersebut melanggar hak mereka dari Amendemen Pertama. Dalam persidangan ini, Negara Bagian Wisconsin memang telah melanggar hak kebebasan beragama yang sah.
  2. Tidak semua kepercayaan berasal dari keinginan hak kebebasan beragama Amendemen Pertama. Untuk dinyatakan mengingini hak beragama sah, terdakwa mesti memiliki bukti yang berdasarkan dari kegiatan hidup beragama yang nyata dan obyektif, bukan yang berdasarkan dari standar perorangan hidup rohaniah. Gaya hidup kaum Amish adalah contoh keyakinan dalam yang berakar dari Alkitab. Agama mereka mewajibkan pengikutnya menolak benda-benda duniawi dan gaya hidup sederhana dan Alkitabiah. Pendidikan sekolah menengah zaman modern ini sangat bertentangan dengan gaya hidup kaum Amish.
  3. Negara Bagian Wisconsin mendesak pentingnya pendidikan modern di atas kelas 8 untuk mempersiapkan penduduk masyarakat supaya sanggup turut serta dalam proses politik Amerika, namun Mahkamah Agung tetap juga tidak setuju. Balasan Mahkamah, Negara Bagian tidak mampu membuktikan adanya manfaat besar melanjuti 2 tahun terakhir pendidikan sekolah. Lanjutnya, Mahkamah Agung berpendapat bahwa komunitas Amish adalah sebuah masyarakat yang sangat berhasil di Amerika, suatu kelompok penduduk yang berdikari, patuh kepada hukum, tepat membayar pajak dan sama sekali tidak menerima uang bantuan kesejahteraan apapun. Murid-murid Amish akan terus melanjutkan pendidikan perjuruan mereka setelah meninggalkan sekolah.
  4. Mahkamah Agung tidak melihat adanya bukti bahwa jika kaum Amish tidak lanjut 2 tahun sekolah, mereka akan menjadi beban masyarakat. Justru sebaliknya, Mahkamah Agung berpendapat bahwa kaum Amish ini berpendidikan kejuruan yang kukuh. Negara Bagian Wisconsin berprasangka salah karena menganggap anak-anak keturunan Amish tidak berpendidikan. Kebijakan wajib lanjut sekolah setelah sekolah dasar adalah gerakan yang baru bermulai sejak pada awal abad ke-20 untuk mencegah pekerja anak dan mematokkan batas umur wajib sekolah. Maka desakan Negara Bagian Wisconsin untuk menggalakkan kewajiban sekolah kurang berbobot.
  5. Balasan Mahkamah Agung kepada pernyataan tidak setuju oleh Hakim Douglas adalah permasalahannya apakah perkara ini meliputi hak kebebasan beragama orang, bukan hak Amendemen Pertama sang anak. Maka, desakannya mengenai hak beragama sang anak tidak berhubungan dengan perkara persidangan.

Pernyataan tidak setuju

sunting

Hakim William Orville Douglas yang separuh tidak setuju menuliskan:

"Saya sepaham dengan Mahkamah Agung bahwa keberatan berrohaniah keluarga Amish ini bertentangan dengan pendidikan menengah lanjut anak mereka, namun saya tidak setuju dengan kesimpulan Mahkamah bahwa perkara ini hanya tergantung dari keputusan orang tua sendiri. Uraian Mahkamah berprasangka bahwa yang dipertaruhkan dalam perkara ini hanyalah kepentingan orang tua Amish dan kepentingan Negara Bagian. Meskipun Mahkamah menyatakan sebaliknya, kesalahan pandangan ini adalah sang orang tua bukan cuma membenarkan gugatan kebebasan beragama mereka, mereka juga membenarkan gugatan-gugatan kebebasan beragama murid-murid sebaya anak-anak sekolah menengah mereka... Dalam perkara pendidikan yang sangat penting dan mendesak ini, mestilah sang anak diberikan kesempatan bersuara. Tanpa pertentangan, sang orang tua biasanya mewakili kehendak seluruh keluarga, namun dalam perkara pendidikan sang anak biasanya sudah membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Sang anak mungkin sudah berminat menjadi pemain piano, astronaut, atau oseanograf. Oleh karena itu sang anak mesti menentang tradisi keluarga Amishnya. Perkara ini mengenai masa depan sang anak, bukan masa depan sang orang tua, dan telah dibahayakan oleh keputusan Mahkamah pada hari ini. Jika sang orang tua tidak mengizinkan anaknya lanjut sekolah, maka sang anak akan selamanya terlarang masuk ke dalam dunia hari ini yang baru, menakjubkan dan beraneka ragam. Sang anak akan memutuskan inilah takdir, atau akan memberontak. Mestinya kita menafsirkan perkara ini sebagai pertimbangan sang murid, bukan orang tuanya, jika kita ingin sungguh-sungguh menuruti Deklarasi Hak-Hak dan hak sang murid-murid ini untuk menjadi raja nasibnya sendiri. Kalau nasibnya didiktekan oleh gaya hidup Amish dan pendidikannya terpotong, seluruh hidupnya bisa terhambat dan menjadi cacat. Oleh karena itu semestinya sang anak diberikan kesempatan bersuara sebelum Negara Bagian membuat keputusan memberi izin, yang telah kita junjungi pada hari ini."

Akibat putusan

sunting

"Sejak sidang Wisconsin v. Yoder, setiap Negara Bagian mesti mengabulkan hak mereka mendirikan sekolah pribadi kepada kaum Amish Orde Lama (sesuai dengan kehendak mereka) atau mereka mesti berhenti sekolah setelah kelas 8. Di beberapa komunitas masih terdapat orang tua Amish yang terus menyekolahkan anak mereka di sekolah dasar setelah keputusan sidang Wisconsin v. Yoder. Di kebanyakan daerah suasana tidak tentram telah berkurang banyak setelah keputusan Mahkamah Agung, namun masih terdapat kesulitan di wilayah Amish di Negara Bagian Nebraska.

Pranala luar

sunting