Radio Republik Indonesia

Penyiar radio publik di Indonesia

Radio Republik Indonesia (RRI) adalah stasiun radio milik pemerintah Indonesia. RRI didirikan pada tanggal 11 September 1945. Slogan RRI adalah "sekali di udara, tetap di udara".

Kantor RRI pusat di sekitar Monas, Jakarta

Status

Dengan disahkannya Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, RRI saat ini berstatus Lembaga Penyiaran Publik. Pasal 14 Undang Undang Nomor 32/2002 menegaskan bahwa RRI adalah Lembaga Penyiaran Publik yang bersifat independen, netral, tidak komersial dan berfungsi melayani kebutuhan masyarakat.

Sebagai Lembaga Penyiaran Publik, RRI terdiri dari Dewan Pengawas dan Dewan Direksi. Dewan Pengawas yang berjumlah 5 orang terdiri dari unsur publik, pemerintah dan RRI. Dewan Pengawas yang merupakan wujud representasi dan supervisi publik memilih Dewan Direksi yang berjumlah 5 orang yang bertugas melaksanakan kebijakan penyiaran dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan penyiaran. Status sebagai Lembaga Penyiaran Publik juga ditegaskan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 11 dan 12 tahun 2005 yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Undang Undang Nomor 32/2002.

Sebelum menjadi Lembaga Penyiaran Publik selama hampir 5 tahun sejak tahun 2000, RRI berstatus sebagai Perusahaan Jawatan (Perjan) yaitu badan usaha milik negara (BUMN) yang tidak mencari untung. Dalam status Perusahaan Jawatan RRI telah menjalankan prinsip-prinsip radio publik yang independen. Perusahaan Jawatan dapat dikatakan sebagai status transisi dari Lembaga Penyiaran Pemerintah menuju Lembaga Penyiaran Publik pada masa reformasi.

Radio Republik Indonesia, secara resmi didirikan pada tanggal 11 September 1945, oleh para tokoh yang sebelumnya aktif mengoperasikan beberapa stasiun radio Jepang di 6 kota. Rapat utusan 6 radio di rumah Adang Kadarusman Jalan Menteng Dalam Jakarta menghasilkan keputusan mendirikan Radio Republik Indonesia dengan memilih Dokter Abdulrahman Saleh sebagai pemimpin umum RRI yang pertama.

Rapat tersebut juga menghasilkan suatu deklarasi yang terkenal dengan sebutan Piagam 11 September 1945, yang berisi 3 butir komitmen tugas dan fungsi RRI yang kemudian dikenal dengan Tri Prasetya RRI. Butir Tri Prasetya yang ketiga merefleksikan komitmen RRI untuk bersikap netral tidak memihak kepada salah satu aliran / keyakinan partai atau golongan. Hal ini memberikan dorongan serta semangat kepada broadcaster RRI pada era Reformasi untuk menjadikan RRI sebagai lembaga penyiaran publik yang independen, netral dan mandiri serta senantiasa berorientasi kepada kepentingan masyarakat.

Likuidasi Departemen Penerangan oleh Pemerintah Presiden Abdurahman Wahid dijadikan momentum dari sebuah proses perubahan Government Owned Radio ke arah Public Service Boradcasting dengan didasari Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2000 yang ditandatangani Presiden RI tanggal 7 Juni 2000. Pembenahan organisasi dan manajemen dilakukan seiring dengan upaya penyamaan visi (shared vision) dikalangan pegawai RRI yang berjumlah sekitar 8500 orang yang semula berorientasi sebagai pemerintah yang melaksanakan tugas-tugas yang cenderung birokratis.

Dewasa ini RRI mempunyai 52 stasiun penyiaran dan stasiun penyiaran khusus yang ditujukan ke Luar Negeri, "Suara Indonesia". Kecuali di Jakarta, RRI di daerah hampir seluruhnya menyelenggarakan siaran dalam 3 program yaitu Programa Daerah yang melayani segmen masyarakat yang luas sampai pedesaan, Programa Kota (Pro II) yang melayani masyarakat di perkotaan dan Programa III (Pro III) yang menyajikan Berita dan Informasi (News Chanel) kepada masyarakat luas. Di Stasiun Cabang Utama Jakarta terdapat 6 programa yaitu Programa I untuk pendengar di Propinsi DKI Jakarta Usia Dewasa, Programa II untuk segment pendengar remaja dan pemuda di Jakarta, Programa III khusus berita dan informasi, Programa IV kebudayaan, Programa V untuk saluran pendidikan dan Programa VI Musik Klasik dan Bahasa Asing. Sedangkan "Suara Indonesia" (Voice of Indonesia) menyelenggarakan siarannya sendiri.

Sekilas Sejarah RRI dimasa Perjuangan

Pada tanggal 14 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta tiba di bandara Kemayoran dari Saigon. Jusuf Ronodipoero meliput di bandara. Dalam wawancaranya di bandara, Bung Karno mengatakan bahwa untuk memperoleh kemerdekaan tidak perlu menunggu jagung berbunga. Bung Karno mengutip ramalan joyoboyo, dan pada waktu itu tidak ada yang tahu bahwa Kaisar Jepang telah menyatakan menyerah kepada Sekutu. Pada tanggal 16 Agustus 1945 komplek radio tetap dijaga ketat oleh kampetai (tentara Jepang). Siaran dalam negeri berjalan seperti biasa membawakan lagu-lagu Jepang dan Indonesia, serta berita-berita yang masih menyatakan kemenangan Jepang. Pada tanggal 17 Agustus 1945 pagi hari, siaran dalam negeri terus berjalan, dan berita disiarkan dari sumber Domei (kantor Berita Jepang). Sekitar pukul 17.30, ketika pegawai bersiap-siap berbuka puasa, seorang wartawan kantor berita Jepang Syachruddin berhasil menyusup ke gedung radio dan ke ruang pemberitaan dengan membawa teks proklamasi yang diterimanya dari Adam Malik untuk disiarkan melalui radio. Pada pukul 18.00 petugas pemberitaan, siaran dan teknik berunding di ruangan pemberitaan untuk mencari kesempatan menyiarkan teks proklamasi. Petugas teknik menginformasikan bahwa studio luar negeri yang tidak mengudara, berada dalam keadaan kosong. Studio itu dapat dipergunakan dan petugas teknik mengatur line modulasi dari sana bisa langsung ke pemancar 10 kw yang terletak di Tanjung Priok. Tepat pukul 19.00 teks proklamasi dibacakan secara bergantian dalam bahasa Indonesia oleh Jusuf Ronodipoero daj dalam bahasa Inggris oleh Suprapto. Penyiaran teks proklamasi tersebut melalui radio di Jakarta berlangsung berkali-kali selama 15 menit dan pembacaan yang sama dilakukan juga oleh Radio Bandung. Pada pukul 20.30 WIB para kampetai datang ke ruang pemberitaan karena peristiwa penyiaran teks proklamasi telah diketahui oleh Jepang, dan menyiksa seluruh petugas radio yang menyiarkan teks proklamasi, hal yang sama juga dialami oleh Radio Bandung dihentikan pada pukul 21.00 WIB. Dengan demikian bahwa radio sepeninggalnya Jepang di Indonesia diserahkan sepenuhnya kepada Republik Indonesia, dan ini merupakan cikal bakal dari berdirinya Radio Republik Indinesia dan hingga saat ini RRI terus berjuang demi eksistensinya dibidang komunikasi dengan semangat ”Sekali di udara tetap diudara”.

Lihat pula

Pranala luar