Gazal (serapan dari bahasa Arab: غزل, translit. ġazal) adalah suatu jenis atau ragam puisi khas Arab yang berasal dari Persia (atau Timur Tengah),[1] tiap bait biasanya terdiri antara lima hingga lima belas (secara khusus di Indonesia, empat hingga delapan) baris yang bersajak (a-b-a-b), pada baris awal biasanya digunakan untuk tumpuan dan baris akhir merupakan isi.

Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia tak luput dari pengaruh kebudayaan Arab yang satu ini, versi terjemahan dari Gazal di Indonesia secara lokal kerap dikenali dengan istilah "Pantun" yang secara religius Islamiah dilestarikan oleh masyarakat Muslim, utamanya di Sumatra Barat dan Jawa Barat. Secara hakikatnya, Gazal seringkali membahas topik-topik spiritual keagamaan (dan juga asmara) yang dapat dipahami sebagai ekspresi puitis pengalaman para figur pendahulu yang kemudian digunakan sebagai pedoman dalam berkehidupan yang lebih baik bagi generasi berikutnya, itulah sebabnya mengapa versi terjemahan Gazal kemudian dinamakan sebagai "pantun" di Indonesia, yang mana secara etimologinya berakar dari bahasa Sunda (atau bahasa Minangkabau) "panuntun" yang secara harfiah bermakna "penuntun; petunjuk; pedoman". Di lain sisi, bentuk musikalisasi akan Gazal juga dapat ditemui di beberapa daerah di Indonesia, contohnya seperti yang dapat ditemui di Jambi, yang mana Gazal dilantunkan secara kolaboratif dengan iringan irama gambus (alat musik perkusi khas Arab) dan penampilan Zapin (tarian khas Arab asal Yaman).[1] Di Pakistan, bentuk derivatif Gazal juga dapat ditemui, yang mana secara lokal dikenali sebagai Nazm (dalam bahasa Urdu dan Sindi) atau Nadim (dalam bahasa Indonesia).

Nomenklatur

Istilah "gazal" dalam bahasa Indonesia merupakan suatu kata serapan langsung yang beretimologi dari istilah genre puisi khas bahasa Arab, yaitu ġazal (غزل), ḡazal (غَزَل), atau ḡazila (غَزِلَ), yang memiliki arti "berbicara manis" ataupun "menggoda".

Sejarah

Secara historis, Gazal diyakini berasal dari wilayah Arab pada abad ke-7 Masehi, perkembangan dari Kasidah, yang mana merupakan bentuk puisi Arab pra-Islam yang jauh lebih tua. Kasidah biasanya merupakan puisi yang lebih panjang, hingga 100 bait. Secara tematis, Kasidah tidak menyertakan topik bernuansa asmara, dan biasanya merupakan pidato atau kidung pujian untuk suatu suku atau penguasa, dan juga dapat berupa cercaan, ataupun prinsip moral. Namun demikian, pendahuluan pembukaan Kasidah, yang disebut Nasib, biasanya bertema nostalgia dan/atau romantisme, dan bentuknya sangat dihias dan diberi penggayaan khas. Belakangan, Nasib mulai ditulis sebagai puisi pendek yang berdiri sendiri, yang kemudian menjadi Gazal. Gazal muncul sebagai genre puisi pada era Bani Umayah (661–750 Masehi) dan terus berkembang dan berkembang pada awal era Abasiyah. Gazal Arab mewarisi struktur syair formal Kasidah, khususnya kepatuhan yang ketat terhadap meteran dan penggunaan Kafiyah, sajak akhir yang umum pada setiap bait (disebut bayt dalam bahasa Arab dan sher dalam bahasa Persia). Sifat Gazal juga berubah untuk memenuhi tuntutan penyajian musik, menjadi lebih singkat. Meteran puisi yang lebih ringan, seperti Kafif, ramal, dan Muqtarab lebih disukai, daripada meteran yang lebih panjang dan berat yang disukai untuk Kasidah (seperti Kamil, Basit, dan Rajaz). Secara topikal, fokus Gazal juga berubah dari kenangan nostalgia tanah air dan orang-orang tercinta, ke arah tema romantis ataupun erotis. Ini termasuk sub-genre dengan tema cinta sopan (Udari), erotisme (Hisi), homoerotisisme (Mudakar), dan sebagai pengantar untuk puisi yang lebih besar (Tamhidi).

Referensi

  1. ^ a b "Cari "Gazal" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)". Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 

Pranala luar