Suku Keo
Suku Keo (Ata Kéo) adalah kelompok etnis yang mendiami bagian tengah-selatan Pulau Flores, Indonesia. Mereka menghuni kawasan sekitar lereng Gunung Ebulobo bagian selatan, meliputi sebagian wilayah Boawae, Mauponggo, Gunung Koto di Keo Tengah, dan Kedi Diru di Nangaroro.[2] Masyarakat Keo memiliki hubungan kekerabatan dengan etnis Nage yang berada di sebelah utaranya.[3]
Ata Kéo | |
---|---|
Jumlah populasi | |
40.000 (2001)[1] | |
Daerah dengan populasi signifikan | |
Pulau Flores (Nagekeo) | |
Bahasa | |
Keo, Indonesia | |
Agama | |
Mayoritas Katolik, minoritas Islam, Protestan, dan kepercayaan asli | |
Kelompok etnik terkait | |
Nage • Ngada • Lio |
Sejarah
Masa kolonial Belanda
Dalam publikasi Belanda, nama Keo (Kéo) tertulis dalam laporan Freijss (1860), untuk menjelaskan sekelompok penduduk nelayan yang berdomisili di sepanjang pantai selatan Flores bagian tengah, yang membedakannya dengan penduduk dari suku Nage yang berkerabat dekat. Pada saat yang sama, Freijss mencatat tentang Puncak Kéo (Kéopiek) yang dimaksudkannya adalah Ebu Lobo dan Teluk Kéo. Menurut catatan sejarah dan tuturan lisan, jauh sebelum ada misionaris dan pedagang Eropa (Portugis dan Belanda) di Flores, sesungguhnya nama Keo itu telah dikenal oleh para misionaris Dominikan dari Portugis yang telah menjelajahi kawasan itu pada abad ke-16 untuk mewartakan Injil hingga menjangkau beberapa stasi di kawasan Keo seperti stasi Kewa, Mari, dan Lena. Dalam berbagai literatur Belanda, hingga abad ke-19, nama Keo nampaknya selalu menjadi rujukan untuk seluruh kawasan yang dihuni oleh suku Keo dan Nage. Intervensi kolonial Belanda di kawasan ini sesungguhnya jauh kemudian, pada tahun 1907, dibandingkan dengan kawasan lainnya di Indonesia. Ketika tiba di Nusantara, termasuk di Keo, para pejabat kolonial Belanda mulai melakukan restrukturisasi bentuk pemerintahan lokal sesuai bentuk administrasi kolonial, dengan merujuk pada struktur organisasi asli masyarakat adat. Transisi dan perubahan sistem administrasi sering dilakukan, karena para penguasa asing itu sering mengalami kesulitan untuk menyelaraskan sistem asing dengan sistem adat setempat. Namun sejak tahun 1920-an, situasi politik berubah dan pemerintah Belanda mulai terbuka untuk mendengar para penguasa adat lokal. Seluruh kepulauan Nusantara (Indonesia) dibagi ke dalam gewesten atau provinsi yang dikepalai oleh governeur atau residen.[2]
Di Kepulauan Sunda Kecil, beberapa penguasa lokal dengan sistem penguasa asli setempat yang dikenal dengan nama tetua adat (adathoofden atau mosalaki) dan pengawas atau pengatur tanah (grondvoogden atau ine tana ame watu) difungsikan oleh pemerintah kolonial. Hingga tahun 1910-an, pemerintah kolonial Belanda sering memandang Keo sebagai kawasan dengan masyarakat yang keras kepala, sulit diperintah, dikuasai, dan diatur. Kesan itu timbul karena di wilayah Keo pada masa itu telah terjadi 2 pemberontakan lokal, yakni pemberontakan yang dipimpin oleh Kaka Dupa di wilayah Tana Dea (1907) dan pemberontakan Lejo, yang dikenal dengan Lejo oorlog (1912) di bawah pimpinan Lewa Wula. Kolonial Belanda yang lazim menerapkan sistem divide et impera (membagi-bagi dan menguasai), di kawasan Keo menerapkan sistem yang dinamakan unifica et impera (menyatukan dan menguasai). Berhadapan dengan sikap non-kooperatif dari masyarakat Keo dan kebutuhan mendesak untuk menciptakan wilayah-wilayah administratif berdasarkan kesamaan budaya, bahasa, dan organisasi sosial lokal, maka pemerintah kolonial memperlakukan Keo sebagai bagian dari Nage, sambil mendaftarkan semua kampung di kawasan Keo dalam wilayah Nage sebagaimana tertera dalam laporan kolonial tahun 1910-an. Latar belakang dari usaha unifikasi Keo dan Nage ini adalah situasi dan kondisi sosial politik yang tidak kondusif di kawasan Keo antara tahun 1908 hingga 1912, yang dipicu umumnya pemberontakan atas ketidakpuasan dalam hal pembayaran pajak dan sistem rodi (kerja paksa). Pada tahun 1913, setelah pemberontakan Sela Lejo, sebuah rapat besar diadakan di kampung Wajo. Dalam rapat itu Muwa Tunga dari kampung Kota terpilih sebagai administrator lokal sementara. Muwa Tunga akhirnya menjadikan kampung Kota sebagai pusat distrik, yang dikenal kemudian dengan nama Kota Keo. Ketika situasi dan kondisi pemberontakan di Keo semakin mereda, maka pada tahun 1915, pejabat kolonial A.R. Herns mengusulkan agar Keo dan Nage dipersatukan menjadi satu landschap (distrik) bernama Nage dan diperintah oleh Roga Ngole. Pada prinsipnya usulan tersebut diterima baik oleh Belanda. Namun, dalam sebuah rapat di Boawae pada tanggal 8 April 1917, usulan itu tidak dapat disahkan oleh para pemimpin kedua wilayah, baik dari Nage maupun Keo. Memperhatikan hasil pertemuan Boawae tersebut, maka pimpinan afdeeling Flores dan gezagheber Ngada, dalam laporan yang ditulis pada 20 April 1917 (no. 798/15) menginformasikan kepada Residen Timor bahwa kedua wilayah Nage dan Keo itu hendaknya tidak dipersatukan di bawah kekuasan Roga Ngole. Wilayah Keo hendaknya tetap diakui sebagai distrik atau landschap tersendiri dengan Muwa Tunga sebagai administratornya. Maka dengan dekrit pemerintah kolonial Belanda tertanggal 28 November 1917 (no. 57), Muwa Tunga ditunjuk sebagai administrator (atau bestuurder) yang juga telah diembannya sejak 1913, dan kemudian dikukuhkan dengan sumpah jabatan.[2]
Pada 2 Maret 1918, disaksikan oleh gezagheber Ngada, Muwa Tunga mengambil sumpah (korte verklaring), lalu ditandatangani olehnya dan oleh para saksi. Di bawah kepemimpinan Muwa Tunga, landschap Keo dibagi atas 10 hamente dan dipimpin oleh masing-masing secundaire hoofden atau kepala mere. Hamilton mendaftar ke-10 hamente dengan masing-masing kepala mere sebagai berikut: Tonggo dengan kepala mere Pua Mera, Riti dengan kepala mere Goo Bhoko, Lewa dengan kepala mere Aja Mbaa, Wajo dengan kepala mere Aja Ari, Wuji dengan kepala mere Mere Muku, Pau Tola dengan kepala mere Ora Ari, Kota dengan kepala mere Ego Ari, Sawu dengan kepala mere Mite Ebu, Lejo dengan kepala mere Tado Toyo, dan Worowatu dengan kepala mere Seme Rau.[2]
Kendatipun yurisdiksi administrasi sementara telah diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda sesuai dengan lembaran negara, yang selanjutnya menjadi satu wilayah administratif yang tetap dengan ibukotanya di Bajawa, Belanda tetap saja berusaha merevisi kemungkinan untuk mempersatukan Keo dengan Nage selama dua dekade pertama masa pemerintahan kolonial di kawasan ini. Usaha lain untuk mempersatukan kedua wilayah itu juga gagal pada tahun 1928. Tiga tahun kemudian, unifikasi terjadi pada 26 Januari 1931. Swapraja Nagekeo terbentuk dan berlangsung hingga tahun 1950.[2]
Menurut informasi lisan dan catatan yang kurang lengkap yang diperoleh bahwa meskipun unifikasi menjadi swapraja Nagekeo itu berhasil, namun eksistensi hamente Keo Tengah tetap berjalan dengan kepemimpinan beberapa kepala mere secara bergantian dan berlanjut secara berturut-turut, yakni kepala mere Goa Tunga, Yosef Taa, Frans Tua Bara, Mikhael Bhebhe, dan Felix Dhedhu. Selanjutnya, kesemua hamente ini dijadikan kecamatan Keo yang dimekarkan lagi menjadi kecamatan Keo Timur (Nangaroro) dan Keo Barat (Mauponggo), serta Keo Tengah yang berpusat di Maundai (wilayah hamente Worowatu).[2]
Masa pemerintahan Indonesia
Menurut struktur administrasi modern, wilayah Keo pada awalnya merupakan bagian dari Kabupaten Ngada. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur, tertanggal 22 Februari 1962, bernomor PEM.66/1/2, nama Keo pada awalnya tetap dipertahankan sebagai nama dari sebuah Kecamatan dari enam Kecamatan di Kabupaten Ngada. Namun, setahun kemudian, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur yang baru, tertanggal 22 Juli 1963, bernomor PEM.66/1/32, kecamatan Keo dimekarkan menjadi 2 kecamatan, yakni Keo Barat dengan nama Mauponggo dan Keo Timur dengan nama Nangaroro. Lalu berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur, bernomor PEM.9/2002, sebuah Kecamatan baru bernama Keo Tengah dibentuk, dengan wilayahnya mencakup 8 desa dari bagian timur Mauponggo yakni desa Keli, Lewa Ngera, Wajo, Koto Wuji Timur, Koto Wuji Barat, Mbae Nuamuri, Worowatu, dan Witu Romba Ua, serta ditambahkan dengan 3 desa dari bagian barat Nangaroro, yakni desa Koto Diru Mali, Lado Lima, dan Pau Tola. Lalu berdasarkan Undang-Undang No. 2/2007 Tentang Pembentukan Kabupaten Nagekeo, sejak peresmian Kabupaten baru itu kecamatan Keo Barat, Keo Tengah, dan Keo Timur beralih menjadi bagian dari Kabupaten Nagekeo.[2]
Populasi
Menurut data Ethnologue tahun 2001, populasi suku Keo berjumlah 40.000 jiwa dan bertutur menggunakan bahasa Keo.[1]
Budaya
Kain tenun
Masyarakat Keo dan Nage yang berkerabat dekat mempunyai tradisi menenun, sama seperti suku-suku lainnya di Pulau Flores pada umumnya.[4] Orang Keo menyebut jenis-jenis kain tenun tersebut dengan nama Dawo Nangge, Duka Wo'i, dan Dawo Ende.[5]
Lihat juga
Referensi
- ^ a b (Inggris) Suku Keo di Ethnologue
- ^ a b c d e f g Tule, Philipus (2021). "Mengenal Kebudayaan Keo: Dongeng, Ritual dan Organisasi Sosial". Kupang, Indonesia: Universitas Katolik Widya Mandira. Diakses tanggal 4 Januari 2024.
- ^ "Ata Nagekeo: Selain dari So'a, Ada Juga Kaum Pendatang". floresku.com. 16 Mei 2023. Diakses tanggal 4 Januari 2023.
- ^ "Kain Tenun Nagekeo Nusa Tenggara Timur". GPS Wisata Indonesia (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-04-14. Diakses tanggal 2020-06-06.
- ^ Center (INC), PT Indonesia News. "Intip Keistimewaan Kain Tenun Ikat Nagekeo NTT". inilahcom. Diakses tanggal 2020-06-06.