Kesultanan Jambi
Kesultanan Jambi adalah sebuah kerajaan Melayu Islam yang pernah berdiri di provinsi Jambi, Indonesia.[1][2][3] Kesultanan ini sebelumnya bernama kerajaan Melayu Jambi yang didirikan oleh Putri Pinang Masak keturunan dari Raja Pagaruyung Ananggawarman (anak dari Adityawarman) yang memerintah di hilir sungai batanghari.. Putri Pinang Masak memiliki 2 saudara yakni Putri Panjang Rambut 1 yang memerintah di muaro pijoan dan saudara lainnya putri Bungsu yang memerintah di hulu sungai Batanghari (melahirkan keturunan raja-raja Pagaruyung)
Kesultanan Jambi | |||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1615–1904 | |||||||||||||
Peta Kerajaan Melayu Jambi, meliputi kawasan sebagian wilayah Riau dan semenanjung Palembang utara. | |||||||||||||
Ibu kota | Tanah Pilih (sekarang Kota Jambi) | ||||||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Melayu Jambi | ||||||||||||
Agama | Islam | ||||||||||||
Pemerintahan | Monarki Kesultanan | ||||||||||||
Sultan | |||||||||||||
• 1615–1643 | Sultan Abdul Kahar | ||||||||||||
• 1900–1904 | Sultan Thaha Syaifuddin | ||||||||||||
Sejarah | |||||||||||||
• Didirikan | 1615 | ||||||||||||
• dibubarkan Belanda | 1904 | ||||||||||||
| |||||||||||||
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Putri Pinang Masak menikah dengan Datuk Paduko Berhalo (Ahmad Salim) yang berasal dari Turki, pada tahun 1460.[4][5] Putri Pinang Masak memiliki 4 orang anak yakni Orang Kayo Pingai, Orang Kayo Kedataran, Orang Kayo Hitam dan Orang Kayo Gemuk. Setelah Putri Pinang Masak turun tahta, tahta Raja Jambi diwariskan ke Orang Kayo Pingai, dilanjutkan ke Orang Kayo Kedataran dan berikutnya ke Orang Kayo Hitam. Dari keturunan Orang Kayo Hitam inilah menjadi Raja Jambi berikutnya. Dalam perkembangannya, pada tahun 1615 kerajaan ini resmi menjadi kesultanan setelah Pangeran Kedah naik takhta dan menggunakan gelar Sultan Abdul Kahar.[6][7] Kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1906 dengan sultan terakhirnya Sultan Thaha Syaifuddin.[8][9]
Sejarah
Pendirian
Wilayah Jambi dulunya merupakan wilayah Kerajaan Melayu yang ber agama Bhuda. Di abad ke 7 Itsing pernah mencatatkan tentang Kerajaan besar Moe-lo-yu yang berada di huluan sungai, penduduknya ber agama bhuda dan memiliki pusat pendidikan terbesar berada di chanpi (Jambi). Peninggalan itu saat ini masih berdiri di Candi Muaro Jambi, Komplek percandian terbesar di Asia Tenggara.
Berdirinya kesultanan Jambi bersamaan dengan bangkitnya Islam di wilayah Jambi.Raja pertama Jambi yaitu Putri Pinang Masak yang merupakan Anak Raja Ananggawarman, Putri Pinang Masak juga merupakan cucu dari Adityawarman raja yang berkedudukan di Dhamasraya hulu sungai Batanghari.
Ananggawarman tidak memliki keturunan laki-laki tapi memiliki 3 orang putri yaitu Putri Pinang Masak, Putri Panjang Rambut dan Putri Bungsu. Karena tidak memiliki putra, maka wilayah Kerajaan dibagi tiga kepada putri-putrinya. Anak pertama Putri Panjang Rambut memerintah di tengah Sungai Batanghari yakni di sekitar Muaro Pijoan, Anak kedua yakni Putri Pinang Masak memerintah di hilir Sungai Batanghari atau sekitar wilayah Tanjung Jabung kini (cikal bakal Kesultanan Melayu Jambi) dan anak ketiga memerintah di wilayah Hulu Sungai Batanghari yakni di sekitar Dhamasraya (berjalannya waktu pusat kerajaan ini berpindah ke daerah Tanah Datar, dan keturunannya menjadi Raja-Raja Pagaruyung )
Raja pertama Jambi seorang wanita yakni Putri Pinang Masak. Putri Pinang Masak memerintah Jambi, dimana Jambi sebelumnya diperintah oleh Tun Telanai dari Champa. Putri Pinang Masak memerintah mulai saat gadis, kemudian beliau menikah dengan ulama penyebar agama Islam yang bernama Ahmad Salim atau Ahmad Barus bergelar Datuk Paduka Berhalo (gelar ini didapat karena beliau menghancurkan patung-patung berhala di pulau berhala). Datuk Paduko Berhalo merupakan keturunan Nabi Muhammad S.A.W generasi ketujuh.
Dari Pernikahan Putri Pinang Masak dengan Datuk Paduko Berhalo memiliki 4 orang keturunan 3 putra dan 1 putri. 3 Putra tadi yakni pertama bernama Orang Kayo Pingai (Sayid Ibrahim), kedua Orang Kayo Kedataran (Sayid Ahmad Kamil), ketiga Orang Kayo Kedataran (Sayid Abdurahman) dan anak ke empat seorang putri bernama Orang Kayo Gemuk (Syarifah Siti Alawiyah).
Setelah wafatnya Putri Pinang Masak, Tahta Raja Jambi di pegang Orang Kayo Pingai, kemudian diserahkan ke adiknya Orang Kayo Kedataran dan Berikutnya tahta raja Jambi dipegang Orang Kayo Hitam. Dari Orang Kayo Hitamlah keturunan raja-raja Jambi ber asal.
Pada 1616 Jambi merupakan pelabuhan terkaya kedua di Sumatra setelah Aceh. Pada 1670 kerajaan ini sebanding dengan tetangga-tetangganya seperti Johor dan Palembang.[10]
Masa kejayaan
Sejak pertengahan abad ke-16, para penguasa Jambi mengadakan perdagangan lada yang menguntungkan dengan bangsa Portugis, Inggris, dan Belanda. Kegiatan perdagangan itu juga melibatkan bangsa China, Melayu, Makassar, dan Jawa. Kehidupan ekonomi Kesultanan Jambi yang makmur akibat kegiatan perdagangan inilah yang mampu membawa kerajaan menuju masa kejayaan di bawah Sultan Abdul Kahar.
Sultan Jambi yang pertama ini berhasil membawa kerajaannya menjadi makmur berkat monopoli perdagangan lada dan pengenaan bea ekspor. Bahkan, pada 1616, ibu kota Jambi sudah dipandang sebagai pelabuhan terkaya kedua di Sumatera, setelah Aceh. Berdasarkan data VOC, Sultan Jambi meraup keuntungan 30-35 persen dari lada yang terjual. Sultan Abdul Kahar juga dikatakan sebagai penguasa yang kuat, bahkan tidak takut dengan tuntutan Raja Johor dan tidak pernah mau bekerja sama dengan VOC.
Peperangan
- Perang Jambi-Johor
Selama abad ke-16, Jambi menjadi terkenal berkat lada yang ditanam di dataran tinggi. Pada tahun 1615 Kompeni Belanda dan Kompeni Inggris mendirikan pangkalan-pangkalan mereka masing-masing di kawasan tersebut. Pada masa itu, Jambi bersekutu dengan Johor, akan tetapi kemudian timbul sejumlah perselisihan ketika mereka menyatakan berhak mengendalikan Kuala Tungkal, yaitu sebuah kawasan di perbatasan Jambi dengan Indragiri yang merupakan jalan masuk ke kawasan pedalaman tempat lada ditanam.
Sekitar tahun 1671 dan 1674, perselisihan yang berkepanjangan itu memuncak menjadi sebuah konflik terbuka, orang laut yang tunduk pada penguasa Jambi merompak kapal-kapal di perairan Johor, sementara orang laut dari Johor melancarkan aksi serupa di Jambi. Armada Johor bahkan berlayar masuk ke Sungai Batanghari dan mengancam ibukota Jambi. Namun, hubungan mereka kemudian membaik dan di tahun 1681 para penguasa Jambi dan Johor masih bersedia untuk membina suatu persekutuan guna menghadapi saingan bersama mereka yaitu Palembang. Orang Laut dari kedua kerajaan menyerang kapal-kapal dagang di perairan Palembang dan juga menjarah kawasan pesisir.
Kemunduran
Setelah VOC menyodorkan perjanjian dagang kepada Kesultanan Jambi, dengan tujuan melakukan monopoli. Sultan Abdul Kahar menolak perjanjian tersebut, memilih mengundurkan diri dari takhta dan kedudukannya digantikan oleh Pangeran Depati Anom atau Sultan Agung. Perjanjian pertama Kesultanan Jambi dengan VOC pun dilakukan, yang perlahan membawa kemunduran bagi kerajaan.
Kejayaan Jambi tidak berumur panjang, pada tahun 1680-an, Jambi mulai kehilangan kedudukannya sebagai pelabuhan lada utama setelah pertempuran dengan pihak Johor. Selain itu, adanya penyelundupan dan utang, juga menjadi penyebab runtuhnya Kesultanan Jambi, yang diperparah dengan campur tangan Belanda dalam politik kerajaan.
Keruntuhan
Berbeda dari penguasa sebelumnya, Sultan Thaha Syaifuddin menolak keras perjanjian dengan Belanda. Bahkan utusan Belanda yang beberapa kali datang untuk menyodorkan perjanjian kepadanya selalu dihindari. Sultan Thaha selalu berprinsip bahwa bertemu orang Belanda (Najis) akan menghilangkan pahalanya selama 40 hari. Akibatnya Belanda marah dan melayangkan serangan pada 8 September 1858. Belanda mengirim 3 Kapal Uap (kapal induk perang zaman dulu) bersama ribuan prajurit dan kapal-kapal kecil lainnya, menyerang Istana Tanah Pilih (lokasinya saat ini di Rumah Dinas Danrem, Masjid Agung Al-Falah, Sekolah TK & SD Al-Falah). Ke esokan paginya, sekitar Jam 10 pagi, Istana Tanah Pilih berhasil di kuasai Belanda. Sultan Thaha mundur ke arah hulu Sungai Batanghari hanya membawa pusaka Keris Siginjai (Simbol Raja Jambi) sedangkan pusaka-pusaka Kesultanan Jambi lainnya diselamatkan Permaisuri Ratu Khalidjah ke Tanjung Raden (seperti stempel Sultan Thaha, Stempel Pangeran Ratu, dll nya). (Saat ini pusaka Kesultanan Jambi kecuali Keris Siginjei dan Keris Mangunjoyo, berada dikediaman ahli waris beliau keturunan generasi ke-4 yakni Sultan Sayid Fuad ibni Abdurahman Baraqbah)
Dalam serangan itu Sultan Thaha melarikan diri, beliau berjuang melawan Belanda selama 46 Tahun dengan taktik bergerilya sampai akhir hayatnya pada usia 88 tahun, pada tanggal 26 April 1904 M. Sepeninggalan Sultan Thaha yang mundur berperang, Belanda mengangkat saudara Sultan Thaha menjadi penguasa baru (Sultan bayangan / Sultan Boneka Belanda) di Kesultanan Jambi yakni panembahan prabu dengan gelar Sultan Ahmad Nazaruddin. Masa itu kesultanan Jambi masih mengendalikan Ibukota (Kota Jambi), namun Sultan Ahmad Nazaruddin tinggal di Dusun Tengah, tiga atau empat hari perjalanan dari Ibukota, di sebuah rumah sederhana dari kayu. Ketika Sultan Thaha dalam pelarian, Kesultanan Jambi sempat dipimpin oleh beberapa sultan di bawah pengaruh Belanda. Kesempatan datang ketika terjadi kekosongan kekuasaan pada 1899, setelah Sultan Zainuddin dicopot oleh Belanda.
Pada tahun 1903, Pangeran Ratu Martaningrat, keturunan dari Sultan Thaha ditangkap Belanda saat usia 17 tahun. Kemudian Pangeran Ratu dibuang oleh Belanda ke Celebes (Sulawesi). Pangeran Ratu Martaningrat meninggal pada usia 21 tahun ( 1907 M ) beliau tidak memiliki keturunan karena beliau belum menikah.
Kesultanan Jambi benar-benar berakhir, saat Sultan Thaha dibunuh oleh Belanda di Betung Berdarah, Tebo Ulu pada 26 April 1904 M. Sultan Thaha Syaifuddin dimakamkan di Kota Tebo saat ini. Pasca meninggalnya Sultan Thaha, hal ini di rayakan rakyat Belanda mengadakan pesta sukacita selama 3 hari di Belanda.
Kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1907 M, dan semua simbol-simbol Kesultanan seperti Istana Tanah Pilih dihancurkan Belanda, agar melemahkan perjuangan rakyat Jambi. Dengan b
berhasilnya Belanda menguasai wilayah-wilayah Kesultanan Jambi, mambitditetbi etaan b dibawah keresidPaan
pale.mbang
Geografi
Jambi berkembang di wilayah cekungan Batang Hari, sungai terpanjang di Sumatra. Sungai ini, dan anak-anak sungainya, seperti Batang Tembesi, Batang Tabir dan Batang Merangin, merupakan tulang punggung wilayah tersebut. Sungai Tungkal yang berbatasan dengan Indragiri memiliki cekungan tangkapan air sendiri. Sungai-sungai itu merupakan andalan transportasi utama Jambi.
Kependudukan
Penduduk Jambi relatif jarang. Pada 1852 jumlah penduduk diperkirakan hanya sebanyak 60.000 jiwa, dan Jambi Timur nyaris tidak berpenghuni. Etnis Melayu Jambi berdiam dipinggiran sungai Batang Hari dan Batang Tembesi. Orang Kubu menghuni hutan-hutan, sedangkan orang Batin mendiami wilayah Jambi Hulu. Pendatang dari Minangkabau disebut sebagai orang Penghulu, yang menyatakan tunduk pada orang-orang Batin.[butuh rujukan]
Pemerintahan
Kesultanan Jambi dipimpin oleh raja yang bergelar sultan. Raja ini dipilih dari perwakilan empat keluarga bangsawan (suku): suku Kraton, Kedipan, Perban dan Raja Empat Puluh. Selain memilih raja keempat suku tersebut juga memilih pangeran ratu, yang mengendalikan jalan pemerintahan sehari-hari.[butuh rujukan] Dalam menjalankan pemerintahan pangeran ratu dibantu oleh para menteri dan dewan penasihat yang anggotanya berasal dari keluarga bangsawan. Sultan berfungsi sebagai pemersatu dan mewakili negara bagi dunia luar.
Menurut R. Sahabuddin (1954) dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi (1978/1979), pemerintahan di pusat Kesultanan Jambi dipimpin oleh seorang sultan yang dibantu oleh pangeran ratu (putra mahkota) yang memimpin Rapat Dua Belas. Rapat Dua Belas terdiri atas dua bagian:
- Kerapatan Patih Dalam (Dewan Menteri Dalam)
- Kerapatan Patih Luar (Dewan Menteri Luar)
Masing-masing kerapatan terdiri dari 6 orang, 1 orang ketua dan 5 orang anggota.
Kerapatan Patih Dalam diketuai oleh Putra Mahkota yang bergelar Pangeran Ratu dengan para anggota yang diberi gelar :
- Pangeran Adipati
- Pangeran Suryo Notokusumo
- Pangeran Jayadiningrat
- Pangeran Aryo Jayakusumo
- Pangeran Notomenggolo atau Pangeran Werokusumo
Kerapatan Patih Dalam pada hakekatnya merupakan Majelis Kerajaan (Rijksraad) yang berfungsi sebagai lembaga legislatif (DPR) pada masa sekarang.
Daftar penguasa
Nama-nama dibawah menggunakan ejaan modern yang mungkin berbeda dari ejaan dalam dokumen asli. Nama nasab (patronim gaya Arab) juga tidak disertakan dalam daftar berikut.
No | Periode | Nama Penguasa | Nama/Gelar Lain |
---|---|---|---|
1 | 1460 – 1480 | Datuk Paduka Berhala dan Putri Selaras Pinang Masak | Ahmad Salim, Ahmad Barus II |
2 | 1480 – 1490 | Orang Kaya Pingai | Sayyid Ibrahim |
3 | 1490 – 1500 | Orang Kaya Kedataran | Sayyid Abdul Rahman |
4 | 1500 – 1515 | Orang Kaya Hitam[11][12] | Sayyid Ahmad Kamil |
5 | 1515 – 1540 | Panembahan Rantau Kapas | Pangeran Hilang diair |
6 | 1540 – 1565 | Panembahan Rengas Pandak | |
7 | 1565 – 1590 | Panembahan Bawah Sawo | |
8 | 1590 – 1630 | Panembahan Kota Baru | |
9 | 1615 – 1630 | Pangeran Kedah | Sultan Abdul Kahar[a] |
10 | 1630 – 1679 | Sultan Agung[b][13] | Sultan Abdul Jalil, Pangeran Dipati Anom, Pangeran Ratu |
11 | 1679 – 1687 | Sultan Anom Ingalaga[13][14] | Sultan Abdul Muhyi, Sultan Muhammad Syafi'i, Pangeran Anom, Pangeran Ratu, Raden Penulis |
12a | 1687 – 1719 | Sultan Kiai Gede[15] | Raden Cakra Negara, Pangeran Dipati |
12 | 1691 – 1710 | Pangeran Pringgabaya[c][16] | Sri Maharaja Batu Johan Pahlawan Syah, Raden Julat |
13 | 1719 – 1725 | Sultan Astra Ingalaga[d][17][18] | Sultan Surya Ingalaga, Raden Astrawijaya, Panembahan Puspanegara |
14 | 1725 – 1726 | Sultan Muhammad Syah | Pangeran Suryanegara |
(13) | 1727 – 1742 | Sultan Astra Ingalaga | Sultan Surya Ingalaga, Raden Astrawijaya, Panembahan Puspanegara |
15 | 1743 – 1770 | Sultan Ahmad Zainuddin Anom Sri Ingalaga[17] | Pangeran Sutawijaya |
16 | 1777 – 1790 | Sultan Mas’ud Badaruddin Ratu Sri Ingalaga[17] | |
17 | 1805 – 1826 | Sultan Mahmud Muhyiuddin Agung Sri Ingalaga[19] | Pangeran Wangsa, Raden Danting |
18 | 1827 – 1841 | Sultan Muhammad Fakhruddin Anom Sri Ingalaga[20] | Pangeran Ratu Cakra Negara |
19 | 1841 – 1855 | Sultan Abdul Rahman Nasiruddin Ratu Anom Dilaga[20] | Pangeran Ratu Martaningrat |
20 | 1855 – 1858 | Sultan Thaha Saifuddin Agung Sri Ingalaga[e][21] | Pangeran Ratu Jayaningrat |
21 | 1858 – 1881 | Sultan Ahmad Nasiruddin Ratu Inga Dilaga[22] | Panembahan Prabu |
22 | 1881 – 1885 | Sultan Muhammad Muhieddin bin Abdul Rahman | |
23 | 1885 – 1899 | Sultan Ahmad Zainuddin Ratu Sri Ingalaga[23] | |
(20) | 1900 – 1904 | Sultan Thaha Saifuddin Agung Sri Ingalaga[24] | Pangeran Ratu Jayaningrat |
1906 | Dibubarkan Belanda | ||
[25][26] | |||
25 | 2022- Sekarang | Sayyid Fuad ibni abdurahman baraqbah | Sultan Melayu Jambi Daarul Haq ke -22. sultan Jambi hanya sebatas pelestarian Kebudayaan[27][28][29][30] |
Galeri
-
Rekontruksi tampilan Sultan terakhir Kesultanan Jambi, Sultan Thaha Syaifuddin
-
Foto Sultan Ahmad Nasiruddin Ratu Inga Di Laga pada tahun 1877-1879
-
Komplek Makam Raja-raja Jambi
-
Silsilah Raja-raja Jambi (dalam bahasa arab melayu).
-
Silsilah Raja-raja Jambi (dalam bahasa belanda)
-
Silsilah Raja-raja Jambi (Stamboem Van Keraton Jambi bertahun 1900 M).
-
Silsilah Raja-raja Jambi (dalam bahasa arab melayu).
-
Surat dari Sultan Jambi.
-
Hikayat negeri Jambi.
Catatan
- ^ Mukti Zubir (1987:29-30) menyatakan bahwa Sultan Abdul Kahar-lah yang pertama menggunakan gelar Sultan di Jambi dan mengubahnya menjadi kesultanan. Meski kerap dilansir, Arifullah (2015:130) menuturkan bahwa ini adalah pendapat modern yang tidak memiliki bukti sejarah kuat. Andaya (1993:59, 102, 315) mencatat bahwa Panembahan Kota Baru memerintah bersama putra mahkotanya hingga keduanya meninggal pada tahun 1630, namun ia tidak mencatat bahwa sang putra pernah memerintah sendiri atau dinobatkan sebagai Sultan. Menurut Andaya, cucu Panembahan Kota Baru-lah yang pertama kali memakai gelar Sultan pada tahun 1669.
- ^ Menurut Andaya (1993:72, 95), penggunaan gelar Sultan pertama di Jambi bermula dari Sultan Agung pada tahun 1669. Penggunaan gelar ini diprakarsai oleh putra Sultan Agung yang kemudian melanjutkan penggunaan gelar Sultan pada masa pemerintahannya.
- ^ Dicatat Andaya (1993:132-135, 152), Pangeran Pringgabaya adalah adik dari Sultan Kiai Gede yang tidak bersedia mengakui kekuasaannya. Ia mendirikan keraton pecahan yang dimimpin dirinya sendiri di wilayah Muara Tebo, Jambi
- ^ Sultan Astra Ingalaga adalah putra dari Pangeran Pringgabaya. Dicatat Andaya (1993:159), pada Januari 1725 massa yang dipimpin Raden Demang (cucu Kiai Gede) menuntut agar Sultan baru dinobatkan dari garis keturunan Kiai Gede dan menyekap Astra Ingalaga. Astra Ingalaga berhasil melarikan diri, namun kubu Raden Demang mengangkat Pangeran Suryanegara (putra Kiai Gede) sebagai Sultan Muhammad Syah. Posisi Astra Ingalaga baru bisa kembali dikukuhkan setelah Muhammad Syah meninggal akibat cacar pada tahun 1726.
- ^ Nama beliau seringkali ditulis dengan huruf Latin sebagai "Thaha Syaifuddin" dalam media Indonesia kontemporer, namun cap nama yang digunakan Thaha sendiri (lihat Gallop, 2019:242) menggunakan طاه سيفادين, bukan طاه شيفادين
Rujukan
- ^ Sejarah Kerajaan Islam di Sumatera Pada gramedia.com diakses 19 Juni 2021
- ^ Kerajaan Jambi, Kerajaan Islam yang dikhianati VOC Pada merdeka.com 24 Maret 2016
- ^ Kesultanan Jambi: Sejarah, Wilayah, Dan Perkembangan Pada dgraft.com 28 Desember 2020
- ^ Datuk Paduka Berhala Pangeran Turki Yang Mengislamkan Jambi Pada historyofcirebon 16 Oktober 2018
- ^ Datuk Paduka Berhala, Anak Raja Turki yang Persunting Putri Pinang Masak Pada melayupedia.com 30 Desember 2021
- ^ Sejarah Provinsi Jambi Pada Dinas Pendidikan Provinsi Jambi
- ^ Kesultanan Jambi / Prov. Jambi – Sumatera Pada sultanindonesiaeblog
- ^ Sultan Thaha, Pejuang Jambi yang Tak Lelah Melawan Belanda Pada sindonews.com 6 Juli 2015
- ^ Thaha Syaifuddin: Masa Muda, Kepemimpinan, dan Akhir Hidup Pada kompas.com 14 Juni 2021
- ^ Barbara Watson Andaya, "Laporan Tiga Penduduk Jambi tentang Ancaman dari sejumlah Kapal Perang Johor di Sungai Batanghari, 11 September 1714". Dalam: Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari arsip VOC di Jakarta, dokumen 10. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2013.
- ^ Orang Kayo Hitam, Penguasa Jambi yang Tak Bisa Ditaklukkan Raja Jawa Pada sindonews.com 29 Juni 2015.
- ^ Kisah Orang Kayo Hitam dan Keris Siginjai yang Melegenda, Hingga Terbunuhnya Pembuat Keris Sakti Pada tribunnews.com 2 Januari 2019.
- ^ a b Gallop 2019, hlm. 239.
- ^ Andaya 1993, hlm. 318.
- ^ Andaya 1993, hlm. 319.
- ^ Andaya 1993, hlm. 322.
- ^ a b c Gallop 2019, hlm. 240.
- ^ Andaya 1993, hlm. 315.
- ^ Gallop 2019, hlm. 241.
- ^ a b Gallop 2019, hlm. 242.
- ^ Profil Pahlawan Nasional Sultan Thaha Syaifuddin di merdeka.com
- ^ Gallop 2019, hlm. 243.
- ^ Gallop 2019, hlm. 244.
- ^ Sultan Thaha, Melawan Belanda hingga Darah Penghabisan Pada koransulindo.com 21 Juli 2020
- ^ s
- ^ Rujukan kosong (bantuan)
- ^ S
- ^ G
- ^ R
- ^ T
Daftar Pustaka
- Arifullah, Mohd. (2015). "Hegemoni Islam dalam Evolusi Epistemologi Budaya Melayu Jambi" (PDF). Kontekstualita. 30 (1): 124-137.
- Andaya, Barbara Watson (1993). To Live as Brothers: southeast Sumatra in the seventeenth and eighteenth centuries (dalam bahasa Inggris). University of Hawaii Press. ISBN 9780824814892.
- Brown, Iem (2009). The Territories of Indonesia. London: Routledge. hlm. 268. ISBN 9781857432152.
- Gallop, Annabel Teh (2019). Malay Seals from the Islamic World of Southeast Asia: content, form, context, catalogue (dalam bahasa Inggris). Lontar Foundation in association with British Library. ISBN 9789813250864.
- Locher-Scholten, Elsbeth (2004). Sumatran Sultanate and Colonial State: Jambi and the Rise of Dutch Imperialism, 1830–1907 (dalam bahasa Inggris). Cornell University Press. ISBN 9781501719387. Lihat pula edisi Bahasa Indonesia: Locher-Scholten, Elsbeth (2008). Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda. KITLV. ISBN 9789791079150.
- Janowski, Monica; Kerlogue, Fiona (2007). Kinship and Food in South East Asia. Copenhagen: NIAS Press. hlm. 68. ISBN 9788791114939.
- Mukti, Zubir (1987). Sejarah Peranan Hukum Adat dan Adat Istiadat Jambi. Muara Bungo.
Pranala luar
- Akhir Masa Kesultanan Jambi Diarsipkan 2021-06-24 di Wayback Machine. Pada kajanglako.com 21 Februari 2018
- Menelusuri Jejak Islam di Nusantara dan Jambi Pada jamberita.com 21 Agustus 2020
- Para Raja se-Nusantara Diusulkan Sultan Jambi Abdurrahman Thaha Syaifuddin Diberi Gelar Pahlawan Nasional Pada republika 15 November 2015
- Sultan Melayu Jambi Mengadu ke PBB Pada republika 1 Agustus 2012
- https://jambi.tribunnews.com/2021/08/09/raden-abdurrahman-cucu-sultan-thaha-meninggal-dunia-dan-dimakamkan-pada-makam-raja-raja. 1 Februari 2022