Bank Duta adalah bank yang pernah ada di Indonesia hingga 2000. Bank ini dileburkan ke dalam Bank Danamon bersama 7 bank lainnya di bawah pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada tanggal 30 Juni 2000.

PT Bank Duta Ekonomi
Sebelumnya
Bank Dharma Ekonomi (1966-1971)
IndustriPerbankan
NasibDileburkan
PendahuluBank Dwikora
Bank Sarma
PenerusBank Danamon
Didirikan30 Agustus 1966
PendiriSuhardiman
Thomas Suyatno
Njo Han Siang
Ditutup30 Juni 2000
Kantor
pusat
Jakarta, Indonesia
ProdukJasa keuangan

Sejarah

Bank Duta pada awalnya bernama Bank Dharma Ekonomi. Bank ini didirikan pada tahun 1966 oleh Suhardiman, Thomas Suyatno, dan Njoo Han Siang. Pada usianya yang kedua pada tahun 1968, Bank ini mengalami kebangkrutan dan diselamatkan oleh PT PP Berdikari (PT Perusahaan Pilot Project Berdikari) yang kemudian menjadi pemilik tunggal dari bank tersebut. Di tahun 1971, bank ini kembali mengalami krisis. Krisis ini berakibat hilangnya dana Bulog yang disimpan di bank tersebut dan menimbulkan kesulitan bagi Bulog untuk melakukan pengadaan pangan. PT PP Berdikari meminta bantuan Abdulgani untuk melakukan evaluasi berkelanjutan dari bank ini agar tidak terjadi kebangkrutan untuk ketiga kalinya. Abdulgani memulai membangun bank ini dengan empat belas karyawan dan manajemen yang kocar-kacir.

Perubahan nama dan pergantian pemimpin bank merupakan langkah pertama dari perubahan besar yang terjadi pada Bank Duta. Langkah selanjutnya adalah keterlibatan Bustanil Arifin yang ditugaskan untuk memimpin PT PP Berdikari di mana kemudian menjadi komisaris bank pada tahun 1973. Setahun kemudian, Bank Duta memperoleh tambahan modal dari dua yayasan, yaitu Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais) dan Yayasan Supersemar. Tambahan dana ini untuk meningkatkan status bank menjadi bank devisa pada tahun 1978. Setelah itu, perkembangan Bank Duta tidak tertahankan yang pada akhirnya menempatkan menjadi peringkat kedua bank swasta nasional dibawah Bank Central Asia (BCA). Keberhasilan itu ditopang oleh kedekatan bank ini dengan kekuasaan Orde Baru, yaitu pemegang sahamnya yang berupa yayasan Soeharto dan Bustanil, kepala Badan Urusan Logistik yang merupakan orang kepercayaan sang presiden. Kinerja ciamik yang "semu" tersebut dibuktikan misalnya dari laporan sebuah lembaga audit yang mengklaim bank ini tidak memiliki sistem pengawasan yang bagus, ditambah inefisiensi berupa kelebihan karyawan hingga 300 orang.[1]

Bustanil, yang kemudian diberi tanggung jawab mengelola Bank Bukopin pada periode 1980-an kemudian mulai mengalihkan energinya ke bank tersebut, sehingga Bank Duta mulai mengalami penurunan profitabilitas.[1] Tersebutlah nama Dicky Iskandardinata, wakil presiden direktur bank ini yang tertarik bermain valas sejak Agustus 1989. Bukannya untung, justru permainan valas itu berbuah petaka, dengan Dicky terus-menerus mengalami kekalahan sehingga Bank Duta mengalami kerugian besar.[2] Namun, awalnya masalah tersebut seperti berusaha ditutupi, dengan Bank Duta mengklaim masih memperoleh untung Rp 22,6 miliar di tahun 1990. Bahkan pada April 1990 Bank Duta go public di Bursa Efek Jakarta dengan melepas 20% sahamnya (kode emiten BDTA). Masalah itu baru terbongkar ketika Bank Indonesia pada 4 September 1990 menyingkirkan seluruh direksi bank ini (termasuk Dicky) dari kursinya. Sebulan kemudian, Bank Duta mengumumkan bahwa mereka telah merugi hingga US$ 419 juta akibat ulah Dicky tersebut.[3]

Rujukan