Sisingamangaraja XII
Sisingamangaraja XII dengan nama lengkap Patuan Bosar Sinambela ginoar Ompu Pulo Batu (18 Februari 1845 – 17 Juni 1907) adalah seorang raja di Negeri Toba dan pejuang yang berperang melawan Belanda. Ia diangkat oleh pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 9 November 1961 berdasarkan SK Presiden RI No 590/1961.
Sisingamangaraja XII | |||||
---|---|---|---|---|---|
Berkuasa | 1876–1907 M | ||||
Pendahulu | Raja Sohahuaon Sinambela (Sisingamangaraja XI) | ||||
Kelahiran | Patuan Bosar Sinambela 18 Februari 1845 Bangkara, Toba | ||||
Kematian | 17 Juni 1907 Si Onom Hudon, Dairi | (umur 62)||||
Pemakaman | |||||
Pasangan | |||||
Keturunan |
| ||||
| |||||
Wangsa | Singa Mangaraja | ||||
Ayah | Raja Sohahuaon Sinambela (Sisingamangaraja XI) | ||||
Ibu | boru Situmorang |
Semula, ia dimakamkan di Tarutung, Tapanuli Utara, lalu dipindahkan ke Soposurung, Balige, Toba pada tahun 1953.[1]
Nama dan gelar
Sisingamangaraja XII dilahirkan dengan nama Patuan Bosar Sinambela. Ia naik tahta sebagai pada tahun 1876 untuk menggantikan ayahnya, Sisingamangaraja XI yang bernama Raja Sohahuaon Sinambela. Sebagai seorang Singamangaraja, Patuan Bosar Sinambela juga berperan sebagai raja-imam. Dari Patuan Anggi Sinambela, Sisingamangaraja XII mendapatkan pahompu panggoaran bernama Pulo Batu Sinambela sehingga ia digelari sebagai Ompu Pulo Batu Sinambela.[butuh rujukan]
Asal
Dinaati Singamangaraja bermula dari salah satu keturunan Si Raja Oloan. Si Raja Oloan memiliki enam orang putra yakni Naibaho, Sihotang, Bakkara, Sinambela, Sihite, dan Simanullang.
Kemudian, Sinambela memiliki tiga orang putra, salah satunya adalah Raja Bona Ni Onan. Raja Bona Ni Onan menikah dengan seorang boru Pasaribu. Anak dari Raja Bona Ni Onan adalah Raja Manghuntal yang kemudian mengawali dinasti Singamangaraja sebagai Sisingamangaraja I.[2]
Penobatan
Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di Negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu terbuka) Belanda dalam mengamankan modal asing yang beroperasi di Hindia Belanda, dan yang tidak mau menandatangani Korte Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatra, terutama Kesultanan Aceh dan Toba, di mana kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Di sisi lain, Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.[2]
Perang melawan Belanda
Bab atau bagian ini tidak memiliki referensi atau sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa dipastikan. |
Pada tahun 1824, seluruh wilayah koloni Inggris di Sumatra diberikan kepada Belanda melalui Perjanjian Inggris dan Belanda (Anglo-Dutch Treaty of 1824). Hal ini membuka peluang bagi Hindia Belanda untuk menganeksasi seluruh wilayah yang belum dikuasainya di Sumatra.
Pada tahun 1873, Belanda melakukan invasi militer ke Aceh melalui Perang Aceh. Kemudian, Belanda melanjutkan invasi ke Tanah Batak pada 1878. Para raja kampung Batak (huta) yang beragama Kristen menerima masuknya Hindia Belanda ke Tanah Batak, sementara Raja Bangkara, Sisingamangaraja XII, yang memiliki hubungan dekat dengan Kesultanan Aceh, menolak dan menyatakan perang.
Pada tahun 1877, para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada Pemerintah Kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Sisingamangaraja XII. Kemudian, Pemerintah Kolonial Belanda dan para misionaris sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Sisingamangaraja XII di Bangkara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba.
Pada tanggal 6 Februari 1878, pasukan Belanda tiba di Pearaja, tempat kediaman misionaris Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian, beserta misionaris Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah, pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan.
Pada tanggal 14 Maret 1878, datanglah Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga. Pada 1 Mei 1878, Bangkara yang merupakan pusat pemerintahan Sisingamangaraja XII diserang oleh pasukan kolonial. Pada 3 Mei 1878, seluruh Bangkara telah ditaklukkan, namun Sisingamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi. Sementara, para raja yang tertinggal di Bangkara dipaksa Belanda untuk bersumpah setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan Hindia Belanda.
Walaupun Bangkara telah ditaklukkan, Sisingamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara gerilya. Hingga akhir Desember 1878, beberapa kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga telah ditaklukkan oleh pasukan Kolonial Belanda.
Di antara tahun 1883-1884, Sisingamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi pasukannya. Kemudian bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara ofensif menyerang kedudukan Belanda antaranya Uluan dan Balige pada Mei 1883, serta Tangga Batu pada tahun 1884.
Kematian
Sisingamangaraja XII tewas pada 17 Juni 1907 saat disergap oleh sekelompok anggota Korps Marsose, sebuah pasukan khusus Belanda. Penyergapan tersebut dipimpin oleh Hans Christoffel di kawasan Sungai Aek Sibulbulon, di suatu desa bernama Si Onom Hudon, di perbatasan Humbang dengan Dairi.[1] Sisingamangaraja XII menghadapi pasukan Korps Marsose sambil memegang senjata Piso Gaja Dompak. Kopral Souhoka, seorang penembak jitu pasukan Marsose, mendaratkan tembakan ke kepala Sisingamangaraja XII tepat di bawah telinganya.[3] Menjelang nafas terakhir, ia tetap berucap, "Ahu Sisingamangaraja" (bahasa Indonesia: "Aku Sisingamangaraja"). Turut gugur bersamanya adalah kedua putranya, Patuan Nagari Sinambela dan Patuan Anggi Sinambela, serta putrinya, Lopian br. Sinambela. Sementara keluarganya yang tersisa ditawan di Tarutung. Sisingamangaraja XII kemudian dikebumikan oleh Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung, setelah sebelumnya mayatnya diarak dan dipertontonkan kepada masyarakat Dairi.[butuh rujukan] Makamnya kemudian dipindahkan ke Makam Pahlawan Nasional di Soposurung, Balige sejak 14 Juni 1953, yang dibangun oleh pemerintah, msyarakat, dan keluarga.[butuh rujukan]
Dinasti Singa Mangaraja
Patuan Bosar Sinambela adalah Singamangaraja XII sekaligus sebagai Singamangaraja terakhir dari Dinasti Singa Mangaraja. Setelah kematiannya, tidak ada lagi penerus dinasti Singa Mangaraja di Bangkara, sebab seluruh keluarganya telah ditawan oleh Belanda di Siborongborong.
Ada pun nama para Singamangaraja yang pernah bertahta di Bangkara adalah sebagai berikut:
- Sisingamangaraja I, bernama Raja Manghuntal Sinambela
- Sisingamangaraja II, bernama Ompu Raja Tinaruan Sinambela
- Sisingamangaraja III, bernama Raja Itubungna Sinambela
- Sisingamangaraja IV, bernama Sori Mangaraja Sinambela
- Sisingamangaraja V, bernama Pallongos Sinambela
- Sisingamangaraja VI, bernama Pangulbuk Sinambela
- Sisingamangaraja VII, bernama Ompu Tuan Lumbut Sinambela
- Sisingamangaraja VIII, bernama Ompu Sotaronggal Sinambela
- Sisingamangaraja IX, bernama Ompu Sohalompoan Sinambela
- Sisingamangaraja X, bernama Ompu Tuan Nabolon Sinambela
- Sisingamangaraja XI, bernama Raja Ompu Sohahuaon Sinambela
- Sisingamangaraja XII, bernama Patuan Bosar Sinambela
Gelar pahlawan
Sisingamangaraja XII digelari Pahlawan Nasional Indonesia dengan Surat Keputusan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 590 Tahun 1961. Surat ini tertanggal 19 November 1961.[4]
Warisan sejarah
Usai gugurnya Sisingamangaraja XII, Pasukan Kolonial Belanda menemukan sebilah pedang yang diduga digunakan oleh Sisingamangaraja XII. Kini, pedang tersebut disimpan sebagai koleksi milik Nationaal Museum van Wereldculturen, Belanda.
Kegigihan perjuangan Sisingamangaraja XII dalam melawan penjajahan Belanda telah menjadi inspirasi bagi masyarakat Indonesia. Selain menganugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia, Pemerintah Indonesia juga mengabadikan nama Sisingamangaraja XII sebagai nama ruas jalan di banyak kawasan di Republik Indonesia.
Penghargaan
Sebagai penghargaan atas jasa Sisingamangaraja XII, beberapa tugu didirikan untuknya di beberapa daerah di Sumatera Utara, di antaranya Markas Sisingamangaraja di Parlilitan, Humbang Hasundutan dan di Monumen Sisingamangaraja XII di Medan.
Referensi
- ^ a b Sidjabat, Bonar W. Prof. Dr. (2007), Aku Sisingamangaraja, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, ISBN 979-416-896-7.
- ^ a b Sejarah Daerah Sumatera Utara, 1978
- ^ Okezone (2020-06-17). "Saat Peluru Marsose Menembus Sisingamangaraja XII yang Terkenal Kebal Senjata : Okezone Nasional". Okezone. Diakses tanggal 2021-03-19.
- ^ Natalia, S. F., dan Aditya, M. F. (2019). "Dampak Perang Batak pada Tahun 1878 - 1907 Terhadap Penyebaran Agama Kristen di Sumatera Utara". Tsaqofah: Jurnal Agama dan Budaya. 17 (1): 43.