Khilafah

artikel khilafah Islam

Khilafah atau khilāfah (bahasa Arab: خِلَافَة, pelafalan dalam bahasa Arab: [xi'laːfah]) merupakan sebuah bentuk pemerintahan dibawah naungan kekuasaan yang lebih besar bercorak Islam, yakni Khalifah[1][2][3] (/ˈkælɪf, ˈk-/; bahasa Arab: خَلِيفَة pelafalan dalam bahasa Arab: [xæ'liː'fæh], pelafalan). Seseorang dapat dikatakan memiliki gaya politik bercorak Islam apabila merupakan keturunan dari nabi Islam, Muhammad, dan pemimpin dari seluruh Dunia Islam (ummah).[4] Dalam sejarah, contohnya seperti Kekhalifahan Rashidun, menerapkan sistem penunjukan ketimbang garis keturunan (walaupun dengan beberapa pergolakan yang akhirnya melahirkan faham Syiah) dan beberapa kekhalifahan setelahnya yang merupakan sistem monarki namun banyak yang tidak memilki garis keturunan nabi Muhammad. Sehingga, syarat keturunan nabi merupakan sesuatu yang tidak mutlak, karena khilafah lebih ditekankan kepada kepemimpinan yang siap memimpin pemerintahan sesuai dengan syariat Islam. Pada beberapa wilayah Islam, keturunan nabi dianggap sebagai kaum yang lebih mengerti dalam agama dan syariat, sehingga pemilihan keturunan nabi lebih dikarenakan mereka dianggap lebih faham syariat ketimbang mereka hanyalah keturunan nabi. Secara historis, peraturan dan hukum di Khilafah berlandaskan pada syariat Islam yang telah diterapkan kedalam kehidupan masyarakat di daerah tersebut.[5][6] Di abad pertengahan, terdapat tiga Kekhalifahan besar yang menjadi penerus dari Kekhalifahan sebelumnya, yakni: Kekhalifahan Rashidun (632–661 M), Kekhalifahan Umayyah (661–750 M), dan Kekhalifahan Abbasiyah (750–1258 M). Pada Khalifah keempat, Kekhalifahan Ottoman, pemimpin darinya menduduki pemerintahan kekhalifahan.

Etimologi

Sebelum adanya Islam, monarki Arab menggunakan istilah malik yang berarti "Raja" ataupun "pemimpin", ataupun kata-kata lain dalam akar rumpun bahasa Semitik.[4]

Istilah "Khilafah" sendiri, merupakan kata pinjam yang berasal dari bahasa Arab, yakni khalīfah (خَليفة,pelafalan), yang berarti "Penerus" yang seringkali disebut sebagai kependekan dari Khalīfat Rasūl Allāh (Penerus Utusan Tuhan"). Akan tetapi, jika mengacu pada teks-teks yang ditemukan ataupun tertulis pada masa pra-Islam, beberapa ahli berpendapat bahwa kalimat tersebut memiliki arti sebagai "orang [yang ditunjuk] oleh Tuhan".[4]

Secara umum, sebuah sistem pemerintahan bisa disebut sebagai Khilafah apabila menerapkan syariat sebagai dasar negara, serta mengikuti cara kepemimpinan Muhammad dan Khulafaur Rasyidin dalam menjalankan pemerintahan, meskipun dengan penamaan atau struktur yang berbeda.[7][8]

Kekhalifahan non-politik

Beberapa penganut Tarekat Sufi dan Gerakan Ahmadiyah[9] menganggap pihak mereka sebagai kekhalifahan. Pemimpin merekapun juga seringkali dikenal sebagai "Khalifah".

Kekhalifahan Sufi

Dalam Sufisme, Tarekat atau pemerintahan dipegang oleh seorang imam ataupun yang memiliki ilmu lebih dalam agama (khilafah ruhaniyyah). Khalifah utama menunjukkan Khalifah di suatu daerah bawahan untuk memerintah suatu Dayah (bahasa Arab: زاوية, translit. zāwiyah).[10]

Kekhalifahan Sufi hanya bertujuan untuk menjaga silsilah dalam mengajarkan Sufisme dan juga Tarekat.

Khalifatul Masih (1908–sekarang)

 
Berikut merupakan gambar bendera Ahmadiyah yang dirancang pada 1939, yakni dalam masa kepemimpinan Khalifah kedua

Khalifatul Masih atau seringkali disebut sebagai Kekhalifahan Ahmadiyah adalah gerakan kebangkitan Islam yang memproklamirkan diri pada tahun 1889. Gerakan ini didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian, India, yang mengaku sebagai Mesias dan Mahdi yang dijanjikan, yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam. Dia juga mengaku sebagai pengikut nabi Islam, Muhammad. Kelompok ini dikecam oleh kebanyakan Muslim.[11]

Setelah Hakeem Noor-ud-Din, selaku khalifah pertama, gelar khalifah Ahmadiyah berlanjut ke Mirza Mahmud Ahmad, yang memimpin komunitas tersebut selama lebih dari 50 tahun. Kemudian digantikan oleh Mirza Nasir Ahmad, dan selanjutnya Mirza Tahir Ahmad yang masing-masing adalah khalifah ketiga dan keempat. Khalifah saat ini adalah Mirza Masrur Ahmad, yang tinggal di London.[12][13]

Dasar hukum agamawi

Al-Qur'an

Al-Qur'an menggunakan istilah khalifa dua kali. Pertama, di Surah Al-Baqarah ayat 30 yang menyatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia sebagai khalifa-Nya di Bumi. Kedua, Surah Sad ayat 26 yang mengacu pada Daud (tokoh Al-Qur'an) sebagai khalifa Tuhan yang mengingatkannya akan keadilan.[14]


Sebagai tambahan, frasa berikut merupakan sebuah kutipan yang dikenal sebagai 'Kalimat Istikhlaf', yang seringkali digunakan untuk menentukan dasar dari hukum Khalifah:

وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى ٱلْأَرْضِ كَمَا ٱسْتَخْلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ ٱلَّذِى ٱرْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِى لَا يُشْرِكُونَ بِى شَيْـًٔا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ[catatan 1]

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (An-Nur, 55)

Pada frasa diatas, kalimat "Khulifa" (bentuk jamak dari Khalifa) telah diterjemahkan secara beragam.

Beberapa mazhab yurisprudensi dan pemikiran dalam Islam Sunni berpendapat bahwa memerintah negara dengan Syariah menurut definisi adalah memerintah melalui kekhalifahan dan menggunakan ayat-ayat berikut untuk mempertahankan pandangan mereka mereka.

dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan engkau terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.[catatan 2]

Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[catatan 3]

Kritik

Sarjana Mesir Ali Abdur Raziq menerbitkan bukunya 1925 Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan. Argumen buku ini telah diringkas sebagai "Islam tidak menganjurkan bentuk pemerintahan tertentu".[15] Dia memfokuskan kritiknya baik pada mereka yang menggunakan hukum agama sebagai larangan politik kontemporer dan pada sejarah penguasa yang mengklaim legitimasi oleh kekhalifahan.[16] Raziq menulis bahwa penguasa masa lalu menyebarkan gagasan pembenaran agama untuk kekhalifahan "sehingga mereka dapat menggunakan agama sebagai perisai yang melindungi takhta mereka dari serangan pemberontak".[17]

Buku ini sempat menggoncangkan dunia Islam, karena isinya yang kontroversial. Menurut penulisnya, syariat Islam tidak memberi aturan tentang negara. Pandangan ini memang dianggap sangat radikal, sehingga berbagai reaksi terhadap buku tersebut terus menggema sejak dipublikasikannya tahun 1925 sampai sekarang.[18] Tidak sedikit orang yang memuji isinya karena dianggap mengandung pemikiran-pemikiran baru. Namun, banyak juga yang mencelanya karena isinya dianggap hanyalah kumpulan kekeliruan.

Pokok-pokok pikiran Ali Abdul Raziq tentang Khilafah dikritik habis-habisan oleh Dhiyauddin al-Rais. Menurut Dhiyauddin, wajibnya menegakkan Khilafah merupakan ijma’ (konsensus) para sahabat dan kaum muslimin, pengakuan syara’ terhadap prinsip ijma merupakan pengakuan terhadap aspirasi ummat secara menyeluruh, seperti yang dinyatakan oleh para mujtahid, sepanjang Khilafah itu telah ditetapkan dengan prinsip ijma’, maka tidak perlu untuk membicarakannya melalui prinsip lain, sebab prinsip ijma’ itu sendiri sudah tentu berdasarkan Alquran dan hadis serta selamanya berkaitan dengan keduanya. Dengan demikian, menurut Dhiyauddin bahwa Ali Abdul Raziq tidak memahami makna prinsip ijma’ yang telah ditetapkan para ulama Islam.[19]

Perbedaan pendapat antara Ali Abdul Raziq dan Dhiyauddin disebabkan perbedaan pandangan mereka tentang ijma’. Ali Abdul Raziq memahami bahwa umat Islam sama sekali tidak pernah mencapai konsensus dalam memilih khalifah yang mana pun dan juga pada masa kapan pun.[20] Namun Dhiyauddin memandang ijma’ yang dimaksud adalah kesepakatan para sahabat dan kaum muslimin terhadap wajibnya menegakkan kekhilafahan.[21] Dengan demikian, ijma’nya berhubungan dengan kekhilafahan, bukan atas siapa orang yang akan dipilih.

Catatan

  1. ^ Alih aksara: Wa'adallāhullażīna āmanụ minkum wa 'amiluṣ-ṣāliḥāti layastakhlifannahum fil-arḍi kamastakhlafallażīna ming qablihim wa layumakkinanna lahum dīnahumullażirtaḍā lahum wa layubaddilannahum mim ba'di khaufihim amnā, ya'budụnanī lā yusyrikụna bī syai`ā, wa mang kafara ba'da żālika fa ulā`ika humul-fāsiqụn
  2. ^ Diterjemahkan dari kutipan dalam Al-Quran:

    وَاَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ اَنْ يَّفْتِنُوْكَ عَنْۢ بَعْضِ مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ اِلَيْكَۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ اَنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ اَنْ يُّصِيْبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوْبِهِمْ ۗوَاِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ النَّاسِ لَفٰسِقُوْنَ

  3. ^ Diterjemahkan dari kutipan dalam Al-Quran:

    يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا

Referensi

  1. ^ Hassan, Mona. “Conceptualizing the Caliphate, 632–1517 CE.” Longing for the Lost Caliphate: A Transregional History, Princeton University Press, 2016, h. 98–141, http://www.jstor.org/stable/j.ctt1q1xrgm.9 Diarsipkan 17 January 2023 di Wayback Machine.
  2. ^ March, Andrew F. The Caliphate of Man: Popular Sovereignty in Modern Islamic Thought. Harvard University Press, 2019. https://doi.org/10.2307/j.ctvp2n3ms Diarsipkan 17 January 2023 di Wayback Machine..
  3. ^ El-Hibri, Tayeb (2021). The Abbasid Caliphate: A History. Cambridge and New York: Cambridge University Press. hlm. 284–285. ISBN 978-1-107-18324-7. Today the term "caliphate" has come to denote in journalistic use a form of political and religious tyranny, a fanatical version of the application of Islamic law, and a general intolerence toward other faiths - another interpretation, albeit a distorted one, at the beginning of the twenty-first century. It may be useful to recall that such radical perceptions of the term float mostly in the realm of media coverage and are far removed from the actual historical reality of the achievements when a caliphate existed in the medieval period. If we take a longer view of the influence of the office of the caliphate on changes in Islamic society, it may be worth noting that most of the dramatic social and legal reforms instituted by, for instance, the Ottomans in the 19th century were only feasible because of the ability of the sultan to posture as caliph. The Gulhane Reform of 1839 which established the equality of all subjects of the empire before the law, the reforms of 1856 which eliminated social distinctions based on religion, the abolition of slavery in 1857, and the suspension of the traditional penalties of Islamic law in 1858 would all have been inconceivable without the clout that the umbrella of the caliphate afforded to the office of the reforming monarch. (Terjemahan: Saat ini istilah "kekhalifahan" telah menunjukkan dalam penggunaan jurnalistik suatu bentuk tirani politik dan agama, versi fanatik dari penerapan hukum Islam, dan intoleransi umum terhadap agama lain - interpretasi lain, meskipun terdistorsi, pada awalnya. dari abad kedua puluh satu. Mungkin berguna untuk mengingat bahwa persepsi radikal tentang istilah tersebut melayang sebagian besar di ranah liputan media dan jauh dari realitas historis sebenarnya dari pencapaian ketika kekhalifahan ada pada periode abad pertengahan. Jika kita melihat lebih jauh pengaruh kantor kekhalifahan terhadap perubahan dalam masyarakat Islam, mungkin perlu dicatat bahwa sebagian besar reformasi sosial dan hukum dramatis yang dilembagakan oleh, misalnya, Ottoman pada abad ke-19 hanya dapat dilakukan. karena kemampuan sultan untuk memposisikan diri sebagai khalifah. Reformasi Gulhane tahun 1839 yang menetapkan persamaan semua subjek kekaisaran di depan hukum, reformasi tahun 1856 yang menghilangkan perbedaan sosial berdasarkan agama, penghapusan perbudakan pada tahun 1857, dan penangguhan hukuman tradisional hukum Islam pada tahun 1858 semua tidak akan terbayangkan tanpa pengaruh yang diberikan oleh payung kekhalifahan pada jabatan monarki reformasi.) 
  4. ^ a b c Kadi, Wadad; Shahin, Aram A. (2013). "Caliph, caliphate". The Princeton Encyclopedia of Islamic Political Thought: 81–86. 
  5. ^ Al-Rasheed, Madawi; Kersten, Carool; Shterin, Marat (2012). Demystifying the Caliphate: Historical Memory and Contemporary Contexts. Oxford University Press. hlm. 3. ISBN 978-0-19-932795-9. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 Januari 2023. Diakses tanggal 30 Agustus 2017. 
  6. ^ Ringmar, Erik (2020). 4. The Muslim Caliphates. OBP collection (dalam bahasa Inggris). Open Book Publishers. hlm. 73–100. ISBN 978-1-78374-024-6. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 April 2022. Diakses tanggal 7 April 2022. 
  7. ^ "Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku dan akan ada para khalifah dan mereka banyak." Para Shahabat bertanya, "Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?" Muhammad bersabda: Penuhilah bai'at yang pertama, yang pertama saja. Berikanlah kepada mereka hak mereka karena sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang mereka urus." (HR Muslim)
  8. ^ Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 60
  9. ^ Taggart, Steve (10 Juli 2014). "Islamic Caliph condemns ISIS' act of 'Un-Islamic terror'". The London Economic. 
  10. ^ Desplat, Patrick A.; Schulz, Dorothea E. (2014). Prayer in the City: The Making of Muslim Sacred Places and Urban Life. Verlag. hlm. 82. ISBN 978-3-8394-1945-8. 
  11. ^ Esposito, John L. (2004). The Oxford Dictionary of Islam. Oxford University Press. hlm. 11. ISBN 978-0-19-975726-8. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 Januari 2023. Diakses tanggal 20 November 2019. Rejected by the majority of Muslims as heretical since it believes in ongoing prophethood after the death of Muhammad. Currently based in Pakistan, but forbidden to practice, preach, or propagate their faith as Islam or their places of worship as mosques. 
  12. ^ "Hadhrat Mirza Masroor Ahmad, Khalifatul Masih V". The Review of Religions. Islamic Publications. Mei 2008. ISSN 0034-6721. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 Juli 2011. Diakses tanggal 9 March 2011. 
  13. ^ Linderman, Juliet (14 Juni 2017). "The Ahmadiyya Muslim Community celebrates its new cultural outpost in Kenner". NOLA.com. Advance Local Media LLC. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 June 2018. Diakses tanggal 12 Maret 2019. 
  14. ^ Sonn, Tamara (2010). Islam: A Brief History (edisi ke-2nd). Wiley-Blackwell. hlm. 38. ISBN 978-1-4051-8094-8. 
  15. ^ Elizabeth Suzanne Kassab. Contemporary Arab Thought: Cultural Critique in Comparative Perspective. Columbia University Press, 2010. ISBN 9780231144896 p.40
  16. ^ Bertrand Badie, Dirk Berg-Schlosser, Leonardo Morlino (eds). International Encyclopedia of Political Science, Volume 1. SAGE, 2011. ISBN 9781412959636 p.1350.
  17. ^ Kemal H. Karpat. The Politicization of Islam: Reconstructing Identity, State, Faith, and Community in the Late Ottoman State. Studies in Middle Eastern History. Oxford University Press, 2001 ISBN 9780195136180 pp.242-243.
  18. ^ Dhiyauddin al-Rais, al-Islam wa al-Khilafah fi al-‘Ashr al-Hadits, diterjemahkan oleh Afif Muhammad dengan judul, Islam dan Khilafah, Kritik Terhadap Buku Khilafah dan Pemerintahan Dalam Islam, Ali Abdul Raziq, (Bandung: Pustaka, 1985), h. vii.
  19. ^ ibid, h. 172-173.
  20. ^ Ali Abdul Raziq, al-Islam wa Ushul al-Hukm, (Cet. III; Kairo: Syirkah Mahammiyah Mishriyah, 1344 H./1925 M), h. 35
  21. ^ Dhiyauddin al-Rais, op. cit., h. 174.

Pranala luar