Kejaksaan Agung Republik Indonesia
Kejaksaan Agung Republik Indonesia atau Kejaksaan Republik Indonesia adalah sebuah Lembaga Negara yang melaksanakan Kekuasaan Negara di bidang Penuntutan dan Kejaksaan Republik Indonesia dipimpin oleh Jaksa Agung yang bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden. Kejaksaan Agung berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia, sesuai peraturan Perundang-undangan daerah yurisdiksinya meliputi wilayah kekuasaan negara Indonesia[1].
Kejaksaan Republik Indonesia | |
---|---|
Gambaran umum | |
Didirikan | 22 Juli 1960 |
Dasar hukum | Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 |
Yurisdiksi | Republik Indonesia |
Slogan | Satya Adhi Wicaksana |
Lokasi | Jakarta |
Pimpinan | |
Jaksa Agung | Sanitiar Burhanuddin |
Wakil Jaksa Agung | Sunarta |
Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan | Bambang Sugeng Rukmono |
Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen | Amir Yanto |
Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum | Fadil Zumhana |
Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus | Febrie Adriansyah |
Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer | Mayjen, TNI. Dr. Wahyoedho Indrajit |
Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara | Feri Wibisono |
Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan | Ali Mukartono |
Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan | Tony Tribagus Spontana |
Kantor pusat | |
Jl. Sultan Hasanuddin No.1 Kebayoran Baru Jakarta Selatan - Indonesia | |
Situs Web | |
www |
Kejaksaan tinggi (berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi) dan kejaksaan negeri (berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota) merupakan kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan, di mana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan.
Sejarah
Sebelum reformasi
Istilah Kejaksaan sebenarnya sudah ada sejak lama di Indonesia. Pada zaman kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu pada masa Kerajaan Majapahit, istilah dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa sudah mengacu pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan. Istilah-istilah ini berasal dari bahasa kuno, yakni dari kata-kata yang sama dalam bahasa Sanskerta.
Seorang peneliti Belanda, W.F. Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa adalah pejabat negara pada zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-1389 M). Dhyaksa adalah hakim yang diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Para dhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi para dhyaksa tadi.
Kesimpulan ini didukung peneliti lainnya yakni H.H. Juynboll, yang mengatakan bahwa adhyaksa adalah pengawas (opzichter) atau hakim tertinggi (oppenrrechter). Krom dan Van Vollenhoven, juga seorang peneliti Belanda, bahkan menyebut bahwa patih terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada, juga adalah seorang adhyaksa.
Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar Ministerie. Lembaga ini yang menitahkan pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dan Officier van Justitie di dalam sidang Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi ) dan Hooggerechtshof (Mahkamah Agung ) dibawah perintah langsung dari Residen / Asisten Residen.
Hanya saja, pada praktiknya, fungsi tersebut lebih cenderung sebagai perpanjangan tangan Belanda belaka. Dengan kata lain, jaksa dan Kejaksaan pada masa penjajahan belanda mengemban misi terselubung yakni antara lain:
- Mempertahankan segala peraturan Negara
- Melakukan penuntutan segala tindak pidana
- Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang
Fungsi sebagai alat penguasa itu akan sangat kentara, khususnya dalam menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS).
Peranan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang No. 1/1942, yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei No.3/1942, No.2/1944 dan No.49/1944. Eksistensi kejaksaan itu berada pada semua jenjang pengadilan, yakni sejak Saikoo Hoooin (pengadilan agung), Koootooo Hooin (pengadilan tinggi) dan Tihooo Hooin (pengadilan negeri). Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk:
- Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran
- Menuntut Perkara Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal.
- Mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum.
Begitu Indonesia merdeka, fungsi seperti itu tetap dipertahankan dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang diperjelas oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 1945. Isinya mengamanatkan bahwa sebelum Negara R.I. membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar, maka segala badan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku.
Karena itulah, secara yuridis formal, Kejaksaan R.I. telah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni tanggal 17 Agustus 1945. Dua hari setelahnya, yakni tanggal 19 Agustus 1945, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) diputuskan kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara Republik Indonesia, yakni dalam lingkungan Departemen Kehakiman.
Kejaksaan RI terus mengalami berbagai perkembangan dan dinamika secara terus menerus sesuai dengan kurun waktu dan perubahan sistem pemerintahan. Sejak awal eksistensinya, hingga kini Kejaksaan Republik Indonesia telah mengalami 22 periode kepemimpinan Jaksa Agung. Seiring dengan perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, kedudukan pimpinan, organisasi, serta tata cara kerja Kejaksaan RI, juga juga mengalami berbagai perubahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat, serta bentuk negara dan sistem pemerintahan.
Menyangkut Undang-Undang tentang Kejaksaan, perubahan mendasar pertama berawal tanggal 30 Juni 1961, saat pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan RI. Undang-Undang ini menegaskan Kejaksaan sebagai alat negara penegak hukum yang bertugas sebagai penuntut umum (pasal 1), penyelenggaraan tugas departemen Kejaksaan dilakukan Menteri / Jaksa Agung (Pasal 5) dan susunan organisasi yang diatur oleh Keputusan Presiden. Terkait kedudukan, tugas dan wewenang Kejaksaan dalam rangka sebagai alat revolusi dan penempatan kejaksaan dalam struktur organisasi departemen, disahkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 1961 tentang Pembentukan Kejaksaan Tinggi.
Pada masa Orde Baru ada perkembangan baru yang menyangkut Kejaksaan RI sesuai dengan perubahan dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Perkembangan itu juga mencakup perubahan mendasar pada susunan organisasi serta tata cara institusi Kejaksaan yang didasarkan pada adanya Keputusan Presiden No. 55 tahun 1991 tertanggal 20 November 1991.
Masa reformasi
Masa Reformasi hadir ditengah gencarnya berbagai sorotan terhadap pemerintah Indonesia serta lembaga penegak hukum yang ada, khususnya dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi. Karena itulah, memasuki masa reformasi Undang-undang tentang Kejaksaan juga mengalami perubahan, yakni dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991. Kehadiran undang-undang ini disambut gembira banyak pihak lantaran dianggap sebagai peneguhan eksistensi Kejaksaan yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, maupun pihak lainnya.
Dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa “Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Karena itulah, Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.
Mengacu pada UU tersebut, maka pelaksanaan kekuasaan negara yang diemban oleh Kejaksaan, harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004, bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka. Artinya, bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya.
Pelaksanaan kekuasaan
Pelaksanaan kekuasaan Kejaksaan Republik Indonesia diselenggarakan oleh:
- Kejaksaan Agung, berkedudukan di ibu kota negara Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Indonesia. Kejaksaan Agung dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang merupakan pejabat negara, pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
- Kejaksaan tinggi, berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. Kejaksaan Tinggi dipimpin oleh seorang kepala kejaksaan tinggi yang merupakan pimpinan dan penanggung jawab kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan di daerah hukumnya.
- Kejaksaan negeri, berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Kejaksaan Negeri dipimpin oleh seorang kepala kejaksaan negeri yang merupakan pimpinan dan penanggung jawab kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan di daerah hukumnya. Pada Kejaksaan Negeri tertentu terdapat juga Cabang Kejaksaan Negeri yang dipimpin oleh Kepala Cabang Kejaksaan Negeri.
Unsur pimpinan dan unsur pembantu pimpinan
Pimpinan
- Jaksa Agung
- Wakil Jaksa Agung
Elemen Pendukung Pimpinan
- Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan
- Sekretariat Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan
- Biro Perencanaan
- Biro Umum
- Biro Kepegawaian
- Biro Keuangan
- Biro Perlengkapan
- Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri
- Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen
- Sekretariat Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen
- Direktorat Ideologi, Politik, Pertahanan, dan Keamanan
- Direktorat Sosial, Kebudayaan, dan Kemasyarakatan
- Direktorat Ekonomi dan Keuangan
- Direktorat Pengamanan Pembangunan Strategis
- Direktorat Teknologi Informasi dan Produksi Intelijen
- Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum
- Sekretariat Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum
- Direktorat Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda
- Direktorat Tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara, Ketertiban Umum, dan Tindak Pidana Umum Lainnya
- Direktorat Tindak Pidana Narkotika dan Zat Adiktif Lainnya
- Direktorat Tindak Pidana Terorisme dan Lintas Negara
- Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus
- Sekretariat Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus
- Direktorat Penyidikan
- Direktorat Penuntutan
- Direktorat Upaya Hukum Luar Biasa, Eksekusi, dan Eksaminasi
- Direktorat Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat
- Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara
- Sekretariat Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara
- Direktorat Perdata
- Direktorat Tata Usaha Negara
- Direktorat Pertimbangan Hukum
- Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer
- Sekretariat Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer
- Direktorat Penindakan
- Direktorat Penuntutan
- Direktorat Eksekusi, Upaya Hukum Luar Biasa, dan Eksaminasi
- Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan
- Sekretariat Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan
- Inspektorat I
- Inspektorat II
- Inspektorat III
- Inspektorat IV
- Inspektorat V
- Inspektorat Keuangan
- Badan Pendidikan dan Pelatihan
- Staf Ahli Bidang Akuntabilitas dan Informasi Publik Kejaksaan Agung
- Staf Ahli Bidang Politik, Keamanan, dan Penegakan Hukum Kejaksaan Agung
- Staf Ahli Bidang Organisasi, Birokrasi, dan Teknologi Informasi Kejaksaan Agung
- Staf Ahli Bidang Pertimbangan dan Pengembangan Hukum Kejaksaan Agung
- Staf Ahli Bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya Kejaksaan Agung
Pusat
- Pusat Penelitian dan Pengembangan
- Pusat Penerangan Hukum
- Pusat Data, Statistik Kriminal, dan Teknologi Informasi
- Pusat Pemulihan Aset
Tugas dan wewenang Jaksa Agung
UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. juga telah mengatur tugas dan wewenang Kejaksaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30, yaitu:
(1) Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
- Melakukan penuntutan;
- Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
- Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan bersyarat;
- Melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
- Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam *pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah
(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:
- Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
- Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
- Pengamanan peredaran barang cetakan;
- Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
- Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
- Penelitian dan pengembangan hukum statistik kriminal.
Selain itu, Pasal 31 UU No. 16 Tahun 2004 menegaskan bahwa Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menetapkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahyakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri. Pasal 32 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tersebut menetapkan bahwa di samping tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya Pasal 33 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instalasi pemerintah lainnya.
Tugas dan wewenang Jaksa Agung adalah:
- menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan
- mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang
- mengesampingkan perkara demi kepentingan umum
- mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara
- dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;
- mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan
Jaksa Agung memberikan izin kepada tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit dalam negeri, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri, atas rekomendasi dokter.
Motto
Tri Krama Adhyaksa, adalah doktrin Kejaksaan Indonesia:
- Satya, yang artinya kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga, maupun kepada sesama manusia.
- Adhi, yang artinya kesempurnaan dalam bertugas dan berunsur utama pemilikan rasa tanggung jawab, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap keluarga, dan terhadap sesama manusia.
- Wicaksana, yang artinya bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku, khususnya dalam pengetrapan tugas dan kewenangannya.
Lihat pula
Pranala luar