Perang Tondano

artikel daftar Wikimedia

Perang Tondano adalah perang yang berlangsung antara suku Minahasa dengan Pemerintah Kolonial Belanda yang berlangsung pada tahun 1661–1664 dan 1808–1809 di Tondano.[1]

Perang Tondano
Tanggal1661-1664 dan 1808-1809
LokasiTondano
Pihak terlibat
Suku Minahasa  Hindia Belanda

Perang Tondano I

Perang ini terjadi pada periode tahun 1661 sampai 1664. Perang ini terjadi karena ambisi Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) untuk memonopoli beras di semua kawasan Walak Minahasa yang akhirnya ditandai dengan pembangunan pusat pemukiman yang bernama Minawanua pada tahun 1644.[1] Minawanua memiliki makna "bekas wanua" yakni kata mina bermakna 'sudah tiada' sebagai penggambaran bahwa wilayah ini telah tiada akibat keganasan perang yang terjadi kala itu. [2] Peperangan ini dimulai pada tanggal 1 Juni 1661 dengan beranggotakan 1400 pasukan yang juga diikuti para perempuan Minahasa yang berlangsung di atas perairan dan rawa.[3] Para pasukan ini menaiki ratusan perahu yang mampu ditumpangi empat sampai lima orang beserta peralatan perang, tapi tetap mampu bergerak di atas air serta rumput-rumput rawa dengan kencang dan sigap.[4] Selain perahu-perahu yang juga dilengkapi meriam-meriam di atasnya, pasukan Tondano ini juga memiliki rakit-rakit yang berukuran besar sebagai transportasi dalam peperangan yang berlangsung selama berbulan-bulan dan mengorbankan banyak korban jiwa dari kedua pihak. Ada beberapa tokoh Tondano yang menjadi terkenal dalam peperangan ini yaitu, Kawengian, Wengkang, Gerungan, Nelwan, Tawaluyan, dan Rumambi. Namun, tak hanya Tondano, tokoh wilayah Remboken seperti Kentei, Tellew, Tarumetor, serta Wangko dari kakas juga merupakan tokoh dalam peperangan ini.[5] Selain diperangi dengan beberapa pasukan, VOC juga melakukan pembendungan Sungai Temberan sehingga membanjiri tempat tinggal masyarakat. Masyakarat Minahasa pun melawan usaha ini dengan membangun tempat tinggal mereka menjadi rumah apung di sekitar Danau Tondano.[6]

Suatu hari, sebagai upaya untuk menekan Tondano agar menghentikan perang dan menjadikan mereka sebagai pihak yang kalah, pihak VOC mengirimkan sebuah ekspedisi yang dipimpin oleh Simon Cos. Dia yang ditemani beberapa pemimpin wilayah Minahasa yang ikut membelot mengunjungi beberapa walak untuk mencari bantuan sekaligus membawa kora-kora hingga ke wilayah perbentengan Tondano. Sesudah sampai di Tondano, pihak VOC pun menyampaikan tiga ultimatum yang berisi:[7]

  1. Memerintahkan masyarakat Tondano untuk memindahkan tempat tinggal mereka dari wilayah rawa ke daratan.
  2. Menyerahkan para pemimpin-pemimpin pemberontakan rakyat kepada pihak VOC.
  3. Mengganti rugi semua kerugian yang terjadi selama perang sekaligus pasokan beras yang berkurang akibat perang yang terjadi.

Pihak Tondano tidak menerima ultimatum ini dan kembali mengobarkan perang yang sempat berhenti dan berakhir dengan kekalahan Cos yang mundur kembali ke Manado.[6]

Pada tahun 1663, masyarakat Tondano melakukan serangan balasan yang dibantu oleh Pendeta Yesuit dari Spanyol, Pater de Miedes yang memasok bubuk mesiu serta keperluan lain untuk melakukan penyerangan ini. Tondano menyerang VOC dengan membawa 5 kapal penyerang menuju Manado. Akan tetapi, pihak Spanyol harus kembali ke Filipina karena harus menghadapi ancaman bajak laut Tionghoa, sehingga pada tanggal 2 Juni 1663, pihak Spanyol kembali ke Manila. Mundurnya Spanyol serta pasokan beras yang menumpuk membuat pihak Tondano akhirnya menuruti ultimatum poin pertama dengan memindahkan kampung mereka yang berada di atas air setelah membakarnya ke tempat yang telah ditentukan Belanda.[8]

Perang Tondano II

Penyebab perang

Perang Tondano II (1808-1809)

Perang Tondano yang terjadi pada tahun 1808-1809 adalah perang yang melibatkan orang Minahasa di Sulawesi Utara dan pemerintah kolonial Belanda pada permulaan abad XIX. Perang pada permulaan abad XIX ini terjadi akibat dari implementasi politik pemerintah kolonial Hindia Belanda oleh para pejabatnya di Minahasa, terutama upaya mobilisasi pemuda untuk dilatih menjadi tentara.[9]

Perang Tondano II sudah terjadi ketika memasuki abad ke-19, yakni pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Perang ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels. Daendels yang mendapat mandat untuk memerangi Inggris, memerlukan pasukan dalam jumlah besar. Untuk menambah jumlah pasukan maka direkrut pasukan dari kalangan pribumi. Mereka yang dipilih adalah dari suku-suku yang memiliki keberanian berperang. Beberapa suku yang dianggap memiliki keberanian adalah orang-orang Madura, Dayak, dan Minahasa. Atas perintah Daendels melalui Kapten Hartingh, Residen Manado Prediger segera mengumpulkan para ukung. Dari Minahasa ditarget untuk mengumpulkan calon pasukan sejumlah 2.000 orang yang akan dikirim ke Jawa. Ternyata orang-orang Minahasa umumnya tidak setuju dengan program Daendels untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonial. Banyak di antara para ukung mulai meninggalkan rumah. Mereka justru ingin mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Mereka memusatkan aktivitas perjuangannya di Tondano, Minawanua. Salah seorang pemimpin perlawanan itu adalah Ukung Lonto. Ia menegaskan rakyat Minahasa harus melawan kolonial Belanda sebagai bentuk penolakan terhadap program pengiriman 2.000 pemuda Minahasa ke Jawa serta menolak kebijakan kolonial yang memaksa agar rakyat menyerahkan beras secara cuma-cuma kepada Belanda.

Dalam suasana yang semakin kritis itu tidak ada pilihan lain bagi Gubernur Prediger kecuali mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orang-orang Minahasa di Tondano, Minawanua. Belanda kembali menerapkan strategi dengan membendung Sungai Temberan. Prediger juga membentuk dua pasukan tangguh. Pasukan yang satu dipersiapkan menyerang dari Danau Tondano dan pasukan yang lain menyerang Minawanua dari darat. Pada tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran mulai berkobar, pasukan Belanda yang berpusat di Danau Tondano berhasil melakukan serangan dan merusak pagar bambu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan Minawanua, sehingga menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di Minawanua. Walaupun sudah malam, para pejuang tetap dengan semangat yang tinggi terus bertahan dan melakukan perlawanan dari rumah ke rumah. Pasukan Belanda merasa kewalahan. Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober 1808 pasukan Belanda dari darat membombardir kampung pertahanan Minawanua. Serangan terus dilakukan Belanda sehingga kampung itu seperti tidak ada lagi kehidupan. Pasukan Prediger mulai mengendorkan serangannya. Tiba-tiba dari perkampungan itu orang-orang Tondano muncul dan menyerang dengan hebatnya sehingga beberapa korban berjatuhan dari pihak Belanda. Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur. Seiring dengan itu Sungai Temberan yang dibendung mulai meluap sehingga mempersulit pasukan Belanda sendiri. Dari jarak jauh Belanda terus menghujani meriam ke Kampung Minawanua, tetapi tentu tidak efektif. Begitu juga serangan yang dari danau tidak mampu mematahkan semangat juang orang-orang Tondano, Minawanua. Bahkan terpetik berita kapal Belanda yang paling besar tenggelam di danau Perang Tondano II berlangsung cukup lama, bahkan sampai agustus 1809. Dalam suasana kepenatan dan kekurangan makanan mulai ada kelompok pejuang yang memihak kepada Belanda. Namun dengan kekuatan yang ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan. Akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809, benteng pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha mempertahankan. Para pejuang itu memilih mati daripada menyerah.

Akhir perang

Kekalahan rakyat Minahasa dan Tanah Minahasa kehilangan kemerdekaannya dan jatuh ke tangan Hindia Belanda.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b Supit 1991, hlm. 1.
  2. ^ Supit 1991, hlm. iv-v.
  3. ^ Igir, Biondy (4 Mei 2018). "Sejenak di Benteng "Genangan Darah" Moraya". pauddikmassulut.kemdikbud.go.id (dalam bahasa Indonesia). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-01-23. Diakses tanggal 23 Januari 2022. 
  4. ^ Lasut, Tommy A (10 Agustus 2016). Pratomo, Yulistyo, ed. "Sejarah Perang Tondano, kisah heroik warga Minahasa melawan Belanda". Merdeka.com. Diakses tanggal 23 Januari 2022. 
  5. ^ Wuntu 2002, hlm. 24-25.
  6. ^ a b Ningsih, Widya Lestari (10 Januari 2021). Nailufar, Nibras Nada, ed. "Perang Tondano I: Latar Belakang, Jalannya Perang, dan Akhir". Kompas.com. Diakses tanggal 22 Januari 2002. 
  7. ^ Wuntu 2002, hlm. 25-26.
  8. ^ Mukthi, M.F (9 September 2015). "Orang Tondano Melawan Kompeni". Historia. Diakses tanggal 23 Januari 2022. 
  9. ^ Taufik Abdullah & A.B. Lapian (2012), hlm. 375.

Sumber

Bacaan lanjutan

  • Kusen, Albert W.S. 2007. Makna Minawanua: Refleksi Atas Perjuangan Orang Minahasa-Tondano.
  • Mambu, Edy, 1986. Jalannya Perang Tondano. Jakarta: Yayasan Kebudayaan Minahasa.
  • Sendoh, Joutje, 1985. Perang Minahasa di Tondano.
  • Taulu, H.M.1961. Perang Tondano. Minahasa.
  • Umboh, Sam A.H.1985. Perang Tondano. Skripsi Jur. Sejarah Fakultas Sastra Unsrat.
  • Watuseke, Frans.S. 1968. Sedjarah Minahasa. Manado: Yayasan Minahasa Watuseke-Politon.
  • Weichhart, Gabriele, 2004. Identitas Minahasa: Sebuah Praktek Kuliner. Dalam Jurnal Antropologi Indonesia.

Pranala luar