Analisis wacana

Revisi sejak 3 Februari 2024 16.09 oleh 2001:d08:df:9211:c878:c750:99c2:1244 (bicara) (Penambahan kepada tajuk keutuhan wacana)

Analisis wacana (bahasa Inggris: discourse analysis) merupakan salah satu disiplin ilmiah dalam linguistik yang secara khusus mengkaji tentang wacana.[1] Kajiannya dapat dilakukan secara internal maupun secara eksternal.[2] Wacana memiliki arti yaitu kesatuan makna (semantis) antarbagian di dalam suatu bangun bahasa. Dengan hal tersebut, wacana dipandang sebagai wujud bahasa yang utuh karena setiap bagian dalam wacana memiliki hubungan padu. Di samping demikian, wacana juga bertalian erat dengan konteks. Sebagai kesatuan yang abstrak, wacana dapat dibedakan dari teks, tulisan, bacaan, tuturan atau inskripsi, yang berpijak pada makna yang sama, yaitu bentuk nyata yang terlihat, terbaca, atau terdengar.[3]

Level utama struktur bahasa (dalam bahasa Prancis)

Bahan analisis wacana meliputi satuan bahasa yang melibatkan komunikasi antara pengirim pesan dan penerima pesan. Bahasa yang digunakan dapat berupa bahasa lisan maupun tulisan.[4] Prinsip analisis wacana terbagi menjadi dua yaitu prinsip lokalitas dan prinsip analogi.[5] Analisis wacana pada awalnya bersifat konvensional dengan menggunakan pendekatan kohesi dan koherensi. Pada perkembangannya, teori modern yang bersifat kritis, sosiologis dan psikologis telah digunakan untuk analisis wacana.[6]

Pendapat Para Ahli

Wacana menjadi salah satu pokok bahasan dalam studi linguistik. Ada banyak pendapat atau konsep mengenai wacana yang dikemukakan oleh para ahli. Berikut ini merupakan pendapat-pendapat para ahli tentang konsep wacana.

1. Stubbs (1983) mengungkapkan wacana sebagai organisasi bahasa di atas klausa dan kalimat atau pokok bahasan linguistik yang lebih besar daripada kalimat atau klausa. Misalnya, obrolan atau teks tertulis.

2. Landsteen (1976) menjelaskan bahwa istilah wacana digunakan untuk mencakup bukan sekadar percakapan atau obrolan, namun juga pembicaraan di muka umum, tulisan, serta upaya-upaya formal seperti laporan ilmiah dan sandiwara atau drama. Wacana memiliki empat tujuan penggunaan bahasa yaitu ekspresi diri, eksposisi, sastra, dan persuasi.

3. Harimurti Kridalaksana (1984) memberikan pengertian bahwa wacana atau discourse adalah satuan bahasa terlengkap dan dalam tataran gramatikal menduduki tingkat tertinggi atau terbesar. Wacana diwujudkan dalam bentuk karangan utuh. Misalnya novel, cerpen, buku, drama, atau puisi.

[7]

Penggunaan istilah

Istilah "analisis wacana" pertama kali diperkenalkan pada tahun 1951 oleh Zellig Harris.[8] Perkenalan terhadap istilah ini turut memulai penelaahan secara luas atas wacana sebagai salah satu objek linguistik. Analisis wacana telah mengembangkan wacana sebagai salah satu bidang telaah dengan tingkat perkembangan yang pesat.[9] Perkembangan ini ditandai dengan beragamnya definisi yang diberikan oleh pakar mengenai wacana. Beragamnya definisi ini dipengaruhi oleh perbedaan mazhab linguistik antara lain strukturalisme dan fungsionalisme. Keduanya mengadakan penelaahan terhadap aspek-aspek yang ada pada wacana di luar unsur bahasa.[10]

Alat bantu

Analisis wacana beserta pemahamannya memerlukan koteks sebagai alat bantu analisisnya. Wacana memiliki struktur teks yang saling berkaitan dan ditandai dengan keberadaan koteks. Keberadaan koteks menandakan bahwa suatu wacana memiliki unsur bahasa yang lengkap dan utuh.[11] Analisis wacana juga memerlukan makna metafungsional karena pemaknaannya bersumber dari sistem semantik. Makna metafungsional ini meliputi makna ideasional, makna interpersonal dan makna tekstual. Munculnya ketiga jenis makna ini merupakan akibat dari diversifikasi fungsi pada teks dengan pengendalian oleh sistem semantik.[12]

Jenis

Analisis wacana kritis

Analisis wacana kritis merupakan proses menjelaskan realitas sosial yang dikaji di dalam teks oleh individu atau kelompok dengan maksud yang sesuai dengan keinginannya. Kegiatan analisis wacana kritis memiliki suatu kepentingan tertentu.[13] Analisis wacana kritis merupakan salah satu jenis analisis wacana yang sering dikaitkan dengan kajian budaya kritis. Pandangan ini muncul karena artefak budaya sebagai bagian dari produksi dan distribusi budaya dianggap sebagai wacana. Anggapan ini terkait dengan hubungan dominasi dan subordinasi dari artefak budaya.[14] Pendekatan analisis wacana kritis yang banyak digunakan antara lain yang dibuat oleh Roland Barthes dan Norman Fairclough. Keduanya sama-sama menggunakan metode analisis wacana yang disertai dengan pemberian tahap-tahap yang perlu dilakukan.[15]

Struktur Wacana

Secara umum struktur wacana terdiri dari struktur gagasan, struktur paparan, dan struktur bahasa. Struktur sebuah wacana merujuk pada struktur yang menyeluruh atau struktur global pada bentuk pesannya. Dalam hal ini, bentuk pesan tersebut bergantung pada konteks situasi yang melatarbelakanginya.[16] Di samping itu, struktur wacana juga tercermin pada retorika dan persuasi pesan.[17]

Melalui pernyataan di atas, maka struktur wacana terdiri dari tiga jenis yaitu struktur mikro, superstruktur, dan struktur makro.

1. Struktur mikro, berkaitan dengan makna wacana, kata, frasa, kalimat, anak kalimat, proposisi, dan gambar. Dalam hal ini, elemen-elemen yang tersusun dapat membantu pemahaman tentang makna wacana tersebut tanpa mengesampingkan segi isi.

2. Superstruktur, berhubungan dengan kerangka wacana yaitu bagaimana bagian-bagian wacana tersusun ke dalam wacana secara utuh.

3. Struktur makro, makna global atau umum dari suatu wacana yang dapat dipahami dengan melihat topik atau tema dari suatu teks.

Di samping itu, struktur wacana juga dapat diarikan seperti interaksi kelas (classroom interaction), yaitu tata urutan interaksi antara guru dan siswa di dalam proses belajar-mengajar, yaitu transaksi-pertukaran-gerak-tindak. Umumnya, pelajaran (lesson) diawali dengan transaksi (transaction) yang berupa pengajaran guru kepada siswa, diikuti oleh pertukaran (exchange) yang dapat berupa diskusi, lalu dapat dilanjutkan dengan gerak (move) atau tindak (act) yang dapat berupa perilaku, kegiatan, atau tindakan lain di dalam kelas.[3]

Dalam hal wacana berita, struktur wacana digambarkan seperti piramida terbalik. Bagian kesimpulan merupakan porsi terbesar dan terpenting berita yang mengawali berita dan biasanya berisikan informasi tentang apa dan siapa dalam suatu peristiwa. Bagian penjelasan berisikan informasi lebih lanjut, seperti kapan dan di mana peristiwa terjadi. Bagaian analisis mengakhiri berita, yang biasanya diisi dengan informasi mengenai mengapa dan bagaimana peristiwa terjadi.[3]

Fungsi Wacana

1. Fungsi wacana referensial

Wacana referensial menonjolkan acuan yang bersifat informatif tekstual dan situasional. Contohnya, berita media massa.

2. Fungsi wacana ekspresif

Wacana ekspresif berpusat pada penutur pesan, menonjolkan perasaan, komentar subjektif, personal, sebagai pengungkapan perasaan dan sikap penutur. Contohnya, pidato.

3. Fungsi wacana konatif

Wacana konatif ingin mempengerahui pesan agar berpusat pada mitra tutur sehingga dalam hal ini terjadi penyesuaian konteks partisipan. Contohnya kampanye dan iklan.

4. Fungsi wacana fatik

Wacana fatik berpusat pada saluran komunikasi untuk menjalin hubungan antara partisipan, dalam hal ini kontak psikologis dan interaksi terjadi. Contohnya, SMS dan telepon.

5. Fungsi wacana puitik

Wacana puitik menonjolkan unsur pesan seperti tambahan nilai pada pesan dan struktur pesan yang memperkuat isinya. Contohnya, motto, iklan, lagu, dan karya sastra.

6. Fungsi wacana metalinguistik

Wacana metalinguistik berpusat pada kode. Semua unsur bahasa memberikan penjelasan kode penutur karena bahasa yang berbicara tentang bahasa itu sendiri. Oleh karenanya, fungsi ini menerangkan istilah atau aspek yang dibahasakan. Contohnya, istilah, mode, dan definisi.[3]

Sudut pandang

Kaum formalis

Dalam pandangan kaum formalis, wacana merupakan satuan bahasa yang lebih tinggi dibandingkan dengan kalimat. Mereka memandang wacana lebih tinggi dibandingkan dengan satuan bahasa lainnya pada teks. Analisis wacana olhe kaum formalis dibentuk oleh sudut pandang bahasa sebagai fenomena kejiwaan yang memiliki otonomi pada sistemnya. Sudut pandang ini membuat analisis wacana oleh kaum formalis pada teks dikhususkan pada kajian mengenai dukungan atau pengaruh sintatik dari klausa atau kalimat terhadap tingkat struktur bahasa yang lebih tinggi. Selain itu, sudut pandang ini membuat pemerian bahasa dilakukan dengan atuan morfem, klausa, kalimat dan wacana. Metode analisis wacana yang digunakan oleh kaum formalis adalah metode struktural. Kegiatannya ialah menemukan unsur-unsur wacana berupa satuan bahasa yang lebih kecil dibandingkan wacana. Unsur-unsur ini memiliki kaidah yang terbatas dengan hubungan yang saling berkaitan satu sama lain.[18]

Manfaat

Analisis kualitatif

Analisis wacana merupakan analisis terhadap isi teks yang lebih bersifat kualitatif dibandingkan kuantitatif. Penggunaan analisis wacana mengatasi kekurangan dari analisis isi teks dengan pendekatan kuantitatif. Analisis wacana mempertanyakan kondisi dari isi teks dan cara penyampaian pesan yang terkandung di dalam teks.[19]

Keutuhan Wacana

Konsep Keutuhan Wacana

Wacana terletak pada tingkat tertinggi dalam hierarki bahasa iaitu selepas tingkat ayat. Dalam wacana, hubungan antara unit bahasa atau unsur seperti kata, frasa, klausa dan ayat, disusun dan disatukan dengan baik untuk menunjukkan bagaimana pemikiran manusia bersambung dan berkembang sehingga membawa kepada kesatuan fikiran yang kukuh. Sebuah wacana yang baik merujuk kepada bentuk penulisan yang mempunyai ciri-ciri asas iaitu kesatuan dan pertautan:

  1. Kesatuan: Setiap bahagian atau unsur dalam wacana yang mempunyai hubungan idea tajuk atau jadual yang menjadi latar wacana tersebut. Contohnya ayat-ayat perenggan atau subtajuknya mempunyai hubungan makna yang mengarah kepada pokok perbincangan wacana itu.
  2. Pertautan: Hubungan antara unsur-unsur bahasa seperti kata hubung, penanda wacana, kata rujukan dan sebagainya yang berfungsi untuk menyambung bahagian-bahagian dalam wacana tersebut. Contoh kata hubung seperti walaupun, malah, lantaran dan sebagainya.

Keutuhan wacana adalah ciri wacana yang baik. Apabila wacana dijalankan dalam cara yang teratur dan berturutan, perkara ini dipanggil konsisten. Menurut Raminah Hj. Sabran dan Rahim Syam (1987) kesesuaian wacana adalah penting untuk menentukan sama ada sesuatu satuan itu dianggap sebagai wacana atau hanya sekumpulan ayat yang tidak teratur. Melalui analisis keutuhan wacana juga membantu kita lebih memahami hubungan bahasa dengan alam di luar bahasa secara lebih mendalam. Berdasarkan Kamus Webster yang ditulis oleh Noah Webster (1983) perkataan wacana dalam bahasa Inggeris dapat dijelaskan seperti berikut:

  1. Hubungan fikiran dengan kata-kata, ekspresi idea-idea atau gagasan atau percakapan.
  2. Hubungan secara  umum, sama ada sebagai satu subjek atau pokok perbincangan.
  3. Risalah bertulis, disertai formal, kuliah, ceramah, khutbah dan sebagainya.

Menurut Stubbs (1983) wacana ialah suatu kesatuan bahasa yang lebih besar daripada ayat dan klausa. Wacana menjadi unit linguistik yang lebih tinggi kedudukannya daripada batasan ayat dan klausa. Dalam kata lain, wacana boleh terdiri daripada bentuk novel, buku, ensiklopedia dan sebagainya yang membawa makna atau mesej yang lengkap. Asmah Haji Omar (1986) berpendapat, wacana adalah penglahiran sistem bahasa dan unsur-unsur lain sistem bahasa yang membantu ke arah menjadi pertuturan ataupun tulisan yang berkenaan sebagai ssesuatu yang bermakna dalam aktiviti komunikasi.

Walau bagaimanapun terdapat aspek penting yang menghasilkan wacana yang utuh iaitu terdapatnya runtuhan koheren (kesinambungan idea yang menjadikan wacana itu suatu teks yang bermakna serta dapat difahami) dan wujudnya tautan atau kohesi (keserasian hubungan antara suatu unsur linguistik dengan unsur linguistik yang lain). Selain itu, keutuhan wacana juga dapat dianalisis daripada wujudnya hubungan atau kaitan daripada aspek semantik, leksikal, gramatikal, atau tatabahasa dan fonologi yang dilihat sebagai salah satu bahagian dalam wacana.

Dalam Pengajian Melayu 2: Ketrampilan Bahasa oleh Kamaruddin Hj. Husin dan Siti Hajar Abd. Aziz, (1997) dinyatakan bahawa suatu wacana yang utuh secara umumnya mempunyai empat ciri iaitu:

  • Hubungan Keutuhan dari Segi Semantik
  • Hubungan Keutuhan dari Segi Fonologi
  • Hubungan Keutuhan dari segi Leksikal
  • Hubungan Keutuhan dari segi Tatabahasa atau Gramatikal

Keutuhan Leksikal

Keutuhan leksikal dalam Bahasa Melayu  adalah aspek penting dalam mengekalkan keaslian dan konsistensi kata-kata dalam penggunaan harian. Ini merangkumi pematuhan terhadap ejaan, makna, dan bentuk kata. Secara umum, sistem ejaan Rumi dan Jawi perlu dihormati untuk memastikan penggunaan yang betul dan konsisten dalam penulisan. Pematuhan terhadap keutuhan leksikal ini memainkan peranan penting dalam memastikan komunikasi yang tepat dan memudahkan pemahaman antara penutur bahasa Melayu. Bagi mencapai keutuhan leksikal secara terperinci, penulis perlu memperhatikan peraturan ejaan yang ditetapkan, mengelakkan penggunaan perkataan yang tidak baku, dan memahami konteks penggunaan sesuatu kata untuk mengelakkan kekeliruan atau salah faham. Keaslian dan keutuhan dalam penggunaan kata-kata juga penting untuk mengekalkan identiti bahasa dan kebudayaan Melayu. Dengan menjaga keutuhan leksikal secara rapi, kita dapat mengekalkan kekayaan bahasa dan memastikan warisan linguistik yang kukuh untuk generasi akan datang. Keutuhan leksikal dapat dilihat di dalam beberapa bentuk seperti: Pembuka dan Penutup

  1. Dalam konteks pembukaan dan penutupan, keutuhan leksikal memainkan peranan yang penting dalam menyampaikan maklumat secara jelas dan memberikan kesan yang positif kepada pembaca atau pendengar. Pembukaan yang mematuhi keutuhan leksikal dapat menarik perhatian dengan menggunakan perkataan yang tepat dan sesuai dengan tujuan komunikasi. Pemilihan kata yang kreatif dan padat memastikan pesan disampaikan dengan jelas dan memikat minat. Sebaliknya, penutupan yang memperlihatkan keutuhan leksikal menegaskan kesimpulan dengan kuat, meninggalkan kesan yang berkesan.
  2. Dalam pembukaan dan penutupan, keutuhan leksikal memastikan penggunaan kata yang tepat dan gaya penulisan yang sesuai, mencipta kesan positif. Contoh ayat: “Pembukaan yang memikat perhatian dan penutupan yang padat memberikan dimensi yang kuat kepada komunikasi. Misalnya, dalam sebuah ceramah, pemilihan kata yang kreatif di awal dapat memikat pendengar: 'Dalam zaman yang serba canggih ini...' Manakala penutup yang kemas meninggalkan kesan yang berkesan: 'Dengan itu, mari kita bersama-sama membina masa depan yang lebih cerah untuk generasi akan datang.”

Kolokasi

Keutuhan leksikal dalam konteks kolokasi melibatkan penggunaan kata-kata yang secara semantik sering kali digunakan bersama-sama untuk membentuk ungkapan atau frasa yang maknanya lebih khusus. Memahami kolokasi ini memainkan peranan penting dalam memastikan kejelasan dan keaslian komunikasi. Sebagai contoh, kolokasi yang umum dalam Bahasa Melayu adalah "membuat keputusan," di mana kata kerja "membuat" dan kata benda "keputusan" sering digunakan bersama untuk menyatakan tindakan mengambil keputusan. Penggunaan yang tepat dalam konteks ini menghormati keutuhan leksikal dan memastikan pesan disampaikan dengan jelas. Oleh itu, pemahaman dan penggunaan kolokasi dengan betul adalah penting untuk memelihara keaslian dan kejelasan dalam komunikasi bahasa.

Pengulangan

Dalam konteks pengulangan, keutuhan leksikal merujuk kepada pemilihan kata atau frasa yang bersifat konsisten untuk menghindari kekeliruan. Penggunaan kata atau frasa yang sama secara berulang dalam suatu teks atau percakapan memperkukuh kejelasan dan memberikan kesan yang teratur. Pemahaman aspek ini adalah penting untuk memastikan bahawa pesan disampaikan dengan tepat dan mudah difahami. Sebagai contoh, dalam satu perbualan formal, pengulangan kata ganti "beliau" sebagai pengganti nama diri seseorang mengekalkan keutuhan leksikal dan menunjukkan penuh hormat. Dengan memahami dan mengamalkan keutuhan leksikal dalam pengulangan, kita dapat mencapai ketelusan dan konsistensi yang diperlukan dalam komunikasi bahasa.

Persamaan Leksikal

Dalam konteks persamaan leksikal, keutuhan leksikal merujuk kepada konsistensi dan keselarasan dalam penggunaan kata-kata atau frasa yang mempunyai makna serupa. Pemilihan kata-kata dengan persamaan leksikal dapat memperkukuh makna dan memberikan variasi yang sesuai dalam komunikasi. Penting untuk menjaga persamaan leksikal agar tidak menimbulkan kekeliruan dalam penyampaian maklumat. Sebagai contoh, dalam satu laporan kaji selidik, istilah seperti "pengguna" dan "pelanggan" boleh digunakan secara bersamaan untuk merujuk kepada individu yang menggunakan sesuatu perkhidmatan atau produk. Dengan memelihara persamaan leksikal, kita dapat mencapai kejelasan dan kohesi dalam penyampaian maklumat, memastikan pemahaman yang tepat oleh penerima maklumat.

Hiponim

  1. Hiponim merujuk kepada kata-kata yang mempunyai makna yang lebih spesifik atau terperinci berbanding dengan kata-kata yang lebih umum atau luas. Dalam konteks keutuhan leksikal Bahasa Melayu, contoh hiponim untuk keutuhan leksikal boleh termasuk pematuhan terhadap peraturan ejaan.
  2. Penggunaan ejaan yang betul adalah penting dalam menjaga keutuhan leksikal Bahasa Melayu Malaysia. Sebagai contoh, perkataan 'sesuatu' sepatutnya ditulis dengan huruf 's' ganda, bukan 'suatu', untuk memastikan pematuhan terhadap peraturan ejaan yang ditetapkan.

Keutuhan leksikal dalam Bahasa Melayu adalah aspek penting untuk memelihara keaslian dan konsistensi kata-kata dalam komunikasi harian. Ini mencakup pematuhan terhadap ejaan Rumi dan Jawi, serta penjagaan terhadap makna dan bentuk kata. Profesor Emeritus Dr. Asmah Haji Omar, tokoh terkemuka dalam bidang linguistik, menekankan betapa pentingnya keutuhan leksikal dalam memelihara kekayaan budaya dan bahasa Melayu. Beliau berpendapat bahawa usaha bersama masyarakat, pendidik, dan pihak berkuasa diperlukan untuk memastikan bahawa bahasa ini terus berkembang tanpa mengorbankan keaslian bahasa itu sendiri.

Rujukan

  1. ^ Alwasilah, A, Chaedar. Pengantar Penelitian Linguistik Terapan (PDF). Jakarta: Pusat Bahasa. hlm. 19. ISBN 979-685-512-7. 
  2. ^ Nesi, A., dan Sarwoyo, V. (2012). Kerans, Hendrik L., ed. Analisis Wacana: Logis Berwacana dan Santun Bertutur. Flores: Penerbit Nusa Indah. hlm. 22. 
  3. ^ a b c d Kushartanti (2005). Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT Gramedia. 
  4. ^ Rohana dan Syamsuddin (2015). Analisis Wacana (PDF). Makassar: CV. Samudra Alif Mim. hlm. 10. ISBN 978-602-73810-1-8. 
  5. ^ Fauzan, Umar (2016). Analisis Wacana Kritis: Menguak Ideologi dalam Wacana (PDF). Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta. hlm. 5. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-12-15. Diakses tanggal 2021-12-16. 
  6. ^ Arifin, E. Zaenal (2017). "Perkembangan Teori dan Teknik Analisis Wacana: Dari Teori Konvensional ke Teori Modern". Pujangga. 3 (1): 1. 
  7. ^ Dewi, Wendi Widya Ratna (2009). Wacana dalam Bahasa Indonesia. Klaten: PT Intan Pariwara. 
  8. ^ Jumadi (2017). Rafiek, M., ed. Wacana, Kekuasaan, dan Pendidikan Bahasa (PDF). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 2. ISBN 978-602-229-824-3. 
  9. ^ Jumadi (2010). Pamungkas, Daud, ed. Wacana: Kajian Kekuasaan Berdasarkan Ancangan Etnografi Komunikasi dan Pragmatik (PDF). Yogyakarta: Pustaka Prisma. hlm. 58. ISBN 979-17083-3-9. 
  10. ^ Jumadi (2005). Representasi Kekuasaan dalam Wacana Kelas (PDF). Jakarta: Pusat Bahasa. hlm. 30. ISBN 979-685-518-6. 
  11. ^ Alek (2018). Linguistik Umum (PDF). Jakarta: Erlangga. hlm. 137. 
  12. ^ Sukarno (2020). Realisasi Metafungsi, Konteks Situasi dan Struktur Generik Teks Khotbah Jumat pada Empat Masjid di Kota Jember (PDF). Jember: UPT Percetakan dan Penerbitan Universitas Jember. hlm. 17. ISBN 978-623-7226-80-2. 
  13. ^ Dosen Jurusan Komunikasi Fisip Unib (2019). Rozi, Achmad, ed. Bunga Rampai Riset Komunikasi Edisi 2 (PDF). Serang: Desanta Muliavisitama. hlm. 4. ISBN 978-623-7019-71-8. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-12-15. Diakses tanggal 2021-12-16. 
  14. ^ Malini, Ni Luh Nyoman Seri (2016). Pastika, I Wayan, ed. Analisis Wacana (Wacana Dakwah di Kampung Muslim Bali (PDF). Denpasar: Cakra Press. hlm. 16. ISBN 978-602-9320-21-3. 
  15. ^ Surokim, ed. (2016). Riset Komunikasi: Strategi Praktis Bagi Peneliti Pemula (PDF). Prodi Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Trunojoyo Madura (UTM) dan Elmatera Yogyakarta. hlm. 144. ISBN 978-602-1222-89-8. 
  16. ^ Halliday M.A.K, R. Hassan (1976). Halliday,. London: Longman. 
  17. ^ Van Dijk, Teun A (1977). Text and Context: Explorations in Semantics and Pragmatics of Discourse. London: Longman. 
  18. ^ Suyitno, Imam (2015). Analisis Wacana Budaya: Refleksi Budaya Etnik Dalam Kosakata Wacana (PDF). UM Press. hlm. 6–7. ISBN 978-979-495-800-1. 
  19. ^ Mukarom, Zaenal (2020). Teori-Teori Komunikasi (PDF). Bandung: Jurusan Manajemen Dakwah, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Gunung Djati Bandung. hlm. 254. ISBN 978-623-6524-01-5.