Kerajaan Kutai Martapura

kerajaan di Asia Tenggara

Kerajaan Kutai Martapura adalah kerajaan bercorak Hindu di Nusantara prasasti Yupa dan berdiri sekitar abad ke1-4[1]. Pusat kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur. Nama Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut. Informasi nama Martapura diperoleh dari kitab Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara.[2]

Kerajaan Kutai Martapura
399–1635
Ibu kotaMuara kaman, Kalimantan Timur
Bahasa yang umum digunakanBahasa Sansekerta (Gerejawi), Bahasa Kutai (Umum)
Agama
Hindu (Resmi Dan Umum), Kaharingan, Animisme
PemerintahanMonarki
Sri Maharaja 
• Abad 4 masehi
Kundungga
• Abad 4 masehi
Aswawarman
• Abad 5 masehi
Mulawarman
• Abad 16 masehi
Dermasatria
Sejarah 
• Didirikan
399
• Dianeksasi oleh Kutai Kertanegara
1635
Digantikan oleh
krjKerajaan
Tarumanegara
kslKesultanan
Kutai Kertanegara ing Martapura
Sekarang bagian dari Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Historiografi

Sumber primer sejarah Kerajaan Martapura adalah tujuh prasasti yupa yang ditemukan di Bukit Brubus, Muara Kaman.[3] Penemuan batu bertulis ini tidak sekaligus, melainkan dalam dua tahap dengan rentang waktu lebih dari setengah abad. Tahap pertama, empat prasasti ditemukan pada tahun 1879. Setahun kemudian, keempat prasasti tersebut diangkut ke Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (kini Museum Nasional, Jakarta). Tahap kedua, tiga prasasti lainnya ditemukan berselang 61 tahun kemudian, yakni pada 1940. Ketiganya disimpan di museum yang sama.[4]

Penamaan

.[5]

Raja-Raja Kutai Martapura

Hanya ada lima nama raja yang tercatat dalam sumber sejarah, yakni 3 orang di Prasasti Yupa beraksara Pallawa dan 2 orang dalam kitab Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara beraksara Arab Melayu. Adapun informasi lain yang menyebutkan daftar lebih dari 20 raja tidak berdasarkan sumber sejarah yang autentik, melainkan dari ucapan meranyau seorang dukun dalam upacara adat belian.[6][7]

.

Maharaja Kudungga

Pada awalnya kedudukan Kundungga adalah sebagai kepala suku, setelah masuk pengaruh Hindu ke Indonesia kemudian ia mengubah struktur menjadi kerajaan dan dirinya menjadi raja, dan dilakukan secara turun temurun.[8] .

Maharaja Aswawarman

Merupakan Raja Kedua dari Kerajaan Martapura sekaligus anak dari Raja Kundungga. Aswawarman diduga telah terpengaruh budaya Hindu. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kata Warman berasal dari bahasa Sanskerta. Kata itu biasanya digunakan untuk akhiran nama-nama masyarakat atau penduduk India bagian Selatan.[5][9]

Mulawarman Nala Dewa

Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara penulisannya. Kundungga sendiri diduga belum menganut agama Hindu.

Masa Kejayaan Kerajaan Kutai Martapura

Berdasarkan Prasasti Yupa, dapat diketahui bahwa Kerajaan Kutai mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Mulawarman.

Mulawarman disebut-sebut sebagai raja yang memiliki budi pekerti baik, kuat, dan pernah mengadakan upacara persembahan 20.000 ekor lembu untuk kaum Brahmana yang bertempat di "Waprakecvara". Waprakecvara adalah tempat suci (keramat) yang merupakan sinkretisme antara kebudayaan Hindu dengan kebudayaan Indonesia.

Sebagai keturunan Aswawarman, Mulawarman juga melakukan upacara "Vratyastoma", yaitu upacara penyucian diri untuk masuk pada kasta Ksatria. Pada masa pemerintahan Mulawarman, upacara penghinduan ini dipimpin oleh pendeta/kaum Brahmana dari orang Indonesia asli. Hal ini membuktikan bahwa kemampuan intelektualnya tinggi, karena Bahasa Sanskerta bukanlah bahasa rakyat sehari-hari. Selain itu, di bawah kekuasaan Raja Mulawarman kehidupan ekonomi kerajaan mengalami perkembangan pesat dari sektor pertanian dan perdagangan karena letaknya sangat strategis.

Akhir Kerajaan Kutai Martapura

Kerajaan Kutai Martapura berakhir saat rajanya yang bernama Dermasatia terbunuh dalam peperangan melawan Kerajaan Kutai Kertanegara, dipimpin oleh Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa. Atas penaklukan Kutai Martapura, Aji Pangeran Sinum Mendapa menggabungkan nama dari kedua kerajaan tersebut menjadi Kerajaan Kutai Kertanegara ing Martapura.

Kutai Martapura sendiri berbeda dengan Kerajaan Kutai Kertanegara yang saat itu berpusat di Kutai Lama. Di lain sisi, Kutai Martapura berpusat di Muara Kaman. Menilik negarakertagama, Tanjung Kutai yang dimaksud adalah Kutai Kertanegara.

Kutai Kertanegara ing Martapura selanjutnya menjadi kerajaan Islam dan pada tahun 1735, Raja Kutai Kertanegara ing Martapura, Aji Muhammad Idris mengadopsi gelar Sultan sekaligus mengubah nama kerajaan menjadi Kesultanan Kutai Kertanegara ing Martapura hingga sekarang.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Vogel, J. Ph. (1918). "The Yupa Inscription of King Mulawarman, from Koetei (East Borneo)". BKI. 74. 
  2. ^ Muhammad Sarip (2018). Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kertanegara. Indonesia: RV Pustaka Horizon. ISBN 9786025431159. 
  3. ^ "Keputusan Mendikbud RI Nomor 279/M/2014 tentang Tujuh Prasasti Yupa Koleksi Museum Nasional Nomor Inventaris D.2A, D.2B, D.2C, D.2D, D.175, D.176, dan D.177 Sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional" (PDF). munas.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 24 Agustus 2020. 
  4. ^ Vlekke, Bernard H.M (2008). Nusantara Sejarah Indonesia [Nusantara: A History of Indonesia (1961)]. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 
  5. ^ a b Poesponegoro, Marwati Djoened; Notosusanto, Nugroho (Ed.) (2008). Sejarah Nasional Indonesia II Zaman Kuno (Awal M–1500 M). Jakarta: Balai Pustaka. 
  6. ^ M. Asli Amin dkk, Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai, Tenggarong: Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kalimantan Timur, 1975
  7. ^ Rujukan kosong (bantuan) 
  8. ^ Abdullah, Taufik; Lapian, A.B. (2012). Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 2: Hindu-Buddha. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. 
  9. ^ Minattur, Joseph (2009). "A Note on the King Kundungga of the East Borneo Inscriptions". Journal of Southeast Asian History. 5 (2): 181–183. doi:https://doi.org/10.1017/S0217781100000995 Periksa nilai |doi= (bantuan).