Siti Hayinah Mawardi

Siti Hayinah Mawardi (Ejaan Van Ophuijsen: Siti Hajinah Mawardi; lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta pada 1906 dan meninggal di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta pada 27 April 1991) adalah tokoh Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah ke-27 dan ke-29–32. Dia adalah anak ketiga dari Mohammad Narju, seorang pengusaha batik handel, sedangkan keluarganya menjadi pendukung gerakan Muhammadiyah.

Hayinah merupakan salah satu wanita generasi awal di Hindia Belanda yang mempunyai latar belakang pendidikan yang baik. Pendidikan yang diterimanya meliputi Neutraal Meisjes School (sekolah umum), Hollands Inlandsche School (HIS), dan Fur Huischoud School (FHS). Pendidikan tersebut memunculkan suatu kesadaran kritis dalam dirinya bahwa adat dalam kehidupan masyarakat saat itu menghambat pola kemajuan wanita.

Partisipasinya dalam skala nasional adalah menjadi peserta Kongres Wanita Indonesia Pertama bersama dengan Siti Munjiyah, yang diselenggarakan di Ndalem Jayadipuran pada 22–25 Desember 1928. Munjiyah membacakan pidato dengan judul Derajat Perempuan, sedangkan Hayinah menyampaikan tentang Persatuan Manusia. Tema yang diusungnya begitu kontekstual dengan semangat persatuan yang sedang digadang-gadang dalam penyelenggaraan kongres. Menurut dirinya, persatuan merupakan alat untuk memperoleh tujuan utama, seperti kebahagiaan dan kesejahteraan. Jalan menghadirkan persatuan ditempuh melalui saling memelihara persaudaraan. Dia menyambut dengan baik usaha untuk mempersatukan perserikatan wanita.

Latar belakang

Keluarga

Siti Hayinah Mawardi lahir pada 1906 di Kauman, Ngupasan, Gondomanan, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia merupakan anak ketiga dari Mohammad Narju, seorang pengusaha batik handel. Dia dibesarkan di daerah Kauman yang notabene merupakan kampung para santri dan kaum juragan batik yang melebur menjadi satu komunitas (Mu’arif & Setyowati, 2014).

Kutoyo (1983) menengarai jika masyarakat yang berada di kampung tersebut memang memiliki ciri-ciri khusus. Penduduknya merupakan keturunan dari para ulama yang awalnya mempunyai suatu pertalian keluarga satu dengan yang lainnya. Sebagai anggota keluarga dari abdi dalem keagamaan, keluarga Siti Hayinah secara sosio-kultural berasal dari lingkungan keluarga yang tentu mengenal tata kehidupan dan pergaulan di lingkungan kerabat keraton, sedangkan Muhammadiyah yang tumbuh dan berkembang di kampung ini ikut memberikan pengaruh terhadap pembentukan jati diri kepribadiannya (Darban, 2000). Kauman sebagai tempat tinggal Hayinah telah membuat wanita tersebut “mengakrabi” tradisi Jawa yang bersinggungan dengan tradisi Islam. Dia “akrab” dengan tradisi – yang dikesankan seluruhnya oleh logika “feminisme mainstream” – sebagai penindasan, tetapi kehidupanya tidak memperlihatkan ketertindasan tersebut. Ketika berada di dalam “ruang pribadi”, dia merupakan seorang wanita biasa, tetapi di “ruang publik” dia adalah salah satu tokoh Aisyiyah yang aktif (Darban et al, 2010).

Selain itu, dia juga rutin berinteraksi dengan banyak organisasi wanita yang tumbuh saat itu (seperti Taman Siswa, Jong Java, dan Wanita Oetama) sebagai salah satu wakil dari organisasi Aisyiyah (Suratmin et al, 1991). Realitas itu memperlihatkan jika dia bisa hidup dalam “dua ruang” yang berbeda dan juga tidak mengalami “masalah berarti” dengan tradisi maupun kebudayaan Jawa yang mengelilinginya dikarenakan semua hal yang terus dilakukannya merupakan suatu “dialog” dengan realitas di sekelilingnya.

Menurut penjelasan dalam buku biografi para tokoh dalam Kongres Wanita Indonesia Pertama, Hayinah mulai mengenyam pendidikan di Neutraal Meisjes School (sekolah umum) bersama dengan Siti Zaenab, Siti Aisyah, Siti Dauchah, Siti Dalalah, Siti Busyro, dan Siti Badilah pada 1913. Selanjutnya, dia meneruskan di Hollands Inlandsche School (HIS) dan Fur Huischoud School (FHS) (Suratmin et al, 1991).

FHS merupakan semacam Sekolah Kepandaian Putri (SKP) yang mengajarkan keterampilan memasak, menjahit, dan kegiatan lain dalam berumah tangga. Setelah lulus SKP, Hayinah tidak melanjutkan pendidikan formal. Dia hanya menjalankan pendidikan nonformal dari orang tua dan pengajian yang diselenggarakan oleh Nyai Ahmad Dahlan. Namun, pengetahuan umum maupun agama yang telah diterimanya itu mengantarkannya aktif sebagai anggota Aisyiyah (Mu’arif & Setyowati, 2014).

Pada 1925, Hayinah menikah dengan Mohammad Mawardi Mufti yang berasal dari Banjarnegara. Mawardi adalah putra dari pasangan Muhammad Mufti dan Murtiyah. Dia berprofesi sebagai guru aktif di Muhammadiyah, serta menjadi ketua Majelis Pemuda pada masa kepemimpinan K.H. Mas Mansur dan ketua Majelis Pengajaran pada masa kepemimpinan Ki Bagus Hadikusumo. Selain itu, dia juga aktif di bagian tablig dan ketua kepanduan Hizbul Wathan (HW) (Suratmin et al, 1991).

Setelah menikah, Hayinah memperoleh tambahan nama suami di belakang menjadi Siti Hayinah Mawardi. Keduanya lantas tinggal di Jalan Agus Salim No. 29A, Notoprajan, Ngampilan. Mu’arif dan Setyowati (2014) mencatat bahwa kedua pasangan itu dikaruniai tujuh orang anak melalui pernikahannya, yaitu Harijadi, Rusdi, Darmadi, Parmadi, Kusnadi (meninggal saat kecil), Hartinah (meninggal saat kecil), dan Darmini.

Amal usaha

Hayinah mulai aktif terlibat di Aisyiyah sejak 1925 atau ketika dirinya berusia 19 tahun. Saat itu, dia telah memperoleh kepercayaan menjabat sebagai sekretaris hoofdbestuur (pimpinan pusat) Muhammadiyah bagian Aisyiyah mendampingi Nyai Ahmad Dahlan. Amanat tersebut dikeluarkan dalam Rapat Tahunan Muhammadiyah tahun 1925 di Yogyakarta yang dipimpin oleh K.H. Ibrahim (Suratmin et al, 1991).

Dalam perjalanan kariernya, dia tercatat lima kali menjabat sebagai Ketua Pimpinan Pusat Aisyiyah, yaitu 1946–1950, 1953–1956, 1956–1959, 1959–1962, dan 1962–1965. Sebelum mendadapat amanat sebagai ketua umum, dia telah terlibat dalam kepengurusan Aisyiyah sejak kepemimpinan Siti Bariyah, Nyai Ahmad Dahlan, Siti Munjiyah, dan Siti Aisyah Hilal (Setyowati, 2011).

Dia pertama kali memperoleh amanat sebagai ketua umum Aisyiyah dalam Kongres Darurat Muhammadiyah tahun 1946 di Yogyakarta (pimpinan Ki Bagus Hadikusumo). Pada Muktamar Muhammadiyah ke-32 tahun 1953 di Purwokerto, dia ditunjuk kedua kalinya sebagai ketua umum. Selanjutnya, dalam Muktamar Muhammadiyah ke-33 tahun 1956 di Palembang, Muktamar Muhammadiyah ke-34 tahun 1959 di Yogyakarta, dan Muktamar Setengah Abad Muhammadiyah tahun 1962 di Jakarta, dia berturut-turut memperoleh amanat sebagai ketua umum Aisyiyah (Suratmin, 1990).

Selain di Aisyiyah, Hayinah juga aktif di Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan, dan Perceraian (BP4), Gabungan Wanita Islam Indonesia (GOWII), dan Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI) (Suratmin, 1990). Jabatan terakhirnya di BP4 adalah sebagai penasihat. BP4 sendiri didirikan untuk mendampingi, menangani, dan tempat konsultasi mengenai permasalahan-permasalahan dalam rumah tangga. Perceraian yang saat itu banyak terjadi sering kali memunculkan kerugian untuk wanita (Suryochondro, 1984).

 
Pendopo Ndalem Jayadipuran, tempat pelaksanaan Kongres Wanita Pertama. Bangunan ini sekarang digunakan oleh kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta.
 
Aisyiyah diwakili Siti Munjiyah dan Siti Hayinah Mawardi tergabung dalam Komite Kongres Wanita Indonesia Pertama tahun 1928.

Peran Hayinah yang paling kentara adalah menjadi perwakilan dari Aisyiyah untuk mengikuti Kongres Wanita Pertama bersama dengan Siti Munjiyah. Acara tersebut berlangsung sejak tanggal 22–25 Desember 1928 di Ndalem Jayadipuran (Harnoko & Tashadi, 1987). Menurut laporan kongres yang didokumentasikan oleh Blackburn, dapat diketahui ada 15 pembicara yang mewakili berbagai organisasi (Blackburn, 2007).

Acara tersebut berlangsung selama tiga hari tiga malam dengan agenda masing-masing. Setiap-malam berlangsung acara pertemuan dan persidangan tertutup antara utusan tamu, anggota komite pusat, dan subseksi, sedangkan setiap siang hari dilaksanakan persidangan umum dengan pembacaan pidato dari masing-masing utusan (PP. Aisyiyah, 1940). Pokok pembahasan yang dilontarkan adalah seputar berbagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh kaum wanita saat itu dan cara mengatasinya, yaitu pentingnya kesehatan dan pendidikan modern bagi wanita, nasib anak-anak yatim dan janda, pentingnya persamaan hak antara wanita dan laki-laki, reformasi aturan dalam pernikahan agama Islam (termasuk soal pernikahan anak-anak dan bentuk poligami), dan buruknya pernikahan paksa (Soewondo, 1984).

Pada acara penyampaian pidato, Siti Munjiyah dan Siti Hayinah Mawardi tampil sebagai perwakilan dari Aisyiyah. Munjiyah membacakan pidato dengan judul Derajat Perempuan, sedangkan Hayinah menyampaikan tentang Persatuan Manusia (Suratmin, 1990). Aisyiyah sendiri melalui keduanya secara terbuka mengemukakan bahwa menginginkan kongres tersebut untuk melakukan kerja sama dengan organisasi wanita lain (PP. Aisyiyah, 2000). Soewondo (1984) menambahkan bahwa Aisyiyah juga mengharapkan pertemuan tersebut menjadi suatu wadah bagi para wanita untuk mengemukakan pendapat dan gagasan tentang perjuangan.

Tema yang diusung oleh Hayinah sendiri begitu kontekstual dengan semangat persatuan yang sedang digadang-gadang dalam penyelenggaraan Kongres Wanita Pertama. Menurut dirinya, persatuan merupakan alat untuk memperoleh tujuan utama, seperti kebahagiaan dan kesejahteraan. Jalan menghadirkan persatuan ditempuh melalui saling memelihara persaudaraan. Dia menyambut dengan baik usaha untuk mempersatukan perserikatan wanita (Suryochondro, 1984).

Usulan lain yang diajukan Hayinah adalah agar kongres menjadi suatu badan perhimpunan perkumpulan wanita se-Hindia Timur dan menjadi perantara persatuan berbagai organisasi (Nashir, 2010). Selain itu, dia juga mendorong kongres untuk mendirikan bibliotheek (gedung buku/perpustakaan) dan mengusahakan penerbitan surat kabar atau majalah untuk wanita (Mu’arif & Setyowati, 2014). Pendapatnya lantas menjadi salah satu keputusan kongres, yaitu menyepakati pendirian dan permufakatan Perikatan Perempuan Indonesia (PPI) (Hawari, 1979).

Peran Hayinah tidak berhenti sebatas sebagai panitia kongres, tetapi dia juga ikut aktif menjadi anggota penerbitan surat kabar “organ” PPI berjudul Istri. Dia termasuk salah satu tokoh yang mengusulkan penerbitan surat kabat ini. Hal tersebut bukanlah hal baru karena dia telah terlibat aktif dalam majalah Suara Aisyiyah sejak pertama kali diterbitkan pada 1927. Beberapa tulisannya yang dimuat dalam majalah Suara Asiyiyah adalah Kemajengan (Kemajuan), Kewajiban Kita, dan Aisyiyah Menghadapi Kenyataan (Suratmin, 1990).

Ketika duduk dalam kepanitiaan Kongres Wanita Indonesia, Hayinah tidak serta-merta memahami gerakan emansipasi yang diusung oleh kongres sebagai upaya menyamakan kedudukan kaum wanita dengan laki-laki. Reformasi kehidupan wanita harus ditempuh melalui jalur pendidikan dan tidak cukup hanya suwarga nunut, neraka katut. Kaum wanita memang memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan laki-laki, tetapi mereka tidak dapat melupakan kodratnya sebagai wanita (Mu’arif & Setyowati, 2014).

Hasil pemikirannya itu dapat ditilik dalam artikelnya berjudul Kemajuan yang diterbitkan di Suara Aisyiyah. Dia mengkritik pandangan naif dari para pengikut gerakan emansipasi yang telah melupakan budaya sendiri dan mengikuti arus budaya Barat sebagai berikut.

Pembaca tidak salah, bahwa bangsa Jawa sekarang senang terhadap kemajuan atau senang maju. Namun, sayangnya mereka belum mengerti benar apa yang dimaksud dengan kemajuan itu. Karena itu, jika mereka dilarang agar tidak bepergian atau berdandan (yang berlebihan), mereka akan menjawab, “Inikah zaman kemajuan?” Jika disuruh menyapu lantai, mereka akan menggerutu, “Sudah maju masih disuruh menyapu”. Jika diberi tahu bahwa ada tingkat lakunya yang tidak pantas, seperti naik sepeda, potong daun dan sebagainya, mereka akan menjawab, “Kolot, kolot!” (PP. Aisyiyah, 1940).

Pandangannya itu memang masih mengacu kepada nilai-nilai budaya sendiri untuk memahami arti emansipasi. Dia tidak ingin para wanita larut dalam budaya bangsa lain yang memang tidak cocok untuk budaya sendiri. Kemajuan wanita yang diinginkannya harus mengikuti atau sejalan dengan budaya bangsa sendiri.

Akhir kehidupan

Setelah tidak menjabat sebagai ketua umum, Hayinah sempat menjadi Penasihat PP. Aisyiyah pada masa kepemimpinan K.H. Ahmad Badawi. Salah satu penghargaan yang diterimanya atas jasanya dalam Kongres Wanita Indonesia adalah memperoleh kenang-kenangan berupa peniti emas berbentuk bunga melati lambang KOWANI pada 1972 (Hayati, 1985).

Menurut catatan PP. Aisyiyah (2000), Hayinah menjelang akhir hayatnya banyak menjalankan aktivitas mengajar mengaji di rumahnya karena sudah tidak dapat melakukan aktivitas keorganisasian. Dia akhirnya meninggal dunia pada 27 April 1991 di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Jenazahnya lantas dikebumikan di Permakaman Pakuncen.

Lihat pula

Keterangan

Rujukan

Daftar pustaka

Buku

  • Amini, Mutiah (2021). Sejarah Organisasi Perempuan Indonesia (1928–1998). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ISBN 978-602-3869-60-2. 
  • Anshoriy, Muhammad Nasruddin (2010). Matahari Pembaruan: Rekam Jejak K.H. Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher. ISBN 978-602-9703-21-4. 
  • Arifin, M.T. (1990). Muhammadiyah Potret yang Berubah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. ISBN 978-602-6268-01-3. 
  • Baha'uddin, dkk (2010). Aisyiyah dan Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia: Sebuah Tinjauan Awal. Yogyakarta: Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. ISBN 978-979-1407-21-2. 
  • Blackburn, Susan (2007). Kongres Wanita Pertama: Tinjauan Ulang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV. ISBN 978-979-4616-10-9. 
  • Burhanudin, Jajat, dkk (2002). Ulama Perempuan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-6866-44-1. 
  • Darban, Ahmad Adaby (2000). Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah. Yogyakarta: Tarawang. ISBN 978-979-8681-26-4. 
  • Dzuhayatin, Siti Ruhaini (2015). Rezim Gender Muhammadiyah: Kontestasi Gender, Identitas, dan Eksistensi. Yogyakarta: Suka Press UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. ISBN 978-602-2295-85-3. 
  • Fauzia, Amelia; Fathurahman, Oman (2004). Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta. ISBN 978-979-2210-55-2. 
  • Harnoko, Darto, dkk (2014). Rumah Kebangsaan Ndalem Jayadipuran Periode 1900–2014 (PDF). Yogyakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta. ISBN 978-602-1222-23-2. 
  • Mulkhan, Abdul Munir (2013). Marhaenis Muhammadiyah: Ajaran dan Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Galang Pustaka. ISBN 978-602-9431-27-8. 
  • Nakamura, Mitsuo (1983). Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin: Studi tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ISBN 978-602-6268-02-0. 
  • Nashir, Haedar, dkk (2010). Profil 1 Abad Muhammadiyah. Jakarta: Lembaga Pustaka dan Informasi PP. Muhammadiyah. ISBN 978-979-7094-98-0. 
  • Noer, Deliar (1988). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942. Jakarta: LP3ES. ISBN 978-019-6382-54-8. 
  • Setyowati, Hajar Nur; Mu'arif (2014). Srikandi-Srikandi Aisyiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. ISBN 978-979-3708-97-3. 
  • Soeratno, Siti Chamamah, dkk (2009). Muhammadiyah Sebagai Gerakan Seni dan Budaya: Suatu Warisan Intelektual yang Terlupakan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-602-8479-49-3. 
  • Suminto, Husnul Aqib (1985). Politik Islam Hindia-Belanda. Jakarta: LP3ES. ISBN 978-979-8015-10-6. 

Buku lama

  • Anis, Junus (1969). Haji Fachrodin. Yogyakarta: PT. Percetakan Persatuan. 
  • Benda, Harry Jindrich (1985). Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang. Jakarta: Pustaka Jaya. 
  • Fauzan, Al (2001). Kitab Tauhid. Jakarta: Yayasan Al-Sofwa. 
  • Hamzah, Amir (1962). Pembaruan Pendidikan dan Pengajaran Islam yang Diselenggarakan Oleh Pergerakan Muhammadiyah. Yogyakarta: Penyelenggara Publikasi Pembaruan Pendidikan/Pengajaran Islam. 
  • Kartodirdjo, Sartono, dkk (1975). Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  • Kutoyo, Sutrisno (1983). Kyai Haji Ahmad Dahlan. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 
  • Ohorella, G.A.; Sutjiatiningsih, Sri; Ibrahim, Muchtaruddin (1992). Peranan Wanita Indonesia pada Masa Pergerakan Nasional (PDF). Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 
  • Pijper, Guillaume Frédéric (1984). Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900–1950. Jakarta: Universitas Indonesia Press. 
  • Sudja (1989). Muhammadiyah dan Pendirinya. Yogyakarta: PP. Muhammadiyah Majelis Pustaka. 
  • Suratmin (1990). Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional: Amal dan Perjuangannya. Yogyakarta: PP. Aisyiyah Seksi Khusus Penerbitan dan Publikasi. 
  • Suratmin, dkk (1991). Biografi Tokoh Kongres Perempuan Indonesia Pertama (PDF). Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 
  • Suryochondro, Sukanti (1984). Potret Pergerakan Wanita di Indonesia. Jakarta: Rajawali dan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial. 

Dokumen resmi

  • Congresnummer: Congres Perempoean Indonesia jang Pertama 22–25 December 1928 di Mataram. 1928. 

Jurnal

Pranala luar

Didahului oleh:
Siti Aisyah Hilal
Ketua Umum Pimpinan Pusat 'Aisyiyah
1946–1950
Diteruskan oleh:
Siti Aisyah Hilal