Suciwati

aktivis HAM Indonesia

Suciwati (lahir 28 Maret 1968)[1] adalah seorang aktivis hak asasi manusia yang meneruskan kegiatan almarhum suaminya, Munir Said Thalib, aktivis hak asasi manusia yang meraih penghargaan Right Livelihood Award, yang dibunuh di dalam pesawat Garuda Indonesia, saat ia akan melanjutkan studi Hukum Internasional di Utrecht. Ia juga merupakan pendiri museum Indonesia, Omah Munir, yang didirikan pada tahun 2013, dan kampanye bertajuk "Menolak Lupa", yang dimaksudkan untuk mengajak masyarakat agar tidak melupakan apa yang telah dilakukan oleh suaminya, Munir, untuk Indonesia.

Suciwati
Suciwati pada tahun 2019
Lahir28 Maret 1968 (umur 56)
Malang, Jawa Timur, Indonesia
KebangsaanIndonesia
Dikenal atasAktivis hak asasi manusia
Suami/istri
(m. 1996; meninggal 2004)
Anak2

Kehidupan pribadi

Suciwati adalah lulusan IKIP Negeri Malang Jurusan Sastra Indonesia. Ia pernah engajar di MIN Malang I yang beralamat di Jalan Bandung, Malang serta setelah lulus kuliah, ia mengajar di SMA Swasta Cokroaminoto Malang. Setelah mendengar keluhan teman-teman masa kecilnya atas pelecehan yang terjadi ditempat kerja mereka, Suciwati memutuskan keluar dari profesi guru terjun langsung masuk jadi buruh. Dipabrik itu Suciwati mengorganisir buruh dan sesudahnya berhasil mendirikan PUK SPSI disana dan sejak itu dia terjun mengadvokasi buruh jauh sebelum bertemu dengan suaminya, Munir. Diruang aktifisme buruh di Malang yang akhirnya mempertemukan mereka.

Suciwati menikah dengan aktivis Munir Said Thalib pada tahun 1996. Mereka mempunyai dua anak, yang pertama seorang putra bernama Soultan Alif Allende (lahir pada 12 Oktober 1998), dan yang kedua seorang putri bernama Diva Suukyi Larasati (lahir pada 18 Juli 2002).

Aktivisme

Gelisah dalam pergumulan melihat ketidak adilan dari cerita teman sekampung Suci yang menjadi buruh dipabrik garment dekat kampung mereka, ia memutuskan keluar dari profesi guru menjadi buruh pada tahun 1990 di bulan Oktober. Selang tiga bulan dia berhasil mengorganisir buruh pabrik tersebut dengan mendirikan SPSI ditempat mereka bekerja pada tahun 1991 dibulan Maret. Hasilnya dia dipecat setelah gagal dirayu dan disuap bos nya yang berkebangsaan Korea dengan janji diangkat jadi personalia dan sekolah lagi asalkan tidak memimpin oraganisasi buruh tersebut.

Setelah kejadian tersebut Suciwati membuat kelompok diskusi Buruh Malang setiap Minggu antar beberapa buruh pabrik garment di Malang. Dalam perjalanan mengorganisir buruh inilah dia bertemu dengan Munir. Ikut penelitian 'peran masyarakat Ketindan Lawang dalam aksi buruh Sidobangun', penelitian UMR buruh Malang tahun 1994.

Dalam perjalanan mendampingi Munir untuk advokasi Orang Hilang Suciwati lebih banyak mendukung kerja-kerja Munir yang bekerja di YLBHI mendirikan KontraS, Imparsial. Selama mengadvokasi orang hilang dan keluarga korban kekerasan negara Suciwati kena imbas ancaman yang diberikan kepada Munir. Baik teror psikis maupun fisik. Setidaknya dua kali mendapatkan teror kiriman bom, surat-surat dan bahkan sampai Pembunuhan suaminya Munir pada 07 September 2004.

Setelah kematian Munir dia bekerja di Yayasan Tifa Suciwati mendorong dukungan terhadap pembela hak asasi manusia dan korban pelanggaran HAM berat. Membuat program Human Right Support Facility bekerja sama dengan Dompet Duafa membantu bea pendidikan keluarga korban, kesehatan, dan kursus ketrampilan. Suciwati juga menginisiasi demontrasi damai'melawan lupa' yang lebih dikenal Aksi Kamisan depan istana dimulai tanggal 18 Januari 2007 yang hari ini masih eksis dan sekarang merambah ke 46 kota yg melakukan hal serupa. Mengingatkan negara bahwa kejahatan kemanusiaan di Indonesia belum pernah menghukum pelakunya dan harus diselesaikan oleh pemerintah. Setelah pindah ke Batu pada th 2013 Suciwati bersama teman2 nya yaitu Smita Noto Susanto, Andi Achdian, Mufti Makarim mendirikan Museum HAM Munir pada tanggal 8 Desember 2013 dirumah kediamannya di Batu. Pada tanggal 14 September 2022 Suciwati meluncurkan buku berbasis biografi Munir dan Suciwati yang berjudul "Mencintai Munir" bagi dia judul ini berarti mencintai kebenaran dan keadilan seperti perjuangan yang dilakukan oleh almarhum suaminya, Munir semasa hidupnya.

Penghargaan

Selama mengadvokasi dan pencarian keadilan Suciwati mendapatkan penghargaan atas kegigihannya, mulai pada tahun 2005 dari Time sebagai salah satu Pahlawan Asia (Asia Heroes), kemudian tahun 2006 Human Rights First Gala Dinner US atas nama Suciwati dan Munir, Suciwati dinilai bekerja tanpa lelah untuk membawa pembunuh Munir kepengadilan, sedangkan Munir sebagai pejuang HAM terdepan di Indonesia.[2] Pada tahun 2006, Suciwati mendapat penghargaan dari Metro TV Award, dan People of the Year kategori hukum pada tahun 2009 dari Seputar Indonesia RCTI.

Penghargaan Pemberi/Acara
Januari 2009 People of The Year RCTI
Desember 2006 Metro TV Award MetroTV
Oktober 2006 Human Rights Award Human Rights First
November 2005 Asia’s Heroes Time Magazine Time

Referensi

  1. ^ "Saya tagih sampai mati penuntasan kasus Munir". merdeka.com. Diakses tanggal 1 Februari 2016. 
  2. ^ "Human Rights First Gala Awards Dinner". gettyimages.co.nz. Diarsipkan dari versi asli Parameter |archive-url= membutuhkan |url= (bantuan) tanggal 2021-11-11. sebagai salah satu Asia Heroes , tahun 2006 Human Rights First Gala Dinner US atas nama Suciwati dan Munir  Teks "url+https://www.gettyimages.co.nz/detail/news-photo/suciwati-gloria-estefan-yolanda-herga-cendeno-news-photo/117267395 " akan diabaikan (bantuan);