Samba (Mahabharata)
Samba (Dewanagari: साम्ब; IAST: Sāmba ) adalah nama tokoh dalam wiracarita Mahabharata, putra Kresna dan Jambawati. Ia adalah seorang kesatria terkemuka dari wangsa Yadawa. Kisahnya juga terdapat dalam kitab Hindu Bhagawatapurana. Dikisahkan dalam Mosalaparwa bahwa Samba merupakan kesatria yang takabur; bersama para pemuda Yadawa lainnya, ia mengolok-olok para resi yang mengunjungi Dwaraka, yang akhirnya menyebabkan kehancuran kerajaan tersebut.[1]
साम्ब | |
---|---|
Tokoh Mahabharata dan Bhagawatapurana | |
Nama | Samba |
Ejaan Dewanagari | साम्ब |
Ejaan IAST | Sāmba |
Gelar | pangeran |
Kitab referensi | Bhagawatapurana, Mahabharata |
Asal | Kerajaan Dwaraka |
Kediaman | Dwaraka |
Kasta | kesatria |
Dinasti | Yadu |
Klan | Wresni |
Ayah | Kresna |
Ibu | Jembawati |
Istri | Laksmana (Laksana) |
Kelahiran
Kitab Mahabharata menceritakan kisah kelahiran Samba. Jambawati merasa kurang bahagia karena ia merasa hanya ia yang belum memberikan anak bagi Kresna, sementara istri-istri Kresna lainnya diberkati dengan banyak anak. Ia meminta solusi pada Kresna dan ingin diberikan seorang putra yang tampan seperti Pradyumna, putra pertama dari istri tertua Krishna, Rukmini. Kemudian Kresna pergi ke pertapaan resi Upamanyu di Himalaya dan sesuai saran dari sang resi, ia mulai berdoa pada dewa Siwa. Ia bertapa selama enam bulan dalam berbagai sikap; awalnya dengan memegang sebuah tengkorak dan tongkat, kemudian berdiri di atas satu kaki pada bulan berikutnya dan hanya minum air. Di bulan ketiga ia bertapa dengan berdiri di jari-jari kaki dan tanpa makan-minum. Senang dengan pertapaan Kresna, Siwa akhirnya muncul di hadapan Kresna sebagai Samba (Ardhanariswara), dewa dengan bentuk setengah perempuan, setengah laki-laki, menanyakan anugerah yang diinginkannya. Kresna kemudian meminta seorang putra dari Jambawati dan permintaan itu dikabulkan. Segera setelah itu, lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Samba, bentuk Siwa saat muncul di hadapan Kresna.[2][3]
Pernikahan
Samba jatuh cinta pada putri Duryodana yang bernama Laksmana, dari kalangan dinasti Kuru (Korawa). Untuk menentukan calon suami bagi putrinya, maka Duryodana menyelenggarakan sebuah sayembara. Daripada mengikuti sayembara, Samba memutuskan untuk menculik Laksmana. Setelah penculikan itu diketahui, para Korawa merasa marah. Kemudian para kesatria tangguh dikerahkan, di antaranya Karna, Bisma, Drona. Para Korawa berhasil menangkap Samba, lalu Samba dipenjarakan. Sementara itu para Yadawa bersiap-siap menyerang para Korawa. Karena para Yadawa dan para Korawa memiliki hubungan kerabat, maka Baladewa—salah satu pemimpin para Yadawa—memilih untuk menyelesaikan masalah dengan jalan damai dan secara kekeluargaan. Akhirnya Baladewa pergi ke Hastinapura—pusat pemerintahan para Korawa—agar Samba dibebaskan.
Di Hastinapura, Baladewa disambut para Korawa. Baladewa berkata bahwa Raja Ugrasena—raja para Yadawa di Mathura—meminta agar Samba dibebaskan. Permintaan itu ditolak oleh para Korawa. Mereka berkata bahwa para Yadawa berasal dari golongan yang lebih rendah, dan tidak pantas memerintah para Korawa, bagaikan pelayan memerintah majikannya. Hal itu membuat Baladewa marah. Dengan menggunakan senjata bajak yang selalu dibawanya, ia mengungkit pondasi kota Hastinapura untuk melemparkannya ke sungai Gangga. Setelah menyadari kotanya akan ditenggelamkan, para Korawa segera meminta maaf kepada Baladewa. Kemudian Baladewa meletakkan kota Hastinapura di posisinya semula, namun agak miring. Akhirnya Samba dibebaskan dan pernikahannya dengan Laksmana direstui. Duryodana juga memberikan 60.000 gajah, satu laksa dan 1.200 kuda, 60.000 kereta, dan 1000 pelayan wanita.[4]
Petaka kaum Yadawa
Dalam kitab Mosalaparwa diceritakan bahwa para resi mengunjungi kerajaan Dwaraka, kerajaan para Yadawa. Para resi itu yakni Narada, Kanwa, dan Wiswamitra. Beberapa kesatria berencana mengolok-olok para brahmana tersebut. Samba dihias hingga menyerupai wanita hamil, lalu diarak keliling kota. Saat sampai di hadapan para resi, seorang pemuda berkata bahwa yang diarak tersebut adalah istri Sang Babru yang sedang hamil tua. Akhirnya mereka bertanya apakah bayi yang dilahirkan tersebut berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Dengan kesaktiannya, para resi tahu bahwa yang diarak tersebut bukanlah istri Babru, melainkan Samba putra Kresna. Kemudian mereka berkata bahwa Sang Samba akan mengeluarkan sebuah senjata besi dari perutnya. Senjata tersebut akan menghancurkan kaum Yadawa. Setelah berkata demikian, para resi pun pergi.
Beberapa hari kemudian, Samba mengeluarkan senjata besi dari perutnya. Dibutuhkan usaha keras agar senjata tersebut hancur menjadi debu. Debu tersebut dibuang ke samudra. Namun anehnya, debu tersebut hanyut di tepi pantai dan tumbuh menjadi semacam rumput laut yang tajam. Beberapa waktu kemudian, di tempat yang dekat dengan tempat di mana rumput tersebut tumbuh, kaum Yadawa mengadakan pesta. Dalam pesta tersebut mereka minum minuman keras. Hal itu mengakibatkan mereka mabuk dan berkelahi satu sama lain. Dalam perkelahian tersebut, para putra Kresna tewas, termasuk Samba. Kemudian Kresna melemparkan segenggam rumput eruka sehingga para Yadawa yang ada di sana tewas semua.[5]
Referensi
- ^ Hudson (2008), hlm. 101
- ^ Swami Parmeshwaranand (2004). Encyclopaedia of the Śaivism (dalam bahasa bahasa Inggris). Sarup & Sons. hlm. 62. ISBN 978-81-7625-427-4.
- ^ Vettam Mani (1975). Puranic Encyclopaedia: a Comprehensive Dictionary with Special Reference to the Epic and Puranic Literature. Motilal Banarsidass Publishers. hlm. 342, 677. ISBN 978-0-8426-0822-0.
- ^ "Krishna Book Chapter 67: The Marriage of Samba". Krsnabook.com. Diakses tanggal 2012-08-26.
- ^ "क्या आप जानते हैं, कैसे हुई थी श्रीकृष्ण की मृत्यु". Dainik Jagran. Diakses tanggal 3 July 2020.
Daftar pustaka
- Hudson, D. Dennis (2008). The Body of God: An Emperor's Palace for Krishna in Eighth-Century Kanchipuram. Oxford University Press. ISBN 978-0-199-70902-1.