Bagindo Dahlan Abdullah

pejuang kemerdekaan dan diplomat Indonesia
Revisi sejak 26 Februari 2024 09.46 oleh Jones Sirait (bicara | kontrib) (Penerjemahan Buku Habis Gelap Terbitlah Terang)

Haji Bagindo Dahlan Abdullah (15 Juni 1895 – 12 Mei 1950)[1] adalah seorang pejuang kemerdekaan, diplomat, dan tokoh pendidikan Indonesia. Dahlan yang menjadi ketua Perhimpunan Hindia tahun 2017 saat berusia 22 tahun, merupakan orang Indonesia pertama yang menggunakan kata istilah “Indonesia” dan “Kami Orang Indonesia” (“Wij Indonesier”) sebagai awal konsep Indonesia yang bermakna politis dan merujuk kepada suatu bangsa.[2] Dahlan pertama kalinya mengucapkan kata itu dalam sebuah ceramah publik yang bernuansa politis dalam acara Indisch Studiecongres dalam rangka lustrum perkumpulan mahasiswa Indologi (Indologenvereeniging) di Leiden pada 23 November 1917.

Bagindo Dahlan Abdullah
Duta Besar Indonesia untuk Irak ke-1
Masa jabatan
27 Maret 1950 – 12 Mei 1950
PresidenSoekarno
Sebelum
Pendahulu
Jabatan baru
Pengganti
Tirtawinata
Sebelum
Wakil Pemimpin Pemerintahan Kota Jakarta
Masa jabatan
7 September 1945 – 23 September 1945
GubernurSuwiryo
Pelaksana Tugas Wali Kota Khusus Jakarta
Masa jabatan
Maret 1942 – 8 Agustus 1942
Gubernur JenderalHitoshi Imamura
Sebelum
Pendahulu
E. A. Voorneman (sebagai Burgemeester Batavia)
Pengganti
Sakae Tsukamoto
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir15 Juni 1895
Pasia, Pariaman, Hindia Belanda
Meninggal12 Mei 1950(1950-05-12) (umur 54)
Baghdad, Irak
KebangsaanIndonesia
Suami/istriNafisah (cerai mati), Siti Akmar
AnakArsad (Ajo Tanjuang), Bagindo Jamaluddin Abdullah, Sidhawati Abdullah, Gandasari A. Win, Surniati Salim, Bagindo Taufik Anwar Abdullah, Bagindo Abdul Malik Abdullah, Fatmah Zahra Asmar
Orang tuaAbdullah (ayah) dan "Uniang" (ibu)
AlmamaterUniversitas Leiden
PekerjaanDiplomat
Dikenal karenaPejuang kemerdekaan Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Pasca kemerdekaan, Dahlan Abdullah pernah menjabat sebagai Wakil Pemimpin Pemerintahan Kota Jakarta mendampingi Raden Suwirjo di masa peralihan kekuasaan antara pendudukan Jepang dengan Pemerintah Indonesia dari 7 September 1945 hingga 23 September 1945.[3] Dalam kiprahnya, ia pernah diutus negara untuk menjadi Duta Besar Republik Indonesia Serikat (RIS) untuk Irak, Syria, dan Trans-Jordania.[4]

Ia diangkat sebagai duta besar untuk ketiga negara tersebut oleh Presiden Soekarno pada tahun 1950, dan resmi bertugas sebagai duta besar pada tanggal 27 Maret 1950. Namun Bagindo menjabat duta besar dalam tempo yang amat singkat, kurang dari tiga bulan, karena ia meninggal dunia pada tanggal 12 Mei 1950 akibat serangan jantung yang menimpanya.[4]

Sesuai saran dan nasihat Haji Agus Salim, jenazah Bagindo Dahlan Abdullah kemudian dimakamkan di Baghdad, Irak, dengan upacara kebesaran di Masjid Syekh Abdul Qadir Jailani di kota tersebut. Saran dan nasihat Agus Salim itu bertujuan agar makam Bagindo akan dikenang lama dan menjadi simbol tali persahabatan antara Indonesia dan Irak.[4]

Bagindo Dahlan Abdullah berperan besar dalam dunia pendidikan di Indonesia, antara lain turut mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) yang kelak menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta melalui rapat Masyoemi tahun 1945, bersama dengan tokoh besar lain seperti KH Abdul Wahid, KH Bisri, KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, KH Mas Mansur, KH Hasyim, KH Faried Ma’ruf, KH Abdul Mukti, KH Imam Ghazali, Dr Soekiman Wirjosandjojo, Wondoamiseno, Anwar Cokroaminoto, Harsono Cokroaminoo, Mr. Moch. Roem, dan lainnya.[5] Pendirian Sekolah Tinggi Islam ini sejalan dengan gagasan pribadinya sejak masih tinggal di Belanda, bahwa perguruan tinggi untuk orang Indonesia harus didirikan di Indonesia, bukan di Negeri Belanda.[6]

Diantara karya Dahlan Abdullah lainnya adalah buku "Habis Gelap Terbitlah Terang", kumpulan surat yang ditulis oleh Kartini, dimana Dahlan menjadi penerjemahnya dari versi bahasa Belanda ke bahasa Indonesia untuk pertama kalinya tahun 1922. Dalam versi bahasa Belanda karya yang dibukukan oleh J.H Abendanon, yang menjabat Menteri Kebudayaan, Agama, dan Karajinan Hindia Belanda saat itu diberi judul Door Duisternis Tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Terang", namun oleh Dahlan Abdullah diterjemahkan dengan judul yang terkenal seperti saat ini "Habis Gelap Terbitlah Terang". Selain Dahlan, ikut terlibat dalam penerjamahan buku ini adalah Zainudin Rasad, kemudian pada penerbitan berikutnya dibantu juga oleh Sutan Muhammad Zain, dan Djamaloedin Rasad (mereka disebut Empat Saudara).[7][8]

Referensi

  1. ^ Suryadi, Surya (21 Agustus 2014). "Nasionalisme Seorang Putra Pariaman: Mengenang Kepahlawanan H. Bagindo Dahlan Abdullah (1895-1950)". Leiden: Universitas Leiden. Diakses tanggal 16 Juli 2021. 
  2. ^ R.E. Elson (2009). The Idea of Indonesia : Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. hlm. 23. ISBN 978-979-024-105-3. 
  3. ^ "Jakarta, 1945–kini". Interaktif Kompas.id. Diakses tanggal 7 Januari 2022. 
  4. ^ a b c "H. Bgd. Dahlan Abdullah: Nasionalisme seorang Putra Pariaman" Goodreads. Diakses 10-6-2014.
  5. ^ "Peneliti Belanda Akan Paparkan Perjuangan Baginda Dahlan Abdullah". SINDOnews Nasional. Diakses tanggal 2024-02-25. 
  6. ^ Chaniago,Hasril;Nopriyasman;Abdullah,Iqbal Alan (2020). Baginda Dahlan Abdullah: Bapak Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 279. ISBN 9786024339074. 
  7. ^ Fillah, Efa (2008). Kartini menemukan Tuhan: analisis wacana surat-surat R.A. Kartini tahun 1899-1904. Media Wacana Press. ISBN 978-979-18512-0-6. 
  8. ^ Chaniago,Hasril;Nopriyasman;Abdullah,Iqbal Alan (2020). Baginda Dahlan Abdullah: Bapak Kebangsaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 167–174. ISBN 9786024339074. 

Pranala luar

Jabatan diplomatik
Jabatan baru Duta Besar Indonesia untuk Irak
1950
Diteruskan oleh:
Tirtawinata