Saya berhak atas pendapat saya

Revisi sejak 27 Februari 2024 09.25 oleh Ekadiwiki (bicara | kontrib) (membuat baru)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Saya berhak atas pendapat saya atau saya mempunyai hak atas pendapat saya merupakan salah satu bahasan yang seringkali memperoleh perdebatan karena dianggap sebagai jawaban yang mengandung kesesatan berpikir. Kalimat tersebut dilontarkan ketika seseorang tidak lagi mampu memberi argumen untuk mempertahankan pendiriannya. Dalam bahasan logika, keadaan ini disebut the red herring fallacy yakni kesesatan berpikir dengan memberi argumen yang mengalihkan perhatian agar jauh dari inti bahasan. Tujuannya ialah agar membuyarkan pikiran.[1]

Kita berhak atas klaim kita untuk menyukai atau tidak tentang sesuatu. Semua itu adalah pilihan dan tentu akan ada pihak lain yang berseberangan pikir. Kekeliruannya ialah alur logika dalam memberi alasan itu tidak relevan dan tidak mengandung bukti. Semua didasarkan pada perasaan. Kalimat saya berhak atas pendapat saya menunjukan bahwa tidak membuka opsi untuk menggali alasan lebih jauh. Ini bahkan disajikan sebagai "mari kita sepakat untuk tidak setuju".

Hak setiap orang berpendapat ini pun tidak berkorelasi dengan kenyataan mengenai benar tidaknya suatu pernyataan. Ketika ada keberatan terhadap suatu keyakinan atau argumen, mengeluarkan jawaban bahwa "saya berhak untuk berpendapat" hanya akan mengesampingkan langkah-langkah diskusi yang bisa dilakukan. Akan lebih baik jika berupaya bertahan dengan memperkuat argumentasi atau memberi bantahan yang merobohkan keabsahan dari argumen lawan secara logis.

Pertentangan

Kalimat "saya berhak atas pendapat saya" dalam diskusi mengenai preferensi memang diperbolehkan karena menyangkut kebebasan seseorang. Tetapi menurut pandangan Filsuf Patrick Stokes bahwa ungkapan tersebut problematis karena sering digunakan untuk mempertahankan posisi yang secara faktual tidak dapat dipertahankan atau untuk menyiratkan "hak yang sama untuk diadili mengenai suatu masalah di mana hanya salah satu dari dua pihak yang memiliki keahlian yang relevan".[2]

Menguraikan lebih lanjut argumen Stokes, filsuf David Godden berpendapat bahwa klaim bahwa seseorang berhak atas suatu pandangan menimbulkan kewajiban tertentu, seperti kewajiban untuk memberikan alasan atas pandangan tersebut dan mengajukan alasan tersebut untuk ditentang; Godden menyebutnya sebagai prinsip hak rasional dan tanggung jawab rasional, dan dia mengembangkan latihan di kelas untuk mengajarkan prinsip-prinsip ini.[3]

Filsuf José Ortega y Gasset menulis dalam bukunya tahun 1930 The Revolt of the Masses meyatakan:

Spesies Fasis dan Sindikalis dicirikan oleh kemunculan pertama tipe manusia yang "acuh dalam memberikan alasan", tetapi bertekad untuk memaksakan pendapatnya. Ia mencipatakan hak untuk tidak menjadi benar, tidak masuk akal.[4]

Referensi

  1. ^ "Fallacies (Bagian 2)". School of Information Systems. Diakses tanggal 2024-02-27. 
  2. ^ Stokes, Patrick (2012-10-04). "No, you're not entitled to your opinion". The Conversation (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-02-27. 
  3. ^ Godden, David (2014-02-27). "Teaching Rational Entitlement and Responsibility: A Socratic Exercise". Informal Logic (dalam bahasa Inggris). 34 (1): 124–151. doi:10.22329/il.v34i1.3882. ISSN 2293-734X. 
  4. ^ Ortega y Gasset, José; Kerrigan, Anthony; Bellow, Saul (1985). Moore, Kenneth, ed. The revolt of the masses. Notre Dame, Indiana: University of Notre Dame Press. ISBN 978-0-268-01609-8.