Kepayang
Kepayang | |
---|---|
Habitus tumbuhan | |
Klasifikasi ilmiah | |
Kerajaan: | |
Divisi: | |
Kelas: | |
Ordo: | |
Famili: | |
Genus: | Pangium Reinw.
|
Spesies: | P. edule
|
Nama binomial | |
Pangium edule |
Kepayang atau pangi (Pangium edule Reinw. ex Blume; suku Achariaceae) adalah tumbuhan pohon yang tumbuh liar atau ditanam di pekarangan, yang menghasilkan bahan bumbu masak yang dikenal sebagai keluak. Penggunaan keluak cukup luas dalam masakan Nusantara dan memberi warna cokelat kehitaman, seperti rawon, brongkos, gabus picung, daging bumbu keluak, serta sup konro. Warna keluak dapat digunakan sebagai pengganti pewarna sintetis Chocolate Brown FH dan Chocolate Brown HT.[butuh rujukan] Biji keluak mengandung racun sianogenik yang dapat memabukkan, bahkan fatal (mematikan) bagi manusia.
Nama
Kepayang adalah nama yang dikenal oleh kebanyakan bahasa di Sumatera. Orang Minangkabau menyebutnya simanguang. Orang Sunda menyebutnya picung atau pucung, orang Jawa menyebutnya pucung dan bumbu yang dihasilannya disebut kluwak, atau kluwek,[1]. Orang Toraja menyebutnya pamarrasan, dan bahasa Minahasa menyebutnya pangi. Nama pangi juga dipakai di Filipina dan dipakai juga dalam bahasa Inggris.
Pertelaan
Kepayang berupa pohon tumbuhan hijau abadi tahunan berukuran sedang hingga besar, dengan tinggi 18 sampai 40 m, yang memiliki banyak cabang.[1] Diameter batang mencapai 1 m, dan dapat memiliki akar penopang. Tajuk pohon kepayang lebat, dengan ranting yang mudah dipatahkan. Ranting muda pohon kepayang tersusun rapat dan memiliki rambut berwarna coklat yang akan gugur jika ranting menua.[2]
Daun kepayang tumbuh berkelompok di bagian ujung ranting dalam pola spiral. Tangkai daun panjang, dengan helaian daun berlekuk tiga pada pohon muda dan bundar telur melebar pada pohon tua. Permukaan bagian atas daun gundul dan berwarna hijau mengilat, permukaan bagian bawah memiliki rambut berwarna cokelat, dan tulang daun menonjol. Daun memiliki panjang 15–25 cm.
Pohon kepayang berkelamin tunggal sehingga jenis ini tergolong sebagai tumbuhan dioecious (berumah dua, satu pohon hanya menghasilkan bunga jantan saja atau betina saja). Pohon akan mulai berbunga setelah sekitar 15 tahun. Pohon betina memiliki bunga yang tumbuh secara soliter dengan 5–6 kelopak mahkota bunga dengan staminode di antara satu kelopak dengan kelopak lainnya, 2–3 lobus kelopak, ovarium berbentuk bulat telur, 2–4 plasenta, dan banyak memiliki ovula dan stigma yang duduk (sesil). Bunga jantan juga memiliki 5–6 kelopak mahkota bunga dan 2–3 lobus kelopak, namun tumbuh dalam kelompok-kelompok dan memiliki banyak stamen. Pohon jantan, selain memiliki bunga jantan, juga dapat memiliki bunga hermafrodit. Semua bunga memiliki lebar sekitar 5 cm dan berwarna cokelat kehijauan. Bunga tumbuh pada ketiak daun atau pada ujung ranting.
Buah kepayang berbentuk seperti bola sepak, memiliki permukaan kasar berwarna cokelat, dan umumnya memiliki panjang 15–30 cm. Ketebalan buah sekitar setengah dari panjangnya, dengan daging buah lunak dan berwarna putih krem hingga kuning pucat. Massa buah dapat mencapai 1 kg lebih, dan setiap buah dapat berisi 1–18 biji kepayang.
Biji kepayang berbentuk bulat telur gepeng dan berwarna keabu-abuan. Cangkang biji tebal dan keras, dengan urat-urat menonjol. Biji memiliki panjang 5 cm.
Pemanfaatan
Keluak
Keluak adalah biji kepayang yang telah diproses dan dimanfaatkan isinya. Biji ini memiliki salut (aril) yang tinggi kandungan glikosida sianogenik. Glikosida sianogenik juga ditemukan pada daun, kulit batang, dan biji tanaman kepayang.[3] Senyawa ini yang dapat dengan cepat terhidrolisis menjadi gula, aldehida/keton, dan asam sianida,[4] sehingga dapat memabukkan dan mematikan apabila termakan. Racun pada biji kepayang ini dapat digunakan sebagai racun untuk mata panah. Bijinya aman diolah untuk makanan bila telah direbus dan direndam air terlebih dahulu. Untuk memunculkan warna hitam yang khas, biji yang telah direbus dan direndam akan dipendam dalam tanah (setelah dibungkus daun pisang) selama beberapa minggu.
Di samping glikosida sianogenik, terdapat pula beberapa zat lain yang tergandung dalam keluak, seperti asam hidrokarpat, asam khaulmograt, asam glorat, dan tanin.[5]Kayu tanaman ini juga bernilai ekonomi, dengan berat jenis 450 – 1000 kg/m3.
Ungkapan "mabuk kepayang" dalam bahasa Melayu maupun bahasa Indonesia digunakan untuk menggambarkan keadaan seseorang yang sedang jatuh cinta sehingga tidak mampu berpikir secara logis, seakan-akan habis memakan kepayang.[6][7]
Pemanfaatan keluak diambil dari isi cangkang biki yang keras yang berwarna hitam (setelah diolah). Penemuan arkeologi di Gua Niah, Sarawak, menunjukkan bahwa di masa Pleistosen akhir, manusia telah menguasai teknologi sederhana pemunah racun keluak dengan memasukkannya pada lubang-lubang[8]
Pranala luar
Referensi
- ^ a b Lim, T. K. (2013). Lim, T. K., ed. Pangium edule (dalam bahasa Inggris). Dordrecht: Springer Netherlands. hlm. 780–784. doi:10.1007/978-94-007-5653-3_42. ISBN 978-94-007-5653-3.
- ^ Partomihardjo, T.; Rugayah (1989). "Pangium edule, an Almost Forgotten Plant and Its Potential". Media Konservasi (dalam bahasa Inggris). 2 (2). doi:10.29244/medkon.2.2.%p. ISSN 2502-6313.
- ^ Chye, Fook Yee; Sim, Kheng Yuen (2009). "Antioxidative and Antibacterial Activities of *Pangium edule* Seed Extracts". International Journal of Pharmacology. 5 (5): 285–297. doi:https://dx.doi.org/10.3923/ijp.2009.285.297 Periksa nilai
|doi=
(bantuan). - ^ Gleadow, Roslyn M.; Woodrow, Ian E. (2002-07-01). "Mini-Review: Constraints on Effectiveness of Cyanogenic Glycosides in Herbivore Defense". Journal of Chemical Ecology (dalam bahasa Inggris). 28 (7): 1301–1313. doi:10.1023/A:1016298100201. ISSN 1573-1561.
- ^ https://journal.unpak.ac.id/index.php/ekologia/article/view/806/690
- ^ "Asal-usul Ungkapan 'Mabuk Kepayang', Ternyata dari Nama Buah". Okezone.com. 2018-07-01. Diakses tanggal 2022-08-18.
- ^ Liputan6.com (2021-10-22). Mutiah, Dinny, ed. "6 Fakta Menarik Kepahiang yang Diyakini Asal Munculnya Sebutan Mabuk Kepayang". Liputan6.com. Diakses tanggal 2022-08-18.
- ^ Piper, Philip J. (26 Nov 2015). "Human cultural, technological and adaptive changes from the end of the Pleistocene to the mid-Holocene in Southeast Asia.". Dalam Oxenham, Marc; Buckley, Hallie R. The Routledge Handbook of Bioarchaeology in Southeast Asia and the Pacific Islands. Routledge. hlm. 24–44.