Misinformasi pemotongan kelamin

Revisi sejak 16 Maret 2024 15.20 oleh Susi Gustiana11 (bicara | kontrib) (isi artikel)

Misinformasi Pemotongan Kelamin adalah upaya menyajikan informasi seputar mitos dan fakta terkait pemotongan kelamin ditinjau dari berbagai perspektif. Misinformasi yaitu informasi keliru tetapi orang yang menyebarkan percaya bahwa informasi itu benar. Pemotongan alat kelamin mencakup semua prosedur yang melibatkan pengangkatan sebagian atau seluruh alat kelamin bagian luar, atau perlukaan lain pada alat kelamin karena alasan non-medis.[1]

Faktanya, pemotongan alat kelamin pada masa kanak-kanak biasanya tidak hanya dibagi menjadi dua, tetapi tiga kategori terpisah: Pemotongan Genitalia untuk perempuan; “sunat” untuk laki-laki; dan operasi “normalisasi alat kelamin” untuk anak-anak interseks – mereka yang lahir dengan alat kelamin yang ambigu atau karakteristik jenis kelamin campuran.[2]

Bagi perempuan, praktik pemotongan kelamin ini lazim disebut Perlukaan dan Pemotongan Genitalia Perempuan (P2GP) atau Female Genital Mutilation disingkat FGM (dalam bahasa Inggris: ), juga dikenal sebagai mutilasi kelamin perempuan, sunat perempuan, dan khitan perempuan.

Menurut WHO, pemotongan alat kelamin perempuan bukan hanya pelanggaran hak asasi manusia. Ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat. Dari sisi kesehatan, dampak P2GP dapat menimbulkan komplikasi kesehatan reproduksi khususnya membahayakan rahim termasuk infertilitas, masalah urinary, seksual dan masalah psikologis.

P2GP tidak ada manfaatnya kecuali melukai klitoris dan merusak sejumlah syaraf septic yang ada di ujung klitoris, yang berisiko pada infeksi saluran kemih, dan perdarahan yang berbahaya bahkan hingga kematian.

Pemotongan dapat mengakibatkan masalah fisik seperti infeksi, kemandulan dan nyeri saat berhubungan seks dan melahirkan, serta masalah psikologis seperti kecemasan, depresi dan gangguan stres pasca-trauma (PTSD).

WHO memperkirakan sekitar 100-140 juta perempuan dan anak perempuan di dunia mengalami sunat perempuan (WHO, 2008), termasuk di dalamnya Indonesia. Riskesdas (2013), menyebutkan bahwa praktik P2GP terjadi pada anak perempuan umur 0-11 tahun sebesar 51,2 persen, dengan umur waktu disunat tertinggi ketika umur 1-5 bulan (72,4%), usia 1-4 tahun (13,9%), dan 5-11 tahun (3,3%). P2GP terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, di perkotaan sebesar 55,8 persen, lebih tinggi dari pada di perdesaan (46,9%).

Praktik sirkumsisi atau P2GP di Indonesia dianggap sebagai kewajiban agama yang harus dilakukan dan telah menjadi tradisi turun temurun yang sulit dihilangkan. Pernyataan tersebut merujuk pada hasil survei PSKK UGM 2017 bertajuk Pemotongan/Perlukaan Genitalia Perempuan (P2GP) Persimpangan antara Tradisi dan Modernitas.

Hasil survei PSKK UGM tersebut menunjukkan, sebagian besar P2GP dilakukan oleh dukun bayi (45 persen), bidan/perawat/mantri (38 persen), dukun sunat perempuan (10 persen), dan dokter (1 persen). Hasil survei PSKK juga menyebutkan, 84,6 persen dukun bayi melakukan sunat perempuan menggunakan pisau, kater, atau silet; 3,9 persen menggunakan gunting; dan 7,7 persen menggunakan jarum.[3]

Beberapa budaya percaya bahwa memotong kelamin anak perempuan akan mengurangi hasrat seksual mereka, sehingga mencegah hubungan seks pranikah dan di luar nikah. Sedangkan pendapat lain melihat ritual itu sebagai inisiasi menuju kewanitaan. Ada juga yang percaya dengan keliru bahwa agama mereka mewajibkan hal tersebut.

Lebih lanjut, ada resiko yang harus dihadapi bagi orangtua jika menolak praktik P2GP ini. Selain seluruh keluarga besar akan terus menekan, anak perempuan yang tidak dikhitan boleh jadi akan menerima stigma sebagai bukan perempuan baik-baik. Hal itu diperparah dengan dogma agama yang keliru.[4]

Kongres Ulama Perempuan

Tipe-Tipe Sunat Perempuan

Terdapat empat tipe sunat perempuan yang dikelompokkan Komnas Perempuan[5]. Tipe 1 adalah eksisi dari preputium dengan atau tanpa eksisi sebagian atau seluruh klitoris. Tipe 2 yakni eksisi preputium dan klitoris bersamaan dengan eksisi total labia minora. Tipe 3 merujuk pada eksisi sebagian atau seluruh eksternal alat kelamin dengan membuka jahitan dari vagina (infibulasi). Sementara itu, tipe terakhir yaitu tipe 4, yang termasuk berbagai macam prosedur lain yang melukai kelamin perempuan termasuk menusuk, menyayat, menggores, menggesek klitoris atau memasukkan tumbuh-tumbuhan ke dalam vagina untuk tujuan nonmedis. Kajian kualitatif yang dilakukan Komnas Perempuan pada 2019 menyatakan, praktik P2GP ini merupakan praktik yang membahayakan perempuan dan merupakan tindakan kekerasan terhadap perempuan.

Referensi

  1. ^ "Female genital mutilation". WHO. 5 Februari 2024. Diakses tanggal 16 Maret 2024. 
  2. ^ "How different are female, male and intersex genital cutting?". The Conversation. 15 Mei 2017. Diakses tanggal 16 Maret 2024. 
  3. ^ "PSKK UGM Membedah Mitos dan Fakta tentang Sunat Perempuan". PSKK UGM. 06 Februari 2020. Diakses tanggal 16 Maret 2024. 
  4. ^ Harahap, Devi (16 Februari 2024). "Sunat Perempuan Adalah Diskriminasi dan Kekerasan". Media Indonesia. Diakses tanggal 16 Maret 2024. 
  5. ^ "Praktik sunat perempuan diantara mitos minimnya akses edukasi". Tirto.id. 28 September 2023. Diakses tanggal 15 Maret 2024.