Kehamilan remaja

Revisi sejak 23 Maret 2024 09.02 oleh Regina Jawa (bicara | kontrib) (Menyunting artikel)

Kehamilan remaja adalah kehamilan yang terjadi pada perempuan dibawah usia 18 tahun pada waktu kehamilannya berakhir. Usia tersebut didasarkan pada UU Perlindungan anak yang terbaru. Berdasarkan usia tersebut usia remaja adalah usia 10-18 tahun. Seorang perempuan (remaja) dapat hamil karena melakukan hubungan seksual setelah ia mulai ovulasi yang dapat terjadi sebelum periode menstrual pertama (menarche), tetapi biasanya terjadi setelah periode-periode tersebut.

Kehamilan remaja
Sebuah poster pemerintah AS tentang Kehamilan remaja. Lebih dari 1100 remaja, yang kebanyakan berusia 18 atau 19 tahun,[1] melahirkan setiap hari di Amerika Serikat.
Informasi umum
SpesialisasiObstetrik

Kehamilan remaja tergolong dalam faktor kehamilan yang berisiko. Menurut Widiatiningsih dan Dewi (2017), perempuan hamil pertama di usia kurang dari 20 tahun memiliki organ rahim dan panggul yang belum tumbuh mencapai ukuran dewasa. Usia remaja juga memiliki risiko medis yang tinggi karena alat reproduksi belum cukup matang untuk melakukan fungsinya.

Kehamilan pada usia remaja lekat pula dengan perkawinan yang terjadi pada usia remaja. Sekitar 2,52 persen remaja di Indonesia melakukan pernikahan sebelum usia mencapai 16 tahun. Dari setiap 100 remaja perempuan, sekitar enam di antaranya telah mengalami proses persalinan sebelum usia 20 tahun.[2]

Setiap tahun, sekitar 21 juta remaja perempuan berusia 15-19 tahun di wilayah berkembang mengalami kehamilan, termasuk sekitar 10 juta kehamilan yang tidak diinginkan, dan sekitar 12 juta di antaranya melahirkan. Sekitar 777.000 kelahiran terjadi pada remaja perempuan di bawah usia 15 tahun, dengan jumlah kelahiran terbesar tercatat di Asia Timur (95.153) dan Afrika Barat (70.423) (WHO, 2020).

Dampak

Tidak hanya memberikan dampak secara fisik, kehamilan pada usia remaja juga berisiko terjadi implikasi psikologis dan sosial yang signifikan. Remaja yang mengalami kehamilan, terutama yang belum menikah, sering kali menghadapi berbagai konsekuensi sosial, termasuk stigma, penolakan, atau bahkan kekerasan dari pasangan, orang tua, tetangga, dan teman sebaya, yang juga dapat menyebabkan terputusnya pendidikan remaja tersebut (WHO, 2020).

Selain berdampak pada kesehatan ibu, kehamilan pada usia remaja juga memiliki konsekuensi yang berat bagi bayinya. Risiko-risiko seperti berat badan lahir rendah (BBLR), persalinan prematur, komplikasi intrapartum (seperti asfiksia atau kesulitan bernapas saat lahir), infeksi, cacat lahir, dan bahkan kematian neonatal, lebih mungkin terjadi pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang berusia di bawah 20 tahun (BKKBN, 2017). Selain itu, kejadian stunting pada anak juga merupakan dampak tidak langsung dari kehamilan pada usia remaja. Hal ini berkaitan dengan risiko BBLR yang lebih tinggi, dimana balita yang mengalami stunting memiliki kemungkinan mengalami BBLR empat kali lebih besar dibandingkan dengan balita yang tidak mengalami stunting.

Faktor Penyebab

Fenomena kehamilan remaja disebabkan oleh berbagai faktor yang saling terkait dengan perilaku dan status sosial di masyarakat. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya kehamilan remaja meliputi perilaku seksual berisiko yang tinggi, pernikahan pada usia remaja, rendahnya tingkat pendidikan dalam masyarakat, kondisi ekonomi, pola asuh orang tua, pengaruh dari teman sebaya, dan faktor penggunaan kontrasepsi.[3]

Perilaku seksual berisiko seringkali menjadi pemicu utama kehamilan pada usia remaja. Faktor-faktor seperti kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, minimnya akses terhadap layanan kesehatan seksual, serta kurangnya pemahaman tentang kontrasepsi, dapat menyebabkan perilaku seksual yang tidak aman di kalangan remaja.

Selain itu, perkawinan pada usia remaja juga merupakan faktor yang signifikan dalam terjadinya kehamilan remaja. Banyak remaja yang menikah pada usia yang sangat muda, tanpa kesiapan fisik maupun mental untuk menghadapi tanggung jawab sebagai pasangan suami istri dan sebagai orangtua.

Rendahnya tingkat pendidikan di masyarakat juga turut berperan dalam meningkatkan risiko kehamilan remaja. Kurangnya akses terhadap pendidikan formal seringkali menyebabkan kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan kurangnya kesadaran akan pentingnya merencanakan kehamilan.

Faktor ekonomi juga memiliki dampak yang signifikan. Keluarga dengan kondisi ekonomi yang sulit seringkali mengalami kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan reproduksi, termasuk layanan kontrasepsi yang efektif. Hal ini dapat meningkatkan risiko terjadinya kehamilan tidak direncanakan.

Selain faktor-faktor di atas, pola asuh orang tua dan pengaruh dari teman sebaya juga turut berperan dalam membentuk perilaku remaja terkait dengan seksualitas dan kontrasepsi. Orang tua yang kurang memberikan pendidikan seksual yang komprehensif atau tidak memberikan dukungan yang cukup dalam mengakses layanan kesehatan reproduksi dapat meningkatkan risiko kehamilan remaja. Sementara itu, pengaruh dari teman sebaya dapat memengaruhi keputusan remaja terkait dengan perilaku seksual dan penggunaan kontrasepsi.

Prevalensi

 
Tingkat kelahiran remaja per 1,000 perempuan yang berusia 15–19 tahun, 2000–2009[4]

Asia

Tingkat pernikahan awal dan kehamilan di beberapa negara Asia berperingkat tinggi. Namun, di negara-negara Asia yang diindustrialisasikan seperti Korea Selatan dan Singapura, tingkat kelahiran remaja masih menjadi salah satu yang terendah di dunia.[5]

Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun tingkat pernikahan awal dan kehamilan di beberapa negara Asia dapat tinggi, tetapi di negara-negara yang telah mengalami industrialisasi dan modernisasi yang signifikan, kehamilan pada usia remaja tidak lagi menjadi isu yang dominan.

Ada beberapa faktor yang dapat menjelaskan perbedaan ini. Pertama, faktor ekonomi. Negara-negara yang lebih maju secara ekonomi cenderung memiliki akses yang lebih baik terhadap pendidikan dan layanan kesehatan reproduksi, serta lebih banyak kesempatan untuk mengejar karier atau pendidikan lanjutan sebelum memutuskan untuk menikah dan memiliki anak.

Kedua, pendidikan juga memainkan peran penting dalam mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat terkait dengan kehamilan remaja. Program pendidikan seksual yang komprehensif dan informasi yang mudah diakses tentang kontrasepsi dapat membantu remaja membuat keputusan yang lebih baik tentang kesehatan reproduksi mereka.

Tidak dapat diabaikan pula dampak dari kebijakan pemerintah dalam mengatasi masalah kehamilan remaja. Negara-negara seperti Korea Selatan dan Singapura telah melaksanakan program-program pemerintah yang mendukung pendidikan seksual, akses terhadap kontrasepsi, dan dukungan bagi remaja yang menghadapi situasi kehamilan yang tidak diinginkan.

Sejarah

Kehamilan remaja dianggap normal pada abad-abad lampau, dan umum terjadi di negara-negara berkembang pada abad ke-20. Beberapa wanita Norwegia yang lahir pada awal 1950an, sekitar seperempatnya menjadi ibu remaja pada awal 1970an.[6][7][butuh rujukan]

Sebelum abad ke-20

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Hamilton, Brady E. and Ventura, Stephanie J. (10 April 2012). "Birth Rates for U.S. Teenagers Reach Historic Lows for All Age and Ethnic Groups". Pusat Kontrol dan Prevensi Penyakit. Diakses tanggal 18 April 2012. 
  2. ^ Ningrum, Desy Nurrista; Gumiarti, Gumiarti; Toyibah, Afnani (2021-12-29). "Literature Review Faktor Kehamilan Remaja". Media Kesehatan Politeknik Kesehatan Makassar (dalam bahasa Inggris). 16 (2): 362–368. ISSN 2549-0567. 
  3. ^ Ningrum, Desy Nurrista; Gumiarti, Gumiarti; Toyibah, Afnani (2021-12-29). "Literature Review Faktor Kehamilan Remaja". Media Kesehatan Politeknik Kesehatan Makassar (dalam bahasa Inggris). 16 (2): 362–368. ISSN 2549-0567. 
  4. ^ Live births by age of mother and sex of child, general and age-specific fertility rates: latest available year, 2000–2009 — Divisi Statistik Perserikatan Bangsa-Bangsa – Demografi dan Statistik Sosial
  5. ^ Mehta, Suman; Groenen, Riet; Roque, Francisco (1998). "Adolescents in Changing Times: Issues and Perspectives for Adolescent Reproductive Health in The ESCAP Region". Komisi Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Asia dan Pasifik. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-02-11. Diakses tanggal 7 Juli 2006. 
  6. ^ "Trends in first childbirth". www.demographic-research.org. Diakses tanggal 2022-06-05. 
  7. ^ Kravdal, Øystein (2021-07-23). "Sex Differences in Childlessness in Norway: Identification of Underlying Demographic Drivers". European Journal of Population = Revue Européenne de Démographie. 37 (4-5): 1023–1041. doi:10.1007/s10680-021-09590-4. ISSN 0168-6577. PMC 8575743  Periksa nilai |pmc= (bantuan). PMID 34786005 Periksa nilai |pmid= (bantuan). 
  8. ^ Durant, Will. "King Charlemagne." Diarsipkan 2011-12-24 di Wayback Machine. History of Civilization, Vol III, The Age of Faith. Online version in the Knighthood, Tournaments & Chivalry Resource Library, Ed. Brian R. Price.
  9. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-11-26. Diakses tanggal 2015-11-27. 

Bacaan tambahan

Pranala luar