Totopong / Iket Sunda
Totopong / Iket Sunda adalah pakaian adat khas Sunda yang mayoritas digunakan di kepala pria yang umumnya sudah masuk usia akil baligh. Totopong sendiri mempunyai beberapa jenis dan fungsi yang berkaitan dengan penampilan suatu karya atau pakaian sehari-hari. [1][2]. Iket sendiri terbuat dari kain yang memiliki motif batik atau warna polos hitam dan putih. Bentuk dari iket sendiri biasanya berbentuk segitiga ataupun kotak yang dilipat lalu diikat di kepala sehingga menutupi sebagian atau semua rambut di kepala. Pada jaman sekarang, iket ada yang sudah dimodifikasi agar lebih mudah digunakan, iket dibentuk seperti peci dan digunakan tanpa perlu diikat seperti iket tradisional.
Iket dikenal sudah berasal dari masa dahulu, dalam naskah sunda Kuno yaitu Carita Parahyangan tertulis : "Sang Resi Guru ngagisik tipulung jadi jajalang bodas, leumpang ngahusir Rahyang Sempakwaja, eukeur melit" yang artinya (Resi guru menggesekan ikat kepalanya dengan kedua tangannya menjadi jalalang putih, lalu pergi menuju Rahyang Sempakwaja yang sedang membuat atap). Berdasarkan kutipan di atas, terlihat bahwa pada jaman dahulu iket sudah melekat pada kehidupan manusia Sunda. Dan pada sumber lain mengatakan bahwa pada zaman Majapahit tahun 669 masehi, setiap tahunnya dari Galuh ke Pakuan sering membawa tipulung, boeh putih, boeh wulung, boeh beureum dan beubeur [3]. Dalam sumber tersebut pula, dapat disimpulkan bahwa iket atau totopong jaman dahulu tidak memiliki motif batik seperti yang ada pada masa sekarang. Boeh atau sendiri diartikan sebagai kain yang berwarna putih, hitam, atau merah. Dalam kamus besar bahasa Sunda, boeh sendiri berarti kain putih yang terbuat dari kapas. Sedangkan pada zaman sekarang, boeh sendiri mengalami penyempitan makna menjadi kain kafan yang digunakan sebagai pembungkus mayat sebelum dikuburkan.
Iket sendiri biasanya digunakan berdampingan dengan pakaian adat lainnya seperti baju kampret dan celana pangsi. Penyebutan iket sendiri dalam berbagai macam masyarakat Sunda memiliki nama yang berbeda beda, seperti totopong di daerah Ciamis. Namun, kata iket sendiri lebih dikenal dan lebih sering digunakan oleh mayoritas masyarakat Sunda. Iket sendiri telah menjadi bentuk dari kearifan lokal yang berasal dari kerajaan Sunda zaman dahulu. Namun, ikat kepala bukan berasal dari Sunda saja, tapi ada beberapa daerah lainnya di indonesia yang memiliki ikat kepala sebagai salah satu pelengkap pakaian adat mereka. Contohnya ada udheng yang berasal dari Bali dan Blangkon yang berasal tanah Jawa, tiap tiap ikat kepala termasuk iket memiliki ciri khas dan telah menjadi ikon bagi budayanya masing-masing.
Secara filosofis, masyarakat Sunda mempercayai bahwa iket atau totopong memiliki beberapa fungsi atau nilai filosofis diantaranya: a. Mengikat hawa nafsu. b. Bentuk representasi dari estetika budaya Sunda. c. Iket yang berbentuk segi empat melambangkan 4 arah yaitu utara, selatan, barat, dan timur, lalu ditutup dengan 5 pancar yang berada pada tengah-tengah bentuk segi empat tersebut. d. Tiga tahapan memahami dan mendalami makna filosofi dari iket itu sendiri yaitu Kataji (tertatik), kasungsi (memakai), dan kaharti (memahami). untuk poin keempat ini hanya dapat dipahami dan dicapai oleh pribadi masing-masing.
Pada masa sekarang ini, iket atau totopong dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk atau jenis. 1. Totopong/iket bihari Totopong atau iket ini adalah jenis iket yang paling tua dan menjadi jati diri khas masyarakat Sunda. Jenis totopong/iket ini biasanya digunakan oleh masyarakat adat Sunda atau tokoh-tokoh kesundaan lainnya. Cara penggunaan dari iket memiliki beberapa cara yang biasanya cara penggunaannya ditentukan untuk sebuah maksud tertentu.
2. Totopong/iket kiwari Totopong/iket ini adalah bentuk modifikasi dari iket sebelumnya, iket ini diciptakan oleh para budayawan dan seniman yang dilakukan tahun 2000-an. Iket jenis ini dimaksudkan agar menambah kesan estetika dari iket itu sendiri yang sebelumnya terasa polos dan monoton.
3. Totopong/iket praktis Totopong ini bentuk modifikasi dari iket-iket sebelumnya yang tujuannya untuk menambah kepraktisan dalam memakainya. modifikasi yang terlihat jelas adalah adanya jahitan-jahitan sehingga membentuk pola atau bentuk tertentu sehingga mudah digunakan.
4. Totopong/iket Wanoja Totopong jenis ini mulai lahir tahun 2011 yang dikenalkan oleh komunitas iket Sunda untuk digunakan wanita dan berbentuk feminis.
Selain keempat jenis iket yang sudah disebutkan, ada beberapa jenis iket lainnya yang biasanya digunakan untuk keperluan pementasan. Iket-iket tersebut biasanya dijadikan icon atau ciri khas yang berkaitan dengan suatu pertunjukan atau acara tertentu.
Referensi
- ^ Pradana, R. S (2021). "Perancangan Informasi Artefak Budaya Totopong Tradisional Buhun Melalui Media Video Motion Graphic".
- ^ Distia Puspitasari (2013). "PERGESERAN MAKNA PENGGUNAAN IKET SUNDA DALAM KOMUNITAS IKET SUNDA DI KOTA BANDUNG".
- ^ Pradana, R. S (2021). "PERGESERAN MAKNA PENGGUNAAN IKET SUNDA DALAM KOMUNITAS IKET SUNDA DI KOTA BANDUNG".