Suku Bali Aga

etnis pribumi pulau Bali

Bali Aga atau Bali Mula adalah sub-suku Bali yang dianggap sebagai penduduk asli Bali. Dari sisi linguistik mereka adalah orang Austronesia, sama seperti kelompok etnis lainnya di Kepulauan Sunda Kecil bagian barat. Saat ini, sebagian besar dari mereka mendiami bagian timur pulau Bali, terutama di Bangli, Buleleng, dan Karangasem. Mereka juga dapat ditemukan di wilayah barat laut dan tengah. Masyarakat Bali Aga yang disebut sebagai Bali Pergunungan adalah mereka yang bertempat tinggal di desa Terunyan. Bagi masyarakat Terunyan, istilah Bali Aga (Bali Pegunungan) dianggap sebagai penghinaan dengan tambahan arti "orang gunung yang bodoh"; oleh karena itu, mereka lebih memilih istilah Bali Mula (secara harfiah 'penduduk asli Bali') sebagai gantinya.[1]

Bali Aga
ᬩᬮᬶᬓᬂᬢᬼ (Bali Aga)
ᬩᬮᬶᬓᬢᬽᬓᬃ (Bali Mula)
Seorang pria suku Bali Aga.
Daerah dengan populasi signifikan
 Indonesia (Bangli, Buleleng, dan Karangasem)
Bahasa
Bali (dialek Bali Aga) dan Indonesia
Agama
Hinduisme Bali
Kelompok etnik terkait
Bali (Nak Nusé • Bali Majapahit)

Asal-usul

Penduduk asli Bali konon berasal dari desa Bedulu jauh sebelum gelombang imigrasi orang Hindu-Jawa. Legenda itu adalah, hiduplah raja terakhir Pejeng (kerajaan Bali kuno), Sri Aji Asura Bumibanten, yang mempunyai kesaktian.[2] Dia bisa memotong kepalanya tanpa merasakan sakit dan memasangnya kembali. Namun suatu hari, kepalanya secara tidak sengaja jatuh ke sungai dan hanyut. Salah satu pelayannya panik dan memutuskan untuk segera memenggal kepala seekor babi dan mengganti kepala raja dengan kepala hewan tersebut. Karena malu, raja bersembunyi di sebuah menara tinggi, menolak pengunjung. Seorang anak kecil menemukan rahasianya dan sejak itu, rajanya dikenal sebagai Dalem Bedulu, atau secara harfiah 'dia yang berubah kepala'. Penjelasan lainnya adalah bahwa nama tersebut berasal dari Badahulu atau "desa di hulu".[3] Setelah Kerajaan Pejeng, kemudian Kerajaan Majapahit berkuasa.

Budaya

 
Kuburan di desa Terunyan.

Suku Bali Aga tinggal di daerah terpencil di pegunungan. Dibandingkan dengan masyarakat dataran rendah Bali, isolasi relatif mereka mempertahankan beberapa unsur asli Austronesia, terlihat jelas dalam arsitektur Bali Aga. Wisatawan yang ingin mengunjungi desa tertentu harus berhati-hati karena kondisi geografis daerah tersebut. Saat berkunjung, penting juga untuk menghormati dan diam-diam mengamati cara hidup Bali Aga yang dilestarikan.[4]

Di Tenganan, di mana pariwisata lebih mudah diterima dan masyarakatnya dikatakan lebih ramah, festival tiga hari yang disebut usaba sambah diadakan selama bulan Juni atau Juli. Tenganan melarang perceraian dan poligami, berbeda dengan desa lainnya.[5]

Bahasa

Bali Aga adalah masyarakat multibahasa yang mayoritas berbicara bahasa ibu mereka (dialek Bali Aga). Namun minoritas juga bisa berbicara bahasa Bali standar karena mereka dikelilingi oleh penutur bahasa Bali standar, namun dialeknya sedikit berbeda dengan bahasa Bali pada umumnya. Bahasa ini sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu dan bervariasi dari desa ke desa; versi yang diucapkan di desa Tenganan berbeda dengan di desa Terunyan. Masyarakat Bali Aga juga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa penghubung dengan etnis lainnya. Bahasa Kawi juga digunakan untuk ritual keagamaan.

Craftwork

An important part of Bali Aga culture is the complex tie-dye technique used to make Bali's traditional geringsing double ikat. Bali's Tenganan village is the only village that today still produces geringsing.[6]

In geringsing, both the cotton warp and weft threads are carefully dyed and cross-dyed before weaving; the finished pattern only emerges as the cloth is woven. According to textile expert John Guy, "the ancestry of Balinese geringsing is far from clear, although some cloths display the unmistakable influence of patola",[7] the silk double ikats produced in Gujarat during the height of the Spice Trade (16-17C). Many of these imported cloths became inspiration for later locally-made textiles, but one theory is that the Balinese-made cloths were exported to India and copied there for production to Asian markets. Many have unique Hindu motifs such as a bird's eye view of a mandala with a sacred center from which everything radiates. Others feature designs clearly inspired by patola, for example a design known as the frangipani flower (jepun).[8] The palette of geringsing is typically red, neutral, and black. Geringsing are regarded as sacred cloths, "ascribed supernatural properties, especially to assist in forms of healing, including exorcism."[9] Gering means decease and sing means no.

See also

References

  1. ^ James Danandjaja (1989). Kebudayaan petani desa Trunyan di Bali: lukisan analitis yang menghubungkan praktek pengasuhan anak orang Trunyan dengan latar belakang etnografisnya. Penerbit Universitas Indonesia. hlm. 1. ISBN 97-945-6034-0. 
  2. ^ Mischa Loose (2012). Bali, Lombok. DuMont Reiseverlag. ISBN 978-37-701-6713-5. 
  3. ^ "Bedulu village". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-01-08. 
  4. ^ Sigit Wahyu (3 January 2015). Ni Luh Made Pertiwi F, ed. "Menjaga "Geopark" Kaldera Danau Batur". Kompas. Diakses tanggal 2016-11-14. 
  5. ^ "Different cultural insights in Bali's Tenganan village". The Jakarta Post. 10 November 2016. Diakses tanggal 2016-11-19. 
  6. ^ Ryan Ver Berkmoes, Adam Skolnick & Marian Carroll (2009), Bali & Lombok, Lonely Planet, hlm. 67, ISBN 978-174-2203-13-3 
  7. ^ Guy, John, Indian Textiles in the East, Thames & Hudson, 2009, p. 13
  8. ^ Guy, p. 96.
  9. ^ Guy, p. 96.

External links

  Panduan perjalanan Candidasa di Wikiwisata Templat:Ethnic groups in Indonesia