Timor Raya
Timor Raya (bahasa Portugis: Grande Timor; bahasa Belanda: Groot-Timor) mengacu pada konsep irredentisme tentang pulau Timor yang bersatu dan merdeka, yang saat ini terbagi antara negara merdeka Timor Leste dan wilayah Timor Barat di Indonesia. Konsep menyatukan pulau ini telah dimunculkan sejak pertengahan abad ke-20.
Sejarah
suntingSecara historis, gagasan menyatukan Pulau Timor telah diungkapkan oleh beberapa kelompok masyarakat Timor. Titik rujukan paling awal adalah Kerajaan Wehali pra-kolonial, yang pusatnya berada di Timor Barat saat ini, namun kelompok yang berkuasa adalah suku Belu yang berbahasa Tetun dan terkait dengan penduduk Timor Timur.[1]
Selama pendudukan Jepang di pulau tersebut (1942–1945), ada beberapa upaya Jepang dan Timor untuk menyatukan Timor Barat dan Timor Timur melalui perjodohan antara penguasa tradisional Timor Belanda dan Timor Portugis. Khususnya, Tōru Maeda (seorang agen intelijen Jepang, kemudian menjadi penyair, yang bertugas di Viqueque dan Atambua) berperan penting dalam perjodohan antara keluarga Don. Joaquim da Costa dari Ossu dan klan Nai-Buti di Atambua.[2]
Pada tahun 1974–1975, APODETI, sebuah partai Timor Timur menyatakan keinginannya untuk mengintegrasikan Timor Timur dan Timor Barat melalui integrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gagasan ini tercermin dalam Deklarasi Balibo versi asli dalam bahasa Portugis di mana para penandatangan menyesali pemisahan dengan "rakyat Indonesia di Timor" melalui demarkasi perbatasan kolonial.[3]
Timor Timur diserang dan diduduki oleh Indonesia pada tahun 1975, serta menganeksasi wilayah tersebut sebagai "Provinsi ke-27" pada tahun 1976, namun pada referendum yang dilaksanakan pada tahun 1999, rakyat Timor Timur memilih untuk mengakhiri pendudukan Indonesia dan menjadi negara merdeka. Hal ini menimbulkan kemarahan yang meluas di kalangan nasionalis Indonesia, khususnya di kalangan militer.
Pada tahun 2001 dan 2002, sebelum kemerdekaan Timor Timur, terdapat klaim dari militer Indonesia[4] dan beberapa berpendapat,[5] hal ini dikhawatirkan akan menginspirasi pemisahan Timor Barat dari Indonesia.
Gerakan kemerdekaan FRETILIN tidak pernah mengklaim Timor Barat kapanpun, sebelum invasi Indonesia atau setelahnya. Setelah pemulihan kemerdekaan pada tahun 2001, pemerintah Timor Leste mengakui sepenuhnya batas-batas wilayah Indonesia yang ada sebagai warisan dari Hindia Belanda.
Lihat juga
suntingReferensi
sunting- ^ Therik, Tom (2004). Wehali : the female land : traditions of a Timorese ritual centre. Canberra: Pandanus Books, in association with the Dept. of Anthropology, Research School of Pacific and Asian Studies.
- ^ Maeda, Tooru (1982). Chimoru-Ki. Japan: Soudosha. hlm. 125–163.
- ^ BookMarc (PDF) http://xdata.bookmarc.pt/cidac/tl/PP0846-3.pdf. Diakses tanggal 24 Agustus 2016. Tidak memiliki atau tanpa
|title=
(bantuan) - ^ etan.org
- ^ The Jakarta Post Diarsipkan 2006-02-18 di Wayback Machine. "Bahkan ada desas-desus tentang Timor Raya (Timor Besar) dan meskipun pihak berwenang Indonesia telah menyangkal adanya gerakan untuk menyatukan Timor Timur dan Barat, ia tidak boleh mengabaikan kemungkinan gagasan semacam itu. Sekali lagi, Australia yang akan mendapat manfaat besar dari Timor Raya".
Pranala luar
sunting- The Jakarta Post: February 26, 2005 (ETAN selected articles)