Haji Aji Raden Muhammad Ayub (1917–1983) adalah mantan Bupati Berau yang pertama sekaligus Sultan Gunung Tabur yang terakhir. Dia diangkat menjadi bupati oleh Gubernur A.P.T. Pranoto pada tahun 1960 dan menjabat sebagai bupati hingga ia digantikan oleh Yunuzal Yunus akibat desakan dari Pangdam IX/Mulawarman, Brigjen Soehario pada tahun 1964.[1]

Aji Raden Muhammad Ayub
Sultan Gunung Tabur
Masa jabatan
1952–1960
Bupati Berau ke-1
Masa jabatan
1960–1964
Sebelum
Pendahulu
Jabatan baru
Pengganti
Yunuzal Yunus
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir1917
Gunung Tabur, Hindia Belanda
Meninggal1983
Samarinda, Kalimantan Timur, Indonesia
Partai politikNU
PPP
ProfesiPolitisi
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Selain itu, Ayub juga merupakan salah satu tokoh terkemuka NU di Kalimantan Timur dan duduk sebagai anggota DPRD Provinsi Kalimantan Timur mewakili partai tersebut, sebelum pada masa Orde Baru menjadi anggota PPP.[2]

Awal kehidupan dan karir

Ayub lahir di Gunung Tabur pada tahun 1917 dan merupakan putra dari Sultan Muhammad Siranuddin, sultan Gunung Tabur yang keenam.[3] Dia menempuh pendidikan dasarnya di Inlandsche School dan tamat pada tahun 1930.[2][4] Dia sempat melanjutkan di Normaal School pada tahun berikutnya, namun tidak tamat.[5]

Pada tahun 1937, Ayub bekerja sebagai juru tulis di kantor Kesultanan Gunung Tabur hingga sekitar tahun 1945.[2][5] Pada tahun berikutnya, dia menjabat sebagai Asisten Wedana Kepulauan Derawan, sebelum pada tahun 1948 menjadi pegawai di kantor Dewan Kalimantan Timur di Samarinda. Ia bekerja di sana selama setahun, lalu menjabat sebagai Asisten Wedana Gunung Tabur hingga tahun 1950.[2][4][5]

Sebagai Kepala Swapraja

Pada tahun 1950, Ayub diangkat menjadi Kepala Bagian (Kabag) Pemerintahan Umum di Kantor Kepala Daerah Istimewa Berau, kemudian menjabat sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) hingga tahun 1951. Di tahun yang sama, dia menjadi Sultan Gunung Tabur yang terakhir, menggantikan sultan sebelumnya, Achmad Maulana, yang meninggal dunia pada tanggal 15 April 1951.[6] Sebagai sultan, dia juga merangkap sebagai Kepala Swapraja Gunung Tabur hingga tahun 1960.[2][4][7] Untuk jabatan ini, setiap dua tahun, dia bergantian dengan Sultan Muhammad Aminuddin dari Kesultanan Sambaliung.[8]

Ayub ikut serta dalam Pemilihan Umum 1955 sebagai calon anggota Konstituante atas nama pribadi, namun tidak lolos.[9] Dia juga menjabat sebagai ketua cabang Partai NU di Berau dan bergabung dengan organisasi tersebut pada tahun 1952.[4][7][10][a]

Masa pemerintahan Ayub diwarnai dengan merosotnya kondisi perekonomian Berau, ketidakstabilan politik, dan meningkatnya sentimen antifeodal. Performa perusahaan batu bara SMP (Steenkolen Maatschappij Parapattan) yang menurun drastis akibat kerusakan ekstensif semasa Perang Dunia II sangat merugikan Berau yang perekonomiannya bergantung pada batu bara.[11] Sebagai akibatnya, penyelundupan kopra dan ikan asin ke Tawau merajalela. Selain karena menurunnya performa tambang batu bara, penyelundupan juga diperparah oleh tingginya angka pengangguran yang berasal dari pengungsi yang kembali ke Berau dan transmigran yang tertarik untuk bekerja di tambang-tambang milik SMP.[12]

Pada awal tahun 1956, SMP memutuskan untuk menghentikan operasinya dan membawa pergi semua infrastruktur dan peralatan mereka. Namun, mereka terbuka untuk menyerahkan tambang-tambang yang masih bisa beroperasi penuh kepada pemerintah daerah dengan syarat kompensasi sebesar Rp 3,5 juta. Sebab pemerintah swapraja tidak mempunyai dana sebesar itu, maka mereka meminta pinjaman ke berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat di Jakarta yang didominasi oleh PNI. Departemen Dalam Negeri setuju untuk memberikan pinjaman sebesar Rp 1 juta dan sisanya dipinjamkan oleh Departemen Keuangan, sehingga pemerintah daerah dapat mengambil alih aset-aset SMP dan mengelolanya melalui sebuah perusahaan daerah.[13]

Pembelian tersebut sangat memperkuat kedudukan PNI di Berau. Meskipun pada Pemilihan Umum 1955 partai tersebut menempati posisi ketiga, di bawah NU dan Masjumi, tetapi setelah pembelian itu terjadi, jabatan-jabatan penting di parlemen, militer, kepolisian, dan dinas sipil secara perlahan diisi oleh para anggota PNI.[14] Meski demikian, pemerintah swapraja tidak dapat menjalankan operasi pertambangan dengan baik, sehingga akhirnya meminjamkan tambang-tambang tersebut kepada para pedagang Tionghoa (tauke) serta menjualnya kepada sebuah perusahaan bernama N.V. Agusco Djakarta pada tahun 1959.[15]

Menjabat sebagai Bupati

Pada tahun 1960, Ayub diangkat oleh Gubernur A.P.T. Pranoto menjadi Bupati Berau. Pengangkatan tersebut berkaitan erat dengan kebijakan Pranoto untuk memperkuat kedudukan politik golongan bangsawan di Kalimantan Timur.[16] Selain itu, kekuatan politik aristokrat yang mengakar di Berau dan dukungan dari PNI yang saat itu menjadi partai yang dominan di tingkat nasional maupun provinsi, juga menjadi faktor penting atas pengangkatannya.[17]

Walaupun seorang bangsawan, Ayub dapat bertahan cukup lama sebagai bupati berkat posisinya sebagai tokoh NU yang berpengaruh di tingkat provinsi.[18] Meski demikian, dalam upaya melemahkan kekuatan politik para bangsawan di tingkat daerah, Brigjen Soehario menekan Ayub agar berhenti dari jabatannya. Dia digantikan oleh Yunuzal Yunus, salah seorang pendukungnya.[1]

Karir pasca Bupati

Setelah berhenti menjadi bupati, Ayub pindah ke Samarinda dan meneruskan tugasnya sebagai anggota DPRD Provinsi Kalimantan Timur.[2] Pada tahun 1967, dia menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Berau.[7] Pada tahun 1972, dia terpilih sebagai anggota MPR mewakili Kalimantan Timur hingga tahun 1977.[4][7] Kemudian, pada tahun 1977, Ayub ditunjuk menjadi ketua Fraksi PPP di parlemen provinsi.[2][19] Dia kembali terpilih menjadi anggota MPR pada tahun 1982, kini mewakili Fraksi PPP.[5]

Kematian

Ayub wafat di RSUD Abdul Wahab Syahranie, Samarinda, pada tahun 1983. Dia kemudian dimakamnkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Muslimin Kebon Sayur di Samarinda.[20] Pada tahun 2022, Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Berau, Atilagarnadi, mengusulkan agar makamnya dipindah ke TMP Wijaya Kusuma di Tanjung Redeb. Rencana tersebut disetujui oleh Bupati Berau, Sri Juniarsih Mas, dan sebuah pertemuan sempat diadakan dengan pihak keluarga Kesultanan Gunung Tabur untuk menindaklanjuti rencana.[21]

Penghargaan

Namanya diabadikan menjadi nama ruas jalan utama yang melintasi Kecamatan Gunung Tabur dan Teluk Bayur di Kabupaten Berau.

Catatan

  1. ^ Buku ini keliru dalam menuliskan Muhammadiyah sebagai organisasi yang diikuti Ayub [10]

Referensi

  1. ^ a b Obidzinski 2003, hlm. 181.
  2. ^ a b c d e f g Magenda 1991, hlm. 95.
  3. ^ Kijlstra, Paul (2023). "Silsilah Raja Raja Berau". Kesultanan dan Kerajaan di Indonesia. Diakses tanggal 6 April 2024. 
  4. ^ a b c d e Lembaga Pemilihan Umum 1972, hlm. 764.
  5. ^ a b c d Lembaga Pemilihan Umum 1982, hlm. 254.
  6. ^ Herawati 2013, hlm. 344.
  7. ^ a b c d Lembaga Pemilihan Umum 1982, hlm. 255.
  8. ^ Obidzinski 2003, hlm. 169.
  9. ^ Kementerian Penerangan 1956, hlm. 269.
  10. ^ a b Lembaga Pemilihan Umum 1980, hlm. 7.
  11. ^ Obidzinski 2003, hlm. 168.
  12. ^ Obidzinski 2003, hlm. 170-171.
  13. ^ Obidzinski 2003, hlm. 172-173.
  14. ^ Obidzinski 2003, hlm. 173-174.
  15. ^ Obidzinski 2003, hlm. 174.
  16. ^ Magenda 1991, hlm. 49.
  17. ^ Obidzinski 2003, hlm. 180.
  18. ^ Magenda 1991, hlm. 46.
  19. ^ Panitia Pemilihan Daerah 1977, hlm. 66.
  20. ^ Rizal (2022-04-09). "Makam Bupati Pertama Berau Bakal Direlokasikan ke TMP, Bupati Beri Dukungan". Kaltimtara.id. Diakses tanggal 6 April 2024. 
  21. ^ "Pindahkan Makam Bupati Berau Pertama, Ketua Komisi II DPRD Berau Lakukan Koordinasi Dengan Keluarga Kesultanan". A-News. 2022-03-30. Diakses tanggal 6 April 2024. 

Daftar Pustaka


Gelar kebangsawanan
Didahului oleh:
Achmad Maulana
Sultan Gunung Tabur
1952–1960
Diteruskan oleh:
Aji Raden Muhammad Bachrul Hadi
Jabatan politik
Didahului oleh:
Jabatan baru
Bupati Berau
1960–1964
Diteruskan oleh:
Yunuzal Yunus