Kelenteng See Hien Kiong
Kelenteng See Hien Kiong atau See Hin Kiong merupakan tempat ibadah Tionghoa yang terletak di Kota Padang, Sumatera Barat. Mulai dibangun pada 1893 di bawah pimpinan Kapiten Lie Goan Hoat dan selesai pada 1905, kelenteng ini hancur akibat gempa bumi Sumatera Barat pada 2009.
Sebelum hancur, terdapat kelenteng terdahulu bernama Kwan Im Teng, yang didirikan pada tahun 1861, tetapi hangus terbakar pada 1893.[1]
Kelenteng See Hien Kiong yang berdiri saat ini dibangun ulang pasca-gempa di lokasi baru berseberangan dengan lokasi lama.
Kelenteng awal
Sejarah Tionghoa-Padang dimulai sejak abad ke-17. Mereka mula-mula datang untuk berdagang dan secara perlahan memegang pengaruh dalam arus lalu lintas perdagangan. Pada 1852, orang Tionghoa di Padang sudah berjumlah 1.140 jiwa. Jumlah ini meningkat menjadi 1.564 jiwa pada 1858. Namun, sampai saat itu, Padang belum memiliki kelenteng sama sekali.[1]
Kelenteng pertama di Padang berdiri pada tahun 1861 bernama Kwan Im Teng dengan persetujuan Raja Ham Hong Taun Sien Yu.[2] Kwan Im Teng berasal dari bahasa Hokkien atau Guānyīn tíng dalam bahasa Mandarin (觀音亭), secara harfiah berarti "Paviliun Guanyin ", untuk menghormati Dewi Kwan Im. Nama Kwan Im Teng berasal dari kata klenteng itu sendiri, yang lama-kelamaan menjadi istilah umum di Hindia Belanda untuk menyebut tempat ibadah Tionghoa mana pun.
Kelenteng awal terbuat dari kayu dengan atap dari rumbia/seng. Oleh karena keteledoran pendeta Sae Kong maka terjadilah kebakaran sehingga kelenteng Kwan Im menjadi abu.[2]
Pembangunan kembali 1893
Pada masa Lie Goan Hwat menjadi kapten, ia bersama dengan Letnan Lie Bian Ek serta Letnan Liem Sien Mo sepakat untuk membangun kembali kelenteng yang telah terbakar.[1] Kelenteng baru dibangun dengan bantuan dana dari penyewaan los bambu yang dijadikan sebagai pasar. Hasil dari pasar dipungut untuk pembayaran uang pinjaman. Pasar tersebut kemudian dinamakan dengan Pasar Tanah Kongsi.
Pembangunan kelenteng dimulai pada tahun 1893 dan selesai tahun 1905 atau tanggal Khong Soe 23 Tahun Theng Yoe. Itu dibuktikan dengan adanya batu prasasti yang ada di sisi dalam bangunan kelenteng. Salah satu kesulitan dalam pembangunan kelenteng ini adalah sulitnya mencari keberadaan tukang kayu yang bisa untuk melaksanakan pembangunan kelenteng. Lantaran itu, Kapten Lie Goan Hoat mengutus seorang anaknya yang bernama Lie Khong Teek untuk berlayar ke Tiongkok mencari tukang kayu yang pandai dan ahli untuk membangun kelenteng. Jumlah tukang kayu yang didatangkan dari Tiongkok sebanyak 10 orang tukang.
Pada tanggal 1 November 1905 pembangunan kelenteng ini rampung dan Kelenteng Kwam Im Teng berganti nama menjadi Kelenteng See Hin Kiong. ”Se” berarti barat dan kependekan dari Se Tjong, ”Hin” berarti timbul atau terbit (maknanya agama yang terbit dari “Se Tjong), dan ”Kiong” berarti balairung atau tempat kedudukan. Jika digabungkan, itu berarti balairung tempat kedudukan keramat yang beragama Budha.[3]
Kelenteng See Hin Kiong berdiri di lahan berukuran 27.3 x 20.5 meter (559,65 meter persegi). Bangunannya berukuran 15.5 x 15.5 meter (240,25 meter persegi).
Fungsi
Kelenteng See Hin Kiong menjadi tempat beribadah bagi etnis Tionghoa yang beragama Tao, Konghucu, dan Buddha (yang dikenal dengan Tridharma). Umat Tridharma melaksanakan ritual sembahyang kepada dewi Kwam In dan kepada arwah leluhur mereka. Sembahyang ini rutin dilakukan hampir setiap hari.
Selain itu, juga dilakukan sembahyang untuk memperingati hari-hari besar Tionghoa, tiga kali dalam setahun. Adapun sembahyang itu adalah Sembahyang Tutup Tahun (Imlek), Sembahyang Bulan Tiga (Ceng Beng), Sembahyang Bulan Tujuh (Chong Yen Cie). Hal ini merupakan tradisi yang dilaksanakan secara turun-temurun dari leluhur etnis Tionghoa dan dilakukan oleh semua kalangan etnis Tionghoa yang ada di Kota Padang.
Referensi
- ^ a b c Franke, Wolfgang; Salmon, Claudine; Xiao, Guojian (1988). 印度尼西亞華文銘刻彙編: Sumatra (dalam bahasa Inggris). South Seas Society. ISBN 978-9971-936-16-7.
- ^ a b "Kelenteng See Hien Kiong". Diakses tanggal 24 Maret 2018.
- ^ Kelenteng See Hin Kiong: Perubahan Fungsi pada Masa Orde Baru. Diakronika.