Suku Tanjung

klan suku Minangkabau

Suku Tanjuang (kadang ditulis sebagai Tanjung) merupakan salah satu suku (klan) pada Etnis Minangkabau. Suku/klan ini tersebar hampir di seluruh wilayah Minangkabau dan perantauannya.[1]

Orang Tanjung, أورڠ تنجوڠ

Urang Tanjuang

Buya Hamka
Irwan Prayitno
Emral Djamal
Asril Hamzah Tanjung
Intan Aletrino
Jonni Mahroza
Samaun Bakri
Nurzahedi
Daerah dengan populasi signifikan
Indonesia, Malaysia, Singapura
Bahasa
Minang, Indonesia, Melayu
Agama
Islam
Kelompok etnik terkait
Melayu, Aceh
Rumah gadang baanjuang Tanjung Raya

Sejarah

 
Cap Mohor

Suku Tanjuang merupakan salah satu suku (klan) dalam rumpun Lareh Koto Piliang yang diazazkan oleh Datuk Ketumanggungan pada era Pariangan. Berdasarkan sumber dari masyarakat yang memiliki relasi dengan suku ini, penamaan 'Tanjuang' berasal dari kata "Sutan Baanjuang" (dibaca: Su-tan Ba-an-juang), selain itu Tanjung juga berarti pohon Tanjung, yang mana merupakan pohon suci di zaman Hindu-Budha. Menurut tambo adat Minangkabau, Suku Tanjuang berasal dari Luhak Nan Tigo (Minangkabau daratan) dan merupakan salah satu suku yang terbesar di Minangkabau.[2] Sama dengan suku-suku lain di Minangkabau, suku Tanjuang adalah penganut sistem kekerabatan matrilineal yang merupakan salah satu aspek utama dalam mendefinisikan identitas masyarakat Minang. Adat dan budaya mereka menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada ibu yang dikenal dengan samande (se-ibu), sedangkan ayah mereka disebut oleh masyarakat dengan nama sumando (ipar) dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga. Salah satu ciri matrilineal Minangkabau adalah garis keturunan yang ditarik berdasarkan garis ibu, yang secara lebih luas kemudian membentuk kelompok kaum (lineages) dan suku (clans), dan penguasaan harta pusaka ada di tangan kaum ibu yang dipimpin oleh seorang wanita senior yang disebut bundo kanduang.[3]

 
Perempuan Minang dengan pakaian adat Minangkabau

Persebaran

Suku Tanjuang terdapat hampir di seluruh wilayah Minangkabau seperti: Tanah Datar, Agam, Solok, Kabupaten Solok, Pasaman, Pauh IX (di Padang), Padang Pariaman, Lima Puluh Koto, Bayang dan Tarusan (di Pesisir Selatan), serta di beberapa nagari lain di Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Utara.

Suku ini juga menyebar ke berbagai wilayah rantau dan pesisir. Berdasarkan ruang geografis etnisitas yang disusun oleh Collet (1925), Cunningham (1958), Reid (1979) dan Sibeth (1991), di pesisir barat Sumatera Utara terdapat kelompok masyarakat yang bukan merupakan bagian dari etnis Batak[4]. Kelompok ini merupakan para perantau dari Minangkabau yang telah bermigrasi ke pesisir barat Tapanuli sejak berabad-abad lalu[5]. Orang-orang yang bersuku Tanjuang di pesisir barat sumatera menggunakan nama suku di belakang namanya. seperti, dari Barus, Sibolga, Sorkam, Natal, Air Bangis, Tiku, Pariaman, Padang, Painan, dan Bengkulu, serta di Pulau Nias. Penambahan nama suku di belakang namanya bertujuan untuk menunjukkan identitas diri di tengah masyarakat pesisir yang majemuk. Di pesisir barat Sumatera Utara yang tidak lagi mengikuti adat matrilineal, penambahan suku di belakang nama ini sebagian besar sudah mengikuti garis keturunan ayah atau patrilineal[6] yang dikenal dengan sebutan Marga Tanjung. Namun,beberapa kebudayaan mereka masih dipengaruhi budaya Minangkabau seperti adat sumando[7]

Pemekaran

Suku ini mengalami pemekaran menjadi beberapa pecahan suku yaitu:

  • Tanjuang Pisang (Tanjuang Sipisang)
  • Tanjuang Simabua
  • Tanjuang Perak
  • Tanjuang Kaciak (Tanjuang Ketek)
  • Tanjuang Sikumbang
  • Tanjuang Koto
  • Tanjuang Gadang
  • Tanjuang Payobada
  • Tanjuang Sumpadang (Tanjuang Supadang)
  • Tanjuang Batingkah
  • Panai Tanjuang
  • Tanjuang Caniago

Kerabat

Pangulu

Berkas:Pengangkatan pangulu.png
Pengangkatan pangulu suku Tanjuang maninjau Agam

Pangulu (kepala desa) ditujukan kepada niniak mamak 'pemangku adat' yang bergelar Datuak (keagungan)[8]. Istilah pangulu berasal dari kata hulu 'hulu' yang kemudian diartikan kepala atau pemimpin[9] Gelar Datuak ini diberikan kepada pemimpin sebuah suku atau korong di wilayah populasi etnis Minangkabau. Gelar datuak disebut juga gelar sako di Minangkabau. Selain gelar datuak ada gelar yang diberikan kepada laki-laki di Minangkabau pada hari pernikahannya dan semenjak itu dianjurkan sekali bagi siapa pun untuk memanggil laki-laki tersebut dengan gelarnya. Jadi bukan lagi dengan memanggil nama kecilnya, sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang sudah dewasa. Bagi masyarakat Minangkabau, pangulu merupakan sebutan kepada ninik mamak pemangku adat yang bergelar datuak. Akan tetapi mengangkat kebesaran adat tidak dikatakan mengangkat datuak, melainkan mengangkat penghulu. Istilah penghulu berasal dari kata “ hulu “, artinya kepala. Yang dimaksud kepala di sini adalah pimpinan. Dengan demikian seorang penghulu sama artinya dengan pemimpin.

Sebagai pemimpin, seorang panghulu (datuak) bertanggung jawab dan berkewajiban memelihara anggota kaum, suku, dan nagari. Penghulu (datuak) bertanggung jawab terhadap permasalahan yang terdapat dalam masyarakat, dan hal ini merupakan kewajiban penghulu“kusuik manyalasai, karuah mampajaniah“ (kusut menyelesaikan, keruh menjernihkan). Menurut Nasroen (dalam diktat LKAAM, 2002:208) menjelaskan bahwa penghulu (datuak) itu “digadangkan mangkonyo gadang” (dibesarkan makanya besar) sebagaimana dikatakan “tumbuahnyo di tanam, tingginyo dianjuang, gadangnyo diamba“ (tumbuhnya ditanam, tingginya disanjung, besarnya disegani). Maksudnya jabatan penghulu (datuak) itu diperoleh oleh seseorang karena diangkat oleh anggota kaumnya sendiri.

Berikut adalah beberapa Gelar datuk bagi suku Tanjuang:

  • Datuk Tan Dilangit
  • Datuk Talangik
  • Datuk Yang Basa
  • Datuk Rajo Intan
  • Datuk Rajo Ameh
  • Datuk Rajo Indo
  • Datuk Gamuak
  • Datuk Rajo Bandaro Basa
  • Datuk Kayo
  • Datuak Siri Mangkuto
  • Datuak Indo Marajo
  • Datuak Mangkudun
  • Datuak Bungsu
  • Datuak Bagindo

Tokoh Ternama

 
Irwan Prayitno dianugerahi gelar dari Pagaruyung
 
Buya Hamka

Lihat pula

Referensi

  1. ^ "Suku Tanjung". Diakses tanggal 6 Februari 2022. 
  2. ^ Tsuyoshi Kato, Adat Minangkabau & Merantau dalam Perspektif Sejarah, Balai Pustaka, Jakarta
  3. ^ Arifin, Zainal (2013). "Bundo Kanduang: (hanya) Pemimpin di Rumah (Gadang)". Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology. 34 (2): 124. doi:https://doi/org/10.7454/ai.v34i2.3968 Periksa nilai |doi= (bantuan). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-06-01. Diakses tanggal 2022-02-05. 
  4. ^ Perret, Daniel (1995). "Kolonialisme dan Etnisitas, Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut, École Franc̦aise d'Extrême-Orient". École Franc̦aise d'Extrême-Orient. 
  5. ^ Drakard, Jane. A Malay Frontier: Unity and Duality in a Sumatran Kingdom. A Malay Frontier. 
  6. ^ "Suku Tanjung Batak Berasal Dari Minangkabau Benarkah?". 
  7. ^ Omzetting van Poesaka- in Pentjariangrond (1934). Dordrecht: Springer Netherlands. 1941. hlm. 392–395. ISBN 978-94-015-1555-9. 
  8. ^ Isman, Mhd; Butar-butar, Charles (2023-04-30). "Mutual Cooperation in the Batagak Pangulu Tradition (Information of Penhulu) in Minangkabau". Randwick International of Social Science Journal. 4 (2): 428–434. doi:10.47175/rissj.v4i2.682. ISSN 2722-5674. 
  9. ^ Hakim, Lukmanul; Meria, Aziza; Sandora, Lisna; Aisyah, Siti; Yulniza (2020-05-31). "Dari Minangkabau Untuk Dunia Islam". Majalah Ilmiah Tabuah: Ta`limat, Budaya, Agama dan Humaniora. 24 (1): 25–38. doi:10.37108/tabuah.v24i1.270. ISSN 2614-7793. 

Pranala luar