Museum Konferensi Asia Afrika

museum di Indonesia
Revisi sejak 22 Mei 2024 12.42 oleh Pidopram (bicara | kontrib) (→‎Referensi: #1Lib1Ref #1Lib1RefID)

Museum Konferensi Asia Afrika adalah salah satu museum yang berada di kota Bandung. Museum ini didirikan pada 24 April 1980.[2]Pada tanggal 18-24 April 1955, delegasi dari dua puluh sembilan negara menghadiri Konferensi Asia Afrika di Bandung, Indonesia. Mewakili Asia: Afghanistan, Burma, Kamboja, Ceylon, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), India, Indonesia, Iran, Irak, Jepang, Yordania, Laos, Lebanon, Nepal, Pakistan, Filipina, Arab Saudi, Suriah, Thailand, Turki, Vietnam Utara, Vietnam Selatan, dan Yaman. Sementara dari Afrika: Mesir, Ethiopia, Pantai Emas, Liberia, Libya, dan Sudan. Pada tahun 1955, hampir semua negara di Asia telah mencapai kemerdekaan, tetapi sebagian besar Afrika masih dijajah oleh negara-negara Eropa.[3]

Museum Konferensi Asia Afrika
Museum Konferensi Asia Afrika
Peta

Bandung merupakan bagian dari gelombang yang belum pernah terjadi sebelumnya, di mana banyak orang di seluruh dunia berjuang melawan sisa-sisa imperialisme Eropa. Konferensi Bandung meletakkan dasar-dasar politik, ekonomi, budaya, dan hukum untuk apa yang disebut sebagai Semangat Bandung dan apa yang kemudian disebut sebagai proyek Dunia Ketiga.[3]

Sejarah Museum Konferensi Asia Afrika

Sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia (1978-1988), Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. seringkali bertemu muka dan berdialog dengan para pemimpin negara dan bangsa Asia Afrika. Dalam kesempatan-kesempatan tersebut, beliau sering mendapat pertanyaan dari mereka tentang Gedung Merdeka dan Kota Bandung tempat diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika. Berulang kali pembicaraan tersebut diakhiri oleh pernyataan keinginan mereka untuk dapat mengunjungi Kota Bandung dan Gedung Merdeka.[4]

Terilhami oleh kehendak untuk mengabadikan Konferensi Asia Afrika 1955 yang merupakan tonggak terbesar keberhasilan politik luar negeri Indonesia, ketika jiwa, semangat, dan pengaruhnya menyebar ke seluruh dunia terutama bumi Asia Afrika dan Negara-negara Nonblok, serta terdorong oleh keinginan sejumlah pemimpin Asia Afrika untuk mengunjungi Kota Bandung, maka lahirlah gagasan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. untuk mendirikan Museum Konferensi Asia Afrika di Gedung Merdeka, Bandung. Gagasan tersebut dilontarkan dalam forum rapat Panitia Peringatan 25 Tahun Konferensi Asia Afrika tahun 1980 yang dihadiri antara lain oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Prof. Dr. Haryati Soebadio sebagai wakil dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Gagasan tersebut mendapat sambutan baik terutama dari Presiden Republik Indonesia Soeharto. Sejak itu, salah satu aktivitas Panitia Peringatan 25 Tahun Konferensi Asia Afrika adalah mewujudkan gagasan tersebut.[4]

Gagasan pendirian Museum Konperensi Asia Afrika diwujudkan oleh Joop Ave, sebagai Ketua Harian Panitia Peringatan 25 Tahun Konferensi Asia Afrika dan Direktur Jenderal Protokol dan Konsuler Departemen Luar Negeri, bekerjasama dengan Departemen Penerangan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Barat, dan Universitas Padjadjaran. Perencanaan dan pelaksanaan teknisnya dikerjakan oleh PT Decenta, Bandung. Museum Konperensi Asia Afrika diresmikan berdirinya oleh Presiden Soeharto pada 24 April 1980, sebagai puncak Peringatan 25 Tahun Konferensi Asia Afrika.[4]

Sebelum menjadi Gedung Merdeka, bangunan ini dibangun untuk tempat berkumpul para elite Eropa, bernama Societeit Concordia. Gedung yang berdiri di persimpangan Jalan Braga dan Jalan Asia Afrika tersebut berdiri pada 29 Juni 1879. Tujuan didirikannya gedung ini adalah "de bevordering van gezellig verkeer". Artinya, meningkatkan hubungan kalangan Eropa di Bandung. Masyarakat dari kelompok eksklusif tersebut menggunakan gedung yang membentang di atas tanah seluas 7.983 meter persegi. Tempat tersebut hanya berupa bangunan biasa, yang sebagian dindingnya terbuat dari papan dan penerangannya menggunakan lentera minyak tanah. Bangunan ini berada di sudut jalan "Groote Postweg" (Jalan Asia-Afrika) dan "Bragaweg" (Jalan Braga). Di sisi kanan bangunan terdapat Tjikapoendoeng (Cikapundung), area sungai yang menyegarkan yang ditumbuhi pepohonan rindang.[5]

Societeit Concordia berfungsi sebagai gedung dansa, hiburan, dan tempat berkumpulnya sosialita kaya di Bandung dan sekitarnya. Pengunjungnya termasuk pemilik atau karyawan perkebunan, pejabat, dan pengusaha kaya. Selama akhir pekan, gedung itu dipenuhi orang-orang yang menikmati pertunjukan seni, tarian sosial, dan makan malam. Kemudian pada 1926, bangunan dirancang ulang dalam gaya art-deco oleh Van Galen dan C.P. Wolff Schoemaker. Keduanya adalah arsitek ternama sekaligus profesor di Technische Hogeschool (sekarang Institut Teknologi Bandung). Bangunan seluas 7500 meter persegi tersebut berlantai marmer Italia dengan kamar-kamar yang menggunakan kayu cikenhout serta dihiasi dengan lampu kristal di langit-langit.[5] 

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, bangunan ini berganti nama menjadi Dai Toa Kaman dan berfungsi sebagai pusat kebudayaan. Setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, bangunan tersebut digunakan sebagai markas pejuang kemerdekaan Indonesia melawan pasukan Jepang. Setelah Kemerdekaan RI diakui oleh Belanda pada 1949, Gedung Concordia kembali digunakan sebagai ruang pertemuan umum, pertunjukan seni, pesta, tarian, dan jamuan makan malam. Pada 1954, pemerintah Indonesia menunjuk Bandung sebagai tuan rumah Konferensi Asia-Afrika, Gedung Concordia dipilih sebagai tempat konferensi Internasional ini. Saat itu, bangunan ini merupakan aula terbesar dan termegah di Bandung. Lokasinya strategis dekat dengan Savoy Homann Hotel dan Preanger Hotel di pusat kota.[5]

Pada awal 1955, gedung ini direnovasi untuk memenuhi persyaratan konferensi internasional oleh Ir. R. Srigati Santoso, dan berganti nama menjadi Gedung Merdeka. Bangunan sekarang digunakan sebagai Museum Konferensi Asia-Afrika.[5]

Perpustakaan

Perpustakaan Museum Konferensi Asia Afrika ini dibangun sebagai bagian dari perayaan peringatan KAA ke 50 pada tahun 2005. Perpustakaan ini mengoleksi buku-buku sejarah, politik, sosial dan budaya negara-negara Asia-Afrika; dokumen-dokumen mengenai Konferensi Asia-Afrika,konferensi-konferensi pendahulu, KTT Asia-Afrika 2005, serta majalah, surat kabar, dan ‘BrailleCorner’ untuk para tunanetra. Selain itu juga terdapat buku anak-anak, komik, cerita pendek, dan novel. Museum Konferensi Asia Afrika ini juga menyimpan berbagai koleksi langka, khususnya koleksi mengenai pelaksanaan Konferensi Asia Afrika 1955.[6]

Perpustakaan Museum Konferensi Asia Afrika mempunyai bahan koleksi pustaka lebih dari 17.000 eksemplar yang kebanyakan jenis bukunya membahas tentang masalah Geopolitik terutama di wilayah Asia Afrika. Untuk jenis kerusakan yang terjadi pada bahan pustaka di perpustakaan Museum Konferensi Asia Afrika cukup jarang ditemui yang rusak karena faktor manusia, karena sistem yang digunakan di perpustakaan ini adalah sistem tertutup dan tidak meminjamkan koleksinya untuk dibawa kerumah. Kerusakan yang sering ditemu kan adalah karena faktor usia buku itu sendiri yang sudah tua.[6]

Nama, Status, dan Sifat

Museum ini bernama Museum Konferensi Asia Afrika. Nama tersebut digunakan untuk mengenang peristiwa Konferensi Asia Afrika yang menjadi Sumber inspirasi dan motivasi bagi bangsa Asia-Afrika.

Museum ini dibangun oleh Pemerintah Republik Indonesia dan berada di bawah wewenang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sementara pengelolaannya di bawah koordinasi Departemen Luar Negeri dan Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Jawa Barat.

Pada 18 Juni 1986, kedudukan Museum Konferensi Asia-Afrika dialihkan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ke Departemen Luar Negeri di bawah pengawasan Badan Penelitian dan Pengembangan Masalah Luar Negeri. Pada Tahun 2003 dilakukan restrukturisasi di Tubuh Departemen Luar Negeri dan Museum Konferensi Asia Afrika dialihkan ke Ditjen Informasi, Diplomasi Publik dan Perjanjian Internasional (Sekarang Ditjen Informasi dan Diplomasi Publik). Saat ini UPT Museum Konferensi Asia Afrika berada dalam koordinasi Direktorat Diplomasi Publik. Museum ini menjadi museum sejarah bagi perjuangan politik luar negeri Indonesia.

Penataan Kembali Museum Konferensi Asia Afrika

Dalam rangka Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika 2005 dan peringatan 50 tahun Konferensi Asia Afrika 1955, pada 22-24 April 2005, tata pameran Museum Konferensi Asia Afrika direnovasi atas prakarsa Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Dr. N. Hassan Wirajuda.

Penataan kembali museum tersebut dilaksanakan atas kerja sama Departemen Luar NEgeri dengan sekretariat Negara dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Perencanaan dan pelaksanaan teknisnya dikerjakan oleh Vasco Design dan Wika Realty.

Referensi

  1. ^ http://kemlu.go.id/Pages/HistoricalBuilding.aspx?IDP=3&l=id
  2. ^ Ainani Nazere, Sukaesih Sukaesih (Maret 2023). "Hubungan Kualitas Layanan dengan Citra Museum Konferensi Asia Afrika". Jurnal Ilmiah Multidisiplin. 2 (02): 21–29. doi:10.56127/jukim.v2i02.555. 
  3. ^ a b Michael Fakhri, Kelly Reynolds (30 Maret 2017). "The Bandung Conference". International Law. doi:10.1093/OBO/9780199796953-0150. 
  4. ^ a b c "Museum Konperensi Asia Afrika | Museum KAA". www.asiafricamuseum.org. Diakses tanggal 2024-05-22. 
  5. ^ a b c d Laily, Sorta Tobing, Iftitah Nurul (2021-08-10). "Mengenal Peran Museum Konferensi Asia Afrika bagi Dunia - Lifestyle Katadata.co.id". katadata.co.id. Diakses tanggal 2024-05-22. 
  6. ^ a b Rosiana Nurwa Indah, Muhammad Aldy Fahriansyah (7 Desember 2022). "Analisis Penerapan Preservasi Kuratif terhadap Bahan Pustaka di Perpustakaan Museum Konferensi Asia Afrika". Tadwin: Jurnal Ilmu Perpustakaan Dan Informasi. 3 (1): 52–56. doi:10.19109/tadwin.v3i1. 

Pranala luar

Website Kemenlu mengenai Museum KAA