Ular bajing

Revisi sejak 8 Oktober 2009 01.28 oleh Borgxbot (bicara | kontrib) (Robot: Cosmetic changes)
Ular Bajing
Gonyosoma oxycephalum
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Filum:
Subfilum:
Kelas:
Ordo:
Subordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
G. oxycephalum
Nama binomial
Gonyosoma oxycephalum
(Boie, 1827)

Ular bajing (Gonyosoma oxycephalum) atau ular bamban adalah sejenis ular berwarna hijau yang besar dan gesit tangkas, pemanjat pohon dari suku Colubridae. Dinamai demikian karena ular ini biasa memangsa bajing dan tupai, selain hewan-hewan lainnya. Ular ini sering pula disebut sebagai ular hijau, ular bangka laut dan ular gadung, nama-nama yang juga digunakan untuk menyebut jenis ular lainnya yang berwarna hijau.[1]

Dalam bahasa Inggris ular ini dinamai Red-tailed Green Ratsnake atau Red-tailed Racer, karena warna ekornya yang terkadang kemerahan. Namun ular ini berbeda dengan ular bangkai laut yang warna ekornya juga (dan selalu) kemerahan. Nama lainnya adalah Grey-tailed Racer. Nama ilmiahnya menunjukkan tubuhnya yang berbentuk menyudut (gonio, sudut; soma, tubuh) dan kepalanya yang agak gepeng meruncing (oxy, tajam; cephalum, kepala).[2]

Pengenalan

Ular yang bertubuh sedang sampai besar, panjang dan ramping. Panjang kepala dan tubuh hingga 1.820 mm, dan ekornya 480 mm.[1] Meskipun pada umumnya panjang totalnya hanya sekitar 160–180 cm.[3] Kepala agak gepeng dan meruncing, pangkalnya lebih lebar dari lehernya.

Dominan warna hijau atau hijau terang di sepanjang punggungnya, dan kuning di sepanjang perutnya. Kepala hijau kekuningan, hijau zaitun atau kecoklatan di sebelah atas, dengan garis hitam melintasi mata, serta bibir yang berwarna kekuningan. Ekor kemerahan atau coklat muda keabu-abuan; terkadang dengan cincin kuning atau merah terang di dekat anusnya. Sisik-sisik bertepi kuning atau gelap kehitaman.[1][2]

Sisik-sisik dorsal (punggung) dalam 23, 25, atau 27 deret di tengah badan; halus atau berlunas lemah. Sisik-sisik ventral (perut) 236–262 buah (di Borneo, 229–255 buah); menyudut di sebelah luar serta berlunas dan bertakik dangkal, sangat berguna untuk memanjat pohon. Sisik anal terbelah, sisik-sisik subkaudal (bawah ekor) 130–149 (126–149) buah. Perisai labial atas (sisik-sisik besar di bibir atas) 7–10 buah, yang ke-5 dan -6, atau ke-6 dan -7, menyentuh mata.[2][4]

Kebiasaan

Sebagaimana namanya, ular ini diketahui biasa memburu bajing dan tupai di pepohonan. Ia juga memangsa tikus, kelelawar dan burung. Ular bajing bergerak dengan lincah dan tangkas di dahan-dahan dan ranting (arboreal), dan sesekali turun ke tanah. Bila marah karena merasa terganggu, leher ular ini akan memipih tegak dan lidahnya yang bergaris biru terang digerakkan keluar masuk dengan cepat. Gigitannya menyakitkan, meskipun tidak membahayakan manusia karena ular ini hanya berbisa lemah.[2][3]

Ular bajing ditemukan mulai dari dataran rendah hingga wilayah pegunungan; di Sumatra didapati hingga daerah Berastagi pada ketinggian sekitar 1.300 m dpl. Hewan melata ini diketahui menghuni wilayah berawa-rawa, hutan bakau, hutan dataran rendah, hutan pegunungan, belukar, daerah pertanian dan perkebunan, hingga ke lingkungan pekarangan rumah di pedesaan. Ular yang aktif di siang hari (diurnal) ini tidak jarang dijumpai di tutupan vegetasi di sekitar sungai dan kolam.[3]

Ular bajing bertelur antara 5–12 butir setiap kalinya.[2]

Agihan

Lokasi tipe: Indonesia: Jawa.[5]

Rujukan

  1. ^ a b c Rooij, N. de. 1917. The Reptiles of Indo Australian Archipelago. II. Ophidia. E.J. Brill, Leiden. pp. 104-105
  2. ^ a b c d e Stuebing, R.B. & R.F. Inger. 1999. A Field Guide to The Snakes of Borneo. Natural History Publications (Borneo). Kota Kinabalu. p. 152-154. ISBN 983-812-031-6
  3. ^ a b c David, P and G. Vogel. 1996. The Snakes of Sumatra. An annotated checklist and key with natural history. Edition Chimaira. Frankfurt. p.91-92. ISBN 3-930612-08-9
  4. ^ Tweedie, M.W.F. 1983. The Snakes of Malaya. The Singapore National Printers. Singapore. p.44-46.
  5. ^ Boie, F. 1827 Bemerkungen über Merrem's Versuch eines Systems der Amphibien, 1. Lieferung: Ophidier. Isis van Oken, Jena, 20: 508-566.

Pranala luar