Harmonisasi pajak adalah langkah penting untuk meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam sistem perpajakan suatu negara. Di Indonesia, hal ini menjadi fokus utama pemerintah dalam mengatasi berbagai tantangan perpajakan dan perekonomian, seperti rendahnya tax ratio dan tingginya shortfall pajak.[1]

Pengertian

Sejak tahun 1992, penerimaan pajak telah menjadi sumber pendapatan terbesar bagi negara. Namun, realisasi penerimaan pajak sering kali tidak mencapai target yang telah ditetapkan. Tax ratio[2] Indonesia juga relatif rendah dibandingkan negara lain, dengan angka yang menurun dari 11,3% pada 2010 menjadi 8,3% pada 2020.[1]

Prinsip Harmonisasi Pajak

Harmonisasi peraturan perpajakan didasarkan pada beberapa prinsip utama[3], yaitu:

  1. Keadilan: Menjamin sistem perpajakan yang adil bagi semua lapisan masyarakat.
  2. Kesederhanaan: Membuat sistem perpajakan yang mudah dipahami dan diimplementasikan.
  3. Efisiensi: Meningkatkan efisiensi administrasi dan pengumpulan pajak.
  4. Kepastian Hukum: Memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak.
  5. Kemanfaatan: Memaksimalkan manfaat penerimaan pajak bagi pembangunan nasional.
  6. Kepentingan Nasional: Mendukung kepentingan nasional dalam kebijakan perpajakan.

Tujuan Harmonisasi Pajak

Tujuan dari harmonisasi peraturan perpajakan di Indonesia[4], meliputi:

  1. Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi: Mendukung pemulihan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
  2. Mengoptimalkan Penerimaan Negara: Memastikan penerimaan pajak cukup untuk membiayai pembangunan nasional.
  3. Mewujudkan Sistem Pajak yang Berkeadilan: Membangun sistem perpajakan yang adil dan transparan.
  4. Reformasi Administrasi Pajak: Meningkatkan kepatuhan wajib pajak melalui reformasi administrasi.
  5. Peningkatan Kepatuhan Sukarela: Mendorong kepatuhan pajak secara sukarela dari wajib pajak.

Implementasi Harmonisasi Pajak

Untuk mencapai tujuan harmonisasi, beberapa kebijakan yang diterapkan[5], meliputi:

  1. Pemberlakuan NIK sebagai NPWP: Mempermudah administrasi dan pengawasan pajak.
  2. Penguatan Administrasi Perpajakan: Meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam administrasi pajak.
  3. Penagihan Pajak Global: Mengimplementasikan prinsip resiprokal dalam penagihan pajak lintas negara.
  4. Pajak Karbon: Memperkenalkan pajak karbon sebagai bagian dari upaya penanganan perubahan iklim[6].
  5. Penegasan Prinsip Ultimum Remedium[7]: Mengoptimalkan penerimaan negara melalui penegakan hukum yang cepat dan efisien.

Tantangan dan Harapan

Penerapan kebijakan harmonisasi pajak bukan tanpa tantangan. Kolaborasi lintas kementerian dan sosialisasi yang luas diperlukan untuk memastikan kebijakan ini diterima oleh semua pihak. Kebijakan seperti penerapan NIK sebagai NPWP dan kenaikan tarif PPN harus dipersiapkan dan disosialisasikan dengan baik untuk menghindari resistensi dari masyarakat.

Referensi

  1. ^ a b "Harmonisasi Peraturan Perpajakan". Rmol.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-06-10. 
  2. ^ DJP. "Yuks, Mengenal apa itu Tax Ratio". Direktorat Jenderal Pajak (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-06-10. 
  3. ^ "Ditjen ILMATE - Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan Pajak Disahkan, Optimalkan Penerimaan Negara". ilmate.kemenperin.go.id. Diakses tanggal 2024-06-10. 
  4. ^ Larasati, Endang (11 Oktober 2021). "Reformasi Perpajakan untuk Penciptaan Keadilan, Peningkatan Kepatuhan, dan Penguatan Fiskal". Badan Kebijakan Fiskal (Kementrian Keuangan Republik Indonesia). Diakses tanggal 10 Juni 2024. 
  5. ^ M.H, Nafiatul Munawaroh, S. H. (2024-01-24). "Apa Itu Pajak Karbon dan Bagaimana Penerapannya di Indonesia?". www.hukumonline.com. Diakses tanggal 2024-06-10. 
  6. ^ Manurung, James Parulian (2 September 2022). "Pajak Karbon di Indonesia Dalam Upaya Mitigasi Perubahan Iklim dan Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan". Jurnal Kewarganegaraan. 6 (2): 2881–2898.  line feed character di |title= pada posisi 63 (bantuan)
  7. ^ Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. "Mengenal Ultimum Remedium". Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Diakses tanggal 10 Juni 2024.