Albertus Christiaan Kruyt
Albertus Christiaan Kruyt atau A. C. Kruyt (10 Oktober 1869 – 19 Januari 1949), adalah seorang misionaris, etnografer, dan teolog Calvinis Belanda. Ia adalah orang pertama yang merintis pekabaran Injil di Sulawesi Tengah, terutama di Poso.[1]
Albertus Christiaan Kruyt | |
---|---|
Nama asal | Albertus Christiaan Kruijt |
Lahir | Albertus Christiaan Kruyt 10 Oktober 1869 Mojowarno, Jombang, Jawa Timur, Hindia Belanda |
Meninggal | 19 Januari 1949 Den Haag, Belanda | (umur 79)
Kebangsaan | Belanda |
Pekerjaan | Misionaris, etnografer, teolog |
Tahun aktif | 1892-1949 |
Karya terkenal | Het Animisme in den Indischen Archipel |
Suami/istri | Johanna Moulijn |
Anak | Johannes Kruyt |
Kiprah di bidang teologi | |
Bahasa | Belanda |
Minat utama | Misi Etnografi |
Gagasan terkenal | Zielestof |
Penghargaan |
Dilahirkan di Mojowarno, Jawa Timur pada tahun 1869, ia dibesarkan di tengah keluarga penginjil.[2] Pada tahun 1877, Kruyt dikirim ke Belanda untuk mendalami ilmu misionaris. Ia kembali ke Hindia Belanda pada tahun 1890, dan ditempatkan di Gorontalo. Lembaga Misionaris Belanda (Nederlandsch Zendeling Genootschap) mengirim dan menugaskannya untuk membuka pos pekabaran Injil yang baru di Poso, yang terletak di pantai selatan Teluk Tomini.[3] Kruyt memulai pekerjaannya pada tahun 1892.[4] Meski tahun-tahun pertama pekerjaannya dinilai gagal, pembaptisan pertama terjadi pada tahun 1909 dan terus bertambah pada tahun-tahun setelahnya.[5] Wilayah pekabaran Injil yang dirintisnya hingga tahun 1920-an, terus meluas menembus dataran tinggi dan pegunungan hingga ke Teluk Bone di selatan.[6] Kruyt meninggalkan Hindia Belanda untuk selamanya dan kembali ke Belanda pada tahun 1932. Pada bulan Januari 1949, ia meninggal dunia di Den Haag.
Kruyt dikenal dengan metode pendekatan etnososiologi-nya. Dalam tugasnya sebagai seorang misionaris, ia memilih untuk berbaur dan mempelajari keadaan dan peradaban masyarakat terlebih dahulu.[7][a] Ia mengembangkan konsep etno-misiologi serta memperkenalkan istilah zielestof pada teorinya tentang animisme dan dinamisme.
Kruyt dianggap sebagai salah satu teoretikus, misionaris dan etnografer terkemuka pada periode awal abad ke-20.[10] Misi yang dirintisnya di Poso dan Sulawesi Tengah diakui sebagai salah satu kesuksesan terbesar pekabaran Injil di Hindia Belanda.[6] Karya-karyanya tentang etnografi dan pekabaran Injil —khususnya di Sulawesi Tengah— dianggap sebagai sumber informasi yang "luar biasa".[11] Buku yang ditulisnya bersama dengan Nicolaas Adriani, bertajuk De Bare'e-sprekende Toradja's van Midden-Celebes dianggap sebagai salah satu publikasi terbaik pada bidang etnologi, dan dijadikan sumber utama dalam penelitian oleh para ilmuwan dan peneliti.
Kehidupan awal
1869-1877: Keluarga dan masa kecil
Albertus Christiaan Kruyt dilahirkan pada tanggal 10 Oktober 1869 di Mojowarno, Jawa Timur. Ia merupakan anak ke-6 dari 8 bersaudara. Ayahnya bernama Johannes Kruyt sedangkan ibunya bernama Dorothea Johanna van der Linden, dan keduanya juga merupakan utusan NZG yang menetap di Mojowarno. Saudara-saudaranya bernama Arie Kruyt, Hendrik Cornelis Kruyt, Niescina Margaretha Anna Kruyt, Maria Kruyt, Adriana Kruyt, Marinus Kruyt, dan Christina Catharina Kruyt.[12]
Kakek buyutnya Maarten Kruyt menikahi Catharina Schoonevelt van der Kloet dari Noordwijk. Putra mereka Arie, lahir di Voorhout dan menjadi seorang apoteker di Den Haag. Ia menikahi Maria van Besoyen, putri seorang penyelamat dari Maassluis.[13] Di antara tahun 1827 dan 1841 mereka dikaruniai sembilan anak.[b] Kruyt tidak pernah belajar mengenal kakek moyangnya. Ia meninggal saat Kruyt berusia tiga tahun dan tinggal bersama orang tuanya di Mojowarno, Indonesia. Melalui cerita keluarganya, Kruyt menulis bahwa kakek moyangnya adalah seorang "pria yang baik dan saleh, seorang ayah yang memberi anak-anaknya pendidikan yang ketat menggunakan bacaan kuno."[13]
Kakeknya Arie terlibat dalam berbagai kerja kependetaan di kongregasi reformed Belanda, dan ia memiliki hubungan baik dengan para mantan pendeta di Den Haag. Hubungan yang bersahabat ini mempengaruhi iklim teologis Kruyt dan pendidikan spiritualnya.[14] Kruyt menggambarkan neneknya sebagai seorang wanita dengan "perasaan baik yang intim, seseorang dengan hati sederhana yang memberitahukannya misteri-misteri Tuhan". Setiap pagi, neneknya membaca NRC, surat kabar harian Dagblad van Zuid-Holland en 's Gravenhage dan Het Vaderland. Lingkungan tenang seperti ini turut mempengaruhi Kruyt.[13] Pada malam hari, keluarganya secara teratur berpartisipasi dalam lingkaran Alkitab, berdoa untuk misi dan memberikan khotbah tentang mata pelajaran agama. Pelayanan gereja hanya diabaikan jika ada alasan bagus untuk itu. Kruyt menggambarkan kakek dan neneknya sebagai "orang Kristen sejati".[15]
Setiap kali ibunya —Dorothea— akan melahirkan, keluarga mereka pindah dari Mojowarno ke Surabaya untuk menunggu proses persalinan. Masa remaja Kruyt dipenuhi dengan kecemasan, terutama yang berkaitan dengan ibunya. Kruyt menyebut ketakutan yang sangat besar karena ditinggalkan oleh orang tuanya sebagai "fenomena aneh" yang bisa diingatnya. Kruyt kembali ke Belanda pada tahun 1877, dengan saudaranya yang berusia satu tahun, Jaantje. Sebelum ia berangkat, pikirannya tidak tenang karena ia melihat ibunya dari kejauhan.[16] Kruyt tidak akan pernah melihat ibunya lagi karena ia meninggal muda. Dorothea meninggal pada tanggal 11 Juli 1881 dan dimakamkan di Malang. Kruyt menolak kenyataan bahwa ibunya telah meninggal. "Ia (Dorothea) tidak pernah berpikir untuk meninggalkan sisi ayah saya untuk anak-anaknya, bukan hanya karena ia paham betul tempatnya sebagai seorang istri, tapi juga karena ia bekerja dengan senang hati dalam pekerjaan misionaris".[17]
Ayahnya menggambarkan Kruyt sebagai orang yang memiliki pengetahuan dan kerendahan hati, dengan akal sehat dan rasa tanggung jawab yang tinggi.[16] Ayahnya adalah orang yang bersemangat, dan pada saat yang sama juga merupakan orang yang ketat. Berbicara tentang kedua orang tua dan cara mereka mendidik, dia menunjukkan perbedaan dalam gaya pendidikan. Ayahnya kesulitan mendidik anak-anaknya yang berjumlah banyak, sedangkan ibunya lebih menyukai gaya pendidikan yang agak bebas.[18] Di usia dini, melihat kembali masa mudanya di Mojowarno, Kruyt menggambarkan periode ini sebagai waktu yang membahagiakan karena anak-anak tahu bahwa keteguhan itu diresapi dengan sepenuh hati dan penuh cinta: "Anak-anak merasa bahwa hatinya telah sampai kepada mereka dan sampai hari tuanya, mereka bahagia bersamanya".[19]
1877-1890: Pendidikan di Rotterdam
Pada tanggal 15 Juni 1877, Kruyt tiba di Belanda[20] dan tinggal sementara bersama neneknya di Plaats 7 di Den Haag. Kedua kakak perempuannya juga tinggal di sana.[21] Pada bulan September pada tahun yang sama, dia pergi ke sekolah misionaris kecil, bagian dari "Huis Den Arend" di Rotterdam.[21] Ini adalah rumah bagi anak-anak misionaris di bawah arahan J.W. Roskes dan istrinya (putri direktur misi Neurdenburg).[21] Kruyt adalah bagian dari kelompok yang terdiri dari 11 anak laki-laki yang pergi ke sekolah yang berbeda. Kedua kakak laki-lakinya, Arie dan Hendrik sedang mengikuti pelatihan di sekolah misionaris yang lebih tinggi.[21] Arie mulai melakukan penginjilan pada tahun 1882 dan Hendrik menyusulnya pada tahun 1884. Kruyt sering kali melakukan kontak dengan para saudara laki-lakinya, misalnya dengan maksud untuk bertukar surat dari Mojowarno.[21]
Kruyt tidak punya teman sekolah yang cukup dekat. "Saya tidak membutuhkan mereka, dan ini terasa tidak disadari oleh yang lain".[22] Jika seseorang ingin berteman dengannya, ia cenderung menarik diri, bahkan meminta orang tersebut untuk pergi. Dia ingin membantu orang lain dan ia "suka bertemu dengan mereka", tetapi orang tidak harus memaksakan diri untuk akrab dan bergantung padanya. Di akhir hidupnya, dia sampai pada kesimpulan bahwa dia ingin melayani orang lain, namun dia juga tidak menginginkan jasa orang lain untuk dirinya sendiri.[23] Selama berada di Rotterdam, Kruyt jarang pergi ke gereja reformed. Ia tidak mengerti khotbahnya dan oleh karena itu mengunjungi Sekolah Minggu Asosiasi untuk Promosi Kasus Misionaris yang diadakan di Kapel NZG. Dia juga secara teratur pergi ke Gereja Katolik Roma. Selama liburan di Den Haag ia mengunjungi gereja anak-anak Bethlehem. Melalui neneknya dia menghubungi sepupunya Cornelis Hendricus van Rhijn, yang kemudian membimbing spiritual Kruyt selama krisis agama.
...Tidak ada alasan bagi kami untuk tidak memberikan ijazah kepadamu, mengingat nilai hatimu yang bersungguh-sungguh untuk menyampaikan Firman Tuhan kepada bangsa Kafir.
— Haagsche Commissie.
Pada tanggal 26 April 1884, Kruyt mengirimkan surat tertulis kepada dewan NZG dengan permohonan agar ia dapat mengikuti ujian masuk pelatihan misionaris.[24] Dia telah mendapatkan izin penuh dari ayahnya. Pada tanggal 15 September 1884, ia menyelesaikan ujian masuk.[25] Dalam ujian tersebut, Haagsche Commissie, komisi yang berhak menilai hasil studi dan minat seseorang dalam pekerjaan gerejawi menyatakan kelayakannya untuk menjadi seorang misionaris. Usia minimum untuk masuk adalah 15 tahun, sesuai dengan usianya saat itu.[25] Direktur Neurdenburg mendukung permohonan Kruyt meskipun usianya masih sangat muda, karena sudah sering terjadi kasus calon misionaris dalam pelatihan yang memutuskan untuk berhenti.[25] Dalam pandangannya, Neurdenburg berpendapat bahwa calon yang lebih muda memiliki semangat yang lebih baik dan hal ini akan memberikan jaminan yang lebih baik untuk menjalankan tugas. Saudara-saudaranya, Arie dan Hendrik termasuk kelompok pemuda pertama yang diterima.[26]
Mengingat pelatihannya yang menyeluruh, ujian Kruyt ini sangat mudah dan dia mendapat nilai yang lebih tinggi daripada calon siswa lainnya.[27] Suami-istri Roskes ditunjuk lagi sebagai pengelola sekolah[c][28] dan Kruyt kembali berada di bawah pengawasan dan pengaruh mereka. Kruyt sangat sederhana tentang motifnya dan pilihan untuk ujian masuk: "Tentu saja saya akan menjadi misionaris, dan saya tidak pernah diberi kesempatan untuk menjadi yang lainnya".[29] Namun, dia bertanya-tanya apakah hidupnya akan berbeda jika dia sebelumnya sudah memiliki ijazah HBS atau gimnasium yang akan dilewati. "Perjuangan besar yang harus saya selesaikan nanti, (...) membuat saya curiga bahwa jalan hidup saya akan berubah jika saya belum memberikan kata-kata saya kepada Misi".[30] Kruyt sampai pada kesimpulan bahwa tradisi yang sudah berakar di Sekolah Misionaris telah menentukan jalan hidupnya.[31]
Jadi, pada musim panas tahun 1884, saya mengajukan permintaan kepada dewan pusat Nederlandsch Zendeling Genootschap untuk mengikuti pelatihan; Umur saya belum 15 tahun saat itu. Kemudian saya sering bertanya-tanya: apa yang membawa saya hingga mengambil langkah seperti ini. Dan saya tidak dapat menemukan jawaban lain selain tradisi itu telah membawa saya ke sana.
Pelatihan misionaris berlangsung selama tujuh tahun, tiga tahun pertama digunakan untuk belajar bahasa dan matematika. Dalam empat tahun berikutnya, studi difokuskan pada teologi, sejarah misi, misiologi, bahasa-bahasa dan studi agama Hindia. Sepanjang studinya, ia belajar bahasa Melayu. Kruyt berkolaborasi dengan teman sekelasnya Tammo Jacob Bezemer dalam penelitian ini. Menjelang akhir pelatihan, mereka telah menguasai bahasa Melayu dengan baik dan mengujinya kepada direktur NZG dengan menggunakan surat kabar Minahasa, Tjahaja Sijang.[33] Ia juga belajar bahasa Jawa selama empat tahun. Melalui pelatihan Kruyt yang bagus, dia ditempatkan di kelas yang lebih tinggi dengan para calon misionaris yang lebih tua.[d] Melalui pelatihan persiapan dan pelajaran tambahan, Kruyt menganggap persiapannya lebih baik daripada yang lain.[35]
Pada tanggal 3 Oktober 1889, Kruyt dan Hein Hiebink Rooker mengikuti ujian untuk Komisi Urusan Gereja Protestan di Hindia Belanda dan Hindia Barat dengan hasil yang cukup baik.[36] Untuk melengkapi prestasi dalam studi dan persiapan untuk berangkat ke medan pekabaran injil, Kruyt menghabiskan satu tahun lagi untuk belajar tentang ilmu dan praktik kesehatan di Rumah Sakit Kotapraja Rotterdam di bawah asuhan dr. van der Hooven. Saat ia kembali ke Indonesia, ia banyak belajar mengenai cara-cara pendekatan kepada masyarakat melalui pelayanan kesehatan dari kakaknya Arie yang juga penginjil. Pada tahun yang sama, Kruyt bertemu dengan Johanna Hendrika Moulijn, yang di kemudian hari akan menjadi istrinya.[37] Kruyt ditahbiskan sebagai pendeta pada tanggal 19 Juli 1890,[e] dan menikahi Johanna pada tanggal 12 November 1890.[38]
Karier sebagai misionaris
Penempatan di Gorontalo
Di Hindia Belanda, Asisten Residen Gorontalo yang baru menjabat, Gerrit Willem Wolter Carel Baron van Höevell, khawatir dengan pengaruh kuat Islam di wilayah tersebut.[39] Fenomena ini membuat van Höevell melakukan upaya untuk menekan pengaruh Islam dengan cara meminta lembaga-lembaga pekabaran Injil untuk membuka pos baru di wilayah administrasinya. Kebetulan, NZG sedang mencari daerah misi baru, karena mereka khawatir akan mengalami surplus lulusan misionaris yang akan segera menjalankan misinya sendiri. Van Höevell menekan NZG untuk membuka misi di wilayahnya, sebelum akhirnya tawaran tersebut diterima oleh NZG.[40]
Pada tanggal 16 Juli 1890, dalam sebuah pertemuan dewan pusat NZG, Kruyt ditunjuk untuk memulai pekerjaannya di Hindia Belanda dan akan ditempatkan di Gorontalo.[41] Sempat terjadi permasalahan karena NZG tidak akan membayar biaya perjalanan untuk istrinya, yang juga akan ikut. Kruyt sempat memohon agar dewan setidaknya membantu membayar separuh biayanya, tetapi ditolak dengan alasan bahwa tindakan tersebut akan menimbulkan masalah internal dalam tubuh NZG. Biaya tersebut—sekitar 700ƒ—pada akhirnya dibayarkan oleh keluarganya.[42]
Periode pertama di Poso
Kruyt menginjakkan kakinya di pantai selatan Teluk Tomini, dekat muara Sungai Poso. Pada saat itu, wilayah pedalaman belum ditempati oleh pemerintah kolonial. Penduduk Poso saat itu tunduk pada Kerajaan Tojo melalui Papa i Melempo dari Kadombuku[43], dan kerajaan Sigi di wilayah Napu. Beberapa tahun kemudian, Nederlands Bijbelgenootschap (Lembaga Alkitab Belanda) mengirim ahli bahasa Nicolaus Adriani, untuk membantu Kruyt dengan menerjemahkan Alkitab. Mereka meninggalkan jejak mereka pada pekerjaan misionaris Belanda di Indonesia selama dekade pertama abad ke-20. Dalam banyak aspek, pendekatan Kruyt itu masih menggunakan sistem dari abad ke-19. Dia mencoba menemukan sekolah, belajar bahasa lokal, memberikan hadiah kecil untuk mereka yang hadir pada ibadah hari Minggu, dan memberikan bantuan medis untuk orang sakit dan terluka. Namun, dalam beberapa hal ia mengambil sikap yang berbeda.
Periode kedua di Poso
Pada awalnya, Kruyt, seperti para pendahulunya di bidang misi lainnya, mencoba untuk "membuktikan" bahwa roh-roh dan kekuatan yang ditakuti dan disembah oleh orang Toraja itu tidak nyata, dan tidak ada. Tetapi orang-orang tidak menerima pendapat "ilmiah"-nya. Kruyt memutuskan untuk memahami sikap mereka dan berhenti menyerang agama mereka secara langsung. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa Tuhan dengan pesan yang dia bawa bersamanya adalah lebih kuat daripada dewa lokal dan roh. Ini adalah tingkat berdebat yang bisa dimengerti orang. Beberapa tahun kemudian, untuk membuktikan hal tersebut, di sebuah desa ditata dua set kebun: satu disertai dengan ritual adat, yang lain tanpa ritual apapun, dengan tujuan untuk melihat mana yang akan melakukan lebih baik. Ketika tidak ada perbedaan sama sekali, desa tersebut menyatakan bahwa mereka siap untuk merangkul iman Kristen.
Namun, Kruyt berpendapat bahwa "serangan" langsung pada agama tradisional tidak cukup. Seperti pendahulunya dari abad ke-19, dia ingin pesan Injil untuk menembus ke dalam hati orang-orang dan membawa mereka ke pertobatan pribadi. Tapi lebih baik daripada mereka, dia mengerti bahwa untuk menyentuh bagian terdalam dari para pendengarnya, dia harus mengetahui pola yang berlaku dalam pikiran mereka. Jadi dia mulai mempelajari agama dan budaya setempat di beberapa daerah lain di Hindia Belanda dengan intensitas tanpa preseden dalam misi penginjilan, yang membuatnya salah satu ahli etnografi terkemuka pada masanya, dikutip juga oleh para sarjana asing, dan membuatnya mendapatkan gelar doktor Honoris Causa dari Universitas Utrecht pada tahun 1993. Mungkin apa yang membuatnya terobosan baru dalam aspek ini adalah fakta bahwa, sebagai rekannya yang berpikiran di Papua Barat, F.J.F. van Hasselt, adalah putra seorang misionaris, untuk siapa masyarakat adat dan cara mereka ada sesuatu yang ia lihat dari masa mudanya paling awal. Magnum opus-nya adalah De Bare'e-sprekende Toradja's van Midden-Celebes[44] (Orang-orang Toraja yang berbahasa Bare'e dari Sulawesi Tengah), berjumlah tiga volume, yang diterbitkan bersama-sama dengan Adriani.
Namun demikian, setelah tujuh belas tahun, pembaptisan pertama berlangsung. Bahkan, sejak 1898, salah satu pemimpin adat yang paling berpengaruh, Papa I Wunte, menyatakan kesiapannya untuk menjadi seorang Kristen. Namun, dari rasa tanggung jawab untuk kesatuan dan kesejahteraan rakyatnya, ia merasa ia tidak bisa mengambil langkah ini saja. Tidak seperti misionaris abad ke-19 pada umumnya, Kruyt menghormati sikap ini dan tidak mendesaknya untuk maju secara individual. Orang lain juga merasakan hal serupa, merasa tertarik dengan agama baru, tetapi mereka terlalu banyak melekat pada masyarakat tradisional. Selain itu, orang-orang di daerah Poso khawatir dengan Penguasa Muslim mereka di Tojo, yang secara resmi melarang mereka untuk mengubah agama mereka.
Kruyt, yang menyadari bahwa pekabaran Injil di Poso membutuhkan sarana pendukung strategis, yaitu mendirikan sekolah. Pada tahun 1891, Kruyt mulai banyak berkunjung ke desa-desa sekitar Poso Pesisir. Salah satu usaha yang dilakukan Kruyt adalah mendirikan sekolah di desa Panta dan Tomasa di wilayah Pebato (Poso Pesisir) yang merupakan sekolah pertama yang didirikan oleh Kruyt pada tahun 1891, dan disusul desa lainnya di wilayah Pebato diantaranya desa Malitu, Poso Pesisir Selatan.
Pada awalnya pembukaan sekolah-sekolah di wilayah Pebato menemui hambatan karena beberapa alasan, pertama, adanya pandangan masyarakat Poso bahwa sekolah bertujuan mendidik para budak Belanda. Kedua, adanya pandangan masyarakat bahwa biaya sekolah yang gratis merupakan daya tarik, tetapi kemudian akan diminta bayaran dan apabila tidak mampu membayar maka anak akan dijadikan jaminan. Ketiga, adanya tekanan dari Kerajaan Tojo dan Kerajaan Sigi, agar orang Poso tidak diizinkan untuk sekolah, karena akan menyaingi kepintaran mereka. Keempat, adanya anggapan masyarakat bahwa sekolah akan merusak kehidupan adat masyarakat poso. Kelima, sekolah akan merongrong kewibawaan orang tua, dan anak-anak tidak perlu pintar.
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga guru, AC. Kruyt sejak awal mendatangkan guru dari Minahasa, yaitu J. Sekeh, M. Kalengkongan, Kaligis, Kolondam, Posumah merupakan guru pertama yang datang ke Poso. Sejak tahun 1904 setiap desa di wilayah Poso mulai didirikan Sekolah Rakyat (Volkschool), dan masyarakat merasakan bahwa pendidikan sangat bermanfaat sehingga mereka mendukung pembangunan gedung sekolah secara swadaya. Kebutuhan tenaga guru masih tetap didatangkan dari Minahasa, tetapi karena jumlah Volkschool terus bertambah maka untuk mengatasi kebutuhan guru tahun 1915 didirikan Vervolgschool, dan lulusan Vervolgschool diangkat menjadi guru pada Volkschool (SR).
Menyadari akan kebutuhan guru yang terus meningkat, Kruyt memikirkan perlu mendirikan Sekolah Guru (Kweekschool), dengan maksud agar guru-guru Volkschool mulai direkrut dari orang-orang poso sendiri dan tidak tergantung guru dari luar daerah (Minahasa). Pemikiran Kruyt mendapat respon dari Nederlands Bijbelgenootschap (NBG) di Belanda, dan pada tanggal 27 Januari 1913, Hollandsche Indische Kweekschool (HIK) (Sekolah Guru) didirikan di Pendolo, dan Kruyt ditetapkan menjadi kepala sekolah dibantu oleh A. Possumah. Sekolah Guru Cursus for Volka Onderwijers (CVO) atau Opleiding for Volks Onderwijers (OVO) didirikan di Pendolo, dengan masa belajar 2 tahun, dengan jumlah murid angkatan pertama sebanyak 14 orang, masing-masing 1 orang dari Pebato, 1 orang dari Napu, 2 orang dari Bancea, 6 orang dari Wingke Poso, dan 4 orang dari Lage. Pada tahun 1917 didirikan Sekolah Bumi Putera Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Poso.
Bentuk pendidikan model barat, menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, dengan masa belajar 7 tahun. Murid sekolah ini diutamakan dari anak-anak golongan bangsawan dan tokoh terkemuka tanpa membedakan golongan etnis dan agama. Sampai tahun 1932, jumlah murid HIS sebanyak 167 orang, termasuk diantaranya 21 orang adalah penduduk asli Poso.
Pada akhir tahun 1893, Kruyt sudah menetap di Poso. Dalam perjalanan penginjilannya banyak kampung yang dipindahkan dari gunung dan mendekati jalan. Pada tahun 1896 Kruyt beserta Nicolaus Adriani mengadakan perjalanan jauh yang bertujuan untuk membebaskan seluruh penduduk di tanah Poso dari gerakan Monangu Buaja[45] (krokodilzwemmen) Datu Luwu di Palopo. Kruyt menuju Makassar dan meminta Gubernur Belanda di sana untuk memberikan surat pembebasan kekuasaan Datu Luwu melalui pembatalan Monangu Buaja[46] atas Tanah Poso. Dengan dikeluarkannya surat itu, Datu Luwu tidak dapat berbuat apa-apa dan kekuasaannya berakhir di tanah Poso. Atas usaha-usaha dan karyanya maka pada tahun 1897, Kruyt di anugerahi penghargaan Bintang Oranje Nassau oleh pemerintah Hindia Belanda.
Pada tahun 1932, Kruyt bersama istrinya kembali ke Belanda. Ia telah merintis penanaman benih Injil bagi penduduk di Tanah Poso. Di Belanda, Kruyt menjadi anggota pengurus Zending dan mencetus ide agar Sekolah Guru di Poso dikembangkan menjadi sekolah pendidikan Teologia karena Zending akan sulit menyesuaikan dengan kehidupan masyarakat Poso. Kruyt mengharapkan agar jemaat-jemaat hasil pekabaran injil di Sulawesi Tengah dapat mendirikan satu organisasi gerejawi sendiri. Harapan ini muncul setelah ia mendengar bahwa di Sulawesi Utara telah lahir Gereja Masehi Injil di Minahasa pada tahun 1934 dan di Maluku telah lahir Gereja Protestan Maluku pada tahun 1935.
Pada waktu itu terjadi Perang Dunia II, sehingga hubungan penginjilan terputus dan Zending mengalami banyak tekanan. Dalam keadaan tersebut, penatua-penatua dan para guru-guru jemaat mau tidak mau harus mandiri mengurusi jemaat masing-masing. Sesudah perang berakhir, maka kemandirian jemaat sudah teruji dan mulai berdirilah persekutuan gereja-gereja baru. Pada tanggal 18 Oktober 1947, Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) berdri dan menyatakan diri sebagai salah satu persekutuan gereja di Indonesia. Berita ini menjadi kesukaan bagi Kruyt dalam masa akhir hidupnya, dengan menyaksikan hasil karya penginjilannya berdiri jadi satu organisasi gerejawi.
Perjalanan ke seluruh Hindia Belanda dan kepergian
Setelah kepergiannya dari Poso, Kruyt melakukan perjalanan dari Minahasa ke Halmahera pada bulan Januari 1905,[47] dimana ia ingin memulai penelitiannya tentang "agama asli". Pada minggu pertama bulan Februari, Kruyt kembali dari Halmahera. Selama ia tinggal di Minahasa dari tanggal 6 sampai 26 Februari 1905, Kruyt bertemu dengan Samuel Schoch (1873-1912), yang merupakan asisten pengkhotbah di Sonder dari tahun 1903 sampai 1908. Schoch berencana untuk membangun rumah sakit, namun Kruyt berpikir dia lebih baik terlibat dalam studi tentang paganisme di Minahasa yang masih tersisa.
Setelah tinggal di Minahasa, Kruyt pergi ke Donggala. Di sana ia tinggal di rumah Asisten Residen A. J. N. Engelenberg. Selama periode ini, Kruyt sangat menyadari rencana intervensi militer di Sulawesi Tengah yang direncanakan Engelenberg. Engelenberg ingin menghindari kekerasan yang tidak perlu. Metode yang digunakan di Aceh memang cocok untuk menaklukkan orang, tetapi tidak untuk mengaturnya. Dalam surat-suratnya, Kruyt mengindikasikan bahwa dirinya setuju dengan rencana Engelenberg, demi kepentingan pekabaran Injil yang dirintisnya. Ia menulis, "dia menginginkan apa yang saya inginkan dalam misi penginjilan di bidang politik".[48]
Periode ketiga di Poso
Dinamika dan perkembangan untuk periode ketiga berjalan sangat cepat dan membuat Kruyt dan pekerjaannya berjuang untuk mengikuti laju perubahan.[49] Pada saat kembalinya Kruyt, Sulawesi Tengah telah ditempatkan di bawah kekuasaan Hindia Belanda melalui intervensi militer. Gerrit Noort menyebut selama periode ini, situasi Sulawesi Tengah masih dalam kondisi "tidak nyaman", terutama di wilayah Mori.[49][f] Segera setelah penaklukan, pemerintah mengumumkan banyak kebijakan yang memiliki dampak luas bagi penduduk Poso. Desa-desa harus dipindahkan dari puncak bukit ke lembah, pengenalan metode baru pertanian dan sawah, pembangunan jalan, melarang kebudayaan pagan dan animisme, begitu juga dengan menghentikan pengayauan.[49]
Berbagai kebijakan ini dianggap Kruyt akan mengarah pada transisi masyarakat menuju agama Kristen. Mereka yang mengalami kebingungan dan kegundahan hati nurani akan mencari perlindungan kepada misionaris, yang bertindak sebagai pemandu dalam situasi sosial masyarakat yang terus berubah.[49] Pembaptisan pertama ke agama Kristen terjadi pada tahun 1909, saat Papa i Wunte dan sejumlah pengikutnya dibaptis oleh Hofman. Proses ini kemudian terus berlangsung dengan lancar dalam beberapa tahun berikutnya. NZG segera mengirimkan beberapa misionaris untuk mendukung Kruyt, Hofman dan Adriani dalam pekerjaan mereka.[49]
Periode keempat di Poso
Pada tahun 1932, ketika diketahui bahwa dirinya akan dipulangkan dalam jangka pendek, Kruyt menerima sepucuk surat dari Snouck Hurgronje yang memberitahukan kepadanya bahwa kurator Universitas Leiden ingin mengusulkan Kruyt kepada pemerintah untuk diangkat sebagai direktur Museum Nasional Etnologi di Leiden.[50] Jika Kruyt bersedia menerima jabatan ini, maka ia akan diusulkan. Kruyt menyatakan bahwa dia dengan senang hati menerima tawaran ini, dan bahwa dia tidak keberatan dengan kemungkinan bahwa dirinya akan pergi lebih dini dari Poso. Kruyt membalas surat Snouck Hurgronje dan menyatakan bahwa ia siap menerima posisi barunya, meskipun ia diliputi keraguan perihal apakah dirinya bisa melakukan pekerjaan ini dengan baik.[50]
Kruyt telah menghabiskan sepanjang hidupnya di daerah terpencil dan dia ragu apakah dia bisa bekerja dengan baik di Eropa. Salah satu alasannya dalam menerima tawaran ini adalah karena Snouck menganggapnya cocok untuk posisi tersebut dan Kruyt berpendapat bahwa pekerjaan misionaris di Sulawesi Tengah tidak lagi dalam fase perintis, namun sudah berada dalam fase perkembangan.[50] Dalam pandangan Kruyt, sekolah-sekolah rakyat yang dirintisnya di sana memiliki peran yang penting dengan tujuan memahami Injil dengan lebih baik melalui pendidikan.[g] Atas pertimbangan ini, Kruyt melihatnya sebagai saat yang tepat untuk mengalihkan pekerjaannya kepada orang lain, dan itu adalah anaknya.[50] Pada tanggal 18 November 1932 di Pelabuhan Tanjung Priok, Kruyt dan istrinya menumpang kapal uap Kota Nopan dan pergi dari Hindia Belanda untuk selamanya. Pada saat keberangkatan mereka, sekitar 139 jemaat telah terbentuk dan lebih dari 25.330 anggota telah terdaftar. Setelah keberangkatan Kruyt, pertumbuhan gereja masih terus berlanjut.[50]
Kembali ke Belanda dan tahun-tahun terakhir
Awalnya Kruyt dan istrinya tinggal bersama keluarga di Nijmegen, namun pada akhir bulan Mei 1933 mereka pindah ke sebuah rumah di Schuytstraat di Den Haag.[51] Di Oegstgeest, dia menghadiri pertemuan dewan pusat NZG selama bertahun-tahun sebagai anggota yang "sangat berpengalaman dan berwibawa". Di Sekolah Pelatihan Misionaris NZG (Zendingsopleiding), ia bertugas sebagai seorang guru, dalam rangka memberikan pengetahuan dan wawasannya yang kaya kepada generasi yang lebih muda. Ketiadaan janji temu dengan relasi membuat Kruyt bisa fokus pada pekerjaan baru. Ia dapat membagi waktu antara pekerjaan administratif, kontak ilmiah dengan rekannya, publikasi dan penerbitan karyanya, serta mengajar di sekolah.[51]
Putranya Jan aktif berkirim surat dengannya,[52] sebagian besar untuk menginformasikan perkembangan misi di Sulawesi Tengah. Intensitas surat-menyurat ini sempat menurun setelah tahun 1935. Sekitar bulan April atau Mei 1935, putrinya Miep meninggal dunia akibat kecelakaan mobil. Kabar tentang kematiannya juga tidak ada dalam arsip surat keluarga.[53]
Hari besar dalam hidupnya adalah pada tanggal 18 Oktober 1947, ketika Gereja Kristen Sulawesi Tengah secara resmi didirikan, dengan jumlah keanggotaan yang mencapai 80.000 orang. Kejadian ini dinilai sebagai sebuah peristiwa yang sangat langka bagi Kruyt, setelah 55 tahun ia merintis pekabaran Injil dan bisa melihat hasil karyanya menjadi sebuah organisasi gerejawi yang berdiri sendiri.[54]
Kematian
Pada tanggal 19 Januari 1949, Kruyt meninggal dunia. Ia dimakamkan di pemakaman bernama Oud Eik en Duinen di Den Haag. Salib dengan teks bertuliskan "Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan", Kis 4:12, telah ditempatkan di atas makamnya.[55]
Pemikiran
Kruyt sangat dipengaruhi oleh konsep evolusi unilinear abad ke-19, yang merupakan evolusi dari perkembangan agama-agama.[56] Ia menghabiskan masa kecilnya dengan membaca karya-karya Jan Hendrik Scholten, seorang ilmuwan dari Universitas Leiden. Kruyt dibesarkan dan dilatih selama transformasi sejarah penting Belanda yang memiliki konsekuensi bagi misi religius dan kebijakan kolonial. Perkembangan Belanda sebagai negara demokratis modern sangat terkait dengan proses verzuiling (pilarisasi). Dinamika verzuiling yang terjadi di Belanda turut mempengaruhi pemikiran, teori, dan misinya. [57] Di usia matangnya, ia juga mengagumi karya para antropolog ternama seperti George Alexander Wilken dan Edward Burnett Tylor.[58] Pandangannya sangat dipengaruhi oleh pemikiran Johan Christiaan Neurdenburg, yang juga bersahabat dengannya. Walaupun pandangan Neurdenburg tentang perkembangan agama tidak dijelaskan lebih lanjut dibandingkan pandangannya terhadap perkembangan manusia, pemikirannya menjadi dasar bagi visi Kruyt tentang evolusi agama.[59]
Adat dan budaya
Dalam tugasnya sebagai misionaris, di tahun 1927 Kruyt menuliskan sebuah buku yang dia beri judul "Van Heiden Tot Christen" yang berisi pengajaran mengenai Agama Kristen kepada penduduk asli Toraja Poso-Tojo, dan juga pendekatan Kruyt mengenai misionaris yang didasarkan pada gagasan bahwa jika konversi —perpindahan ke agama Kristen— tidak memberikan hasil yang signifikan, maka konversi tersebut harus dilakukan secara bertahap dan dengan melibatkan seluruh komunitas masyarakat. Atas dasar ini, Kruyt mengalihkan fokus misinya kepada budaya, dengan tujuan untuk menghasilkan sebuah Volkskerk, gereja rakyat yang akan menjadi perwujudan masyarakat. Ia percaya bahwa konversi harus dilakukan secara bertahap.[60]
Ia juga mengkritik upaya pemerintah yang berusaha untuk membekukan adat dengan cara klasifikasi. Kruyt memperlakukan agama —setidaknya agama selain Kristen— sebagai budaya, tergantung pada kelenturan bentuk-bentuk budaya tersebut. Dalam hal ini, ia berpendapat bahwa adat bukanlah tradisi yang tetap, karena jika keadaan masyarakat berubah, adat itu sendiri juga akan ikut berubah.[61]
Agama dan kepercayaan
Kruyt banyak dipengaruhi oleh analisis Wilken, baik berkaitan dengan perkembangan historis dan sosial masyarakat dan berkaitan dengan konsep "animisme", yang menyatakan bahwa agama primitif adalah bentuk religiusitas asli. Pada awalnya, Kruyt membedakan tiga tahap perkembangan agama: yaitu Kekristenan sebagai tahap tertinggi dan animisme sebagai yang terendah, dia menguraikan konsep "spiritisme", tahap menengah, yang digambarkannya sebagai kepercayaan pada jiwa yang masih hidup setelah kematian. Ia kemudian akan menambahkan satu tahap baru ke dalam animisme: dinamisme. Kruyt menghubungkan perkembangan religius evolusioner dengan perkembangan sosial evolusioner. Sebelum tahun 1905, pemikiran Kruyt tentang animisme berangsur-angsur terbentuk dalam praktik pekerjaan misionaris yang dilakukannya di Sulawesi Tengah. Pandangan teologisnya tentang agama-agama sedikit merata.[62]
Kruyt merevisi salah satu teori perihal perbedaan animisme dan spiritisme. Ia menyebut animisme sebagai kepercayaan terhadap substansi jiwa yang umum,[63] sedangkan spiritisme sebagai kepercayaan yang menyembah jiwa dan roh tertentu, dapat dikenali, dan bersifat abadi. Animisme tercipta di bawah kondisi masyarakat "komunal" yang asli, di mana individu itu digolongkan secara kolektif. Kruyt menganggap spiritisme mewakili kemajuan evolusioner, dan menyebutkan bahwa sifat-sifat individualitas —biasanya oleh kepala suku— bisa saja muncul di tengah masyarakat.[64] Kruyt kemudian mengembangkan teorinya sendiri perihal agama manusia purba yang didasarkan oleh teori kekuatan supranatural yang dicetuskan oleh Robert Henry Codrington dan Robert Ranulph Marett. Teori Kruyt menyatakan bahwa manusia purba pada umumnya yakin bahwa ada zat halus —nama lainnya adalah zat sukma— yang memberi kekuatan untuk hidup dan bergerak kepada banyak hal di alam semesta. Zat halus ini, oleh Kruyt disebut zielestof dan terdapat dalam tubuh manusia, hewan dan tumbuhan.[h] Seseorang juga bisa menambahkan zielestof-nya dengan mengambil zat tertentu, misalnya darah. Kepercayaan terhadap zielestof, disebut Kruyt sebagai "animisme".[65] Teori ini dibuat berdasarkan kesimpulan yang ditariknya mengenai zat sukma, karena Kruyt sendiri belum pernah mendengar orang lain yang berbicara tentang hal ini.[66]
Antropologi dan etnografi
Pada periode sampai penerbitan buku Het Animisme in den Indischen Archipel (1906), pengaruh Wilken pada Kruyt dapat dilihat dalam penelitian etnologi awal yang dimulainya secara sistematis terhadap budaya dan agama orang toraja. Salah satu artikel etnologi pertama Kruyt, De legenden der Poso-Alfoeren aangaande de eerste menschen (1894), secara eksplisit mengacu pada Wilken di halaman pertama (dan juga yang terakhir) sehubungan dengan indikasi khas untuk konsep "jiwa". Dalam artikel ini, Kruyt menggambarkan data tentang mitos penciptaan yang berkembang di seputar orang toraja dan menyebutkan sejumlah kesamaan dengan kisah penciptaan yang bersifat alkitabiah. Walaupun ia menulis untuk majalah Mededeelingen NZG, sebuah ciri khas yang sangat mencolok dalam artikel tersebut menunjukkan bahwa ia tidak menambahkan apresiasi misiologis atau teologis terhadap mitos penciptaan. Dalam periode awal ini, Kruyt dengan jelas ingin membedakan penelitian etnologinya dengan pekerjaannya sebagai seorang misionaris.[62]
Kruyt memperkenalkan istilah Toraja untuk menyebut para penduduk yang mendiami wilayah pedalaman di tengah Pulau Sulawesi. Kata ini digunakan untuk menggantikan istilah Alifuru yang diperkenalkan oleh Johann Gerard Friedrich Riedel—karena dinilai merendahkan.[67] Kruyt kemudian mengkategorikan Toraja menjadi 3 kelompok, yaitu Grup Sadang yang umumnya menetap di lembah Sadang, Grup Parigi-Kaili yang menghuni Lembah Palu dan pesisir Teluk Tomini, serta Grup Poso-Tojo yang sebagian besar berdiam di wilayah sekitar sungai dan Danau Poso, juga di wilayah Tojo.[68] Klasifikasi yang dilakukan oleh Adriani juga serupa, hanya saja sedikit berbeda dalam prosesnya. Jika klasifikasi Kruyt merupakan hasil dari penelitian etnografinya, maka klasifikasi versi Adriani lebih ditekankan pada kajian linguistik. Adriani menggunakan istilah Toraja Barat untuk Grup Parigi-Kaili dan Toraja Timur untuk Grup Poso-Tojo.[69]
Labelisasi ini bukannya tidak ditentang oleh para akademisi lainnya. Walter Kaudern, seorang etnolog Swedia, mengkritik penerapan label Toraja secara luas oleh Kruyt.[70] Kaudern kemudian membagi lagi tiga kategori Toraja versi Kruyt menjadi empat kategori. Ia tetap mempertahankan kelompok Toraja Poso-Tojo (Timur) dan Sadang (Selatan) dan kemudian membagi Toraja Parigi-Kaili (Barat) menjadi kategori Toraja Palu dan Toraja Koro.[70] Para peneliti dan akademisi lain seperti Priyanti Pakan, Mashudin Masyhuda, Andi Mattulada, dan Lorraine Aragon juga menolak penerapan istilah Toraja bagi penduduk Sulawesi Tengah.[71]
Politik dan pemerintahan
Kruyt adalah satu-satunya orang Belanda—selain Adriani—yang memiliki pengetahuan mendalam tentang wilayah Poso. Pengaruh politik yang diperoleh Kruyt menjadi jelas ketika seorang pangeran kerajaan Tojo, yang merupakan pesaing dagang Ong Hi Bie, dilarang untuk berdagang oleh pemerintah Hindia Belanda atas permintaannya pada tahun 1897.[40] Pada tahun 1905, sepuluh tahun setelah kontrolir pertama ditempatkan di Poso, Kruyt —yang memiliki kemampuan bahasa, budaya dan memahami struktur kekuasaan di wilayah ini— bertindak sebagai perpanjangan tangan pemerintah, penerjemah, dan penasihat administrasi untuk kontrolir.[72] Ia menyatakan bahwa salah satu faktor utama dari keterbelakangan daerah ini, adalah tingkat populasi yang rendah. Fenomena ini dipengaruhi oleh sistem perbudakan serta tingkat kematian anak yang berkisar antara 22 dan 57%, ketidaktahuan tentang sistem kebersihan dasar dan ditambah dengan arsitektur rumah tradisional yang memungkinkan penyebaran penyakit. Metode pertanian tradisional dan intensitas kerja dalam metode tersebut memperburuk kemungkinan dalam melahirkan anak. Kelangkaan populasi, menurut Kruyt, menciptakan kelebihan pasokan tanah, yang pada gilirannya merampas setiap stimulasi dari penduduk untuk memperbaiki metode pertanian mereka.[73]
Setelah wilayah Poso ditaklukkan dalam serangkaian kampanye militer pada tahun 1906, Kruyt sebagai "penasihat kepercayaan pemerintah", menjalin kerja sama dengan Departemen Pemerintahan Dalam Negeri Hindia Belanda (Binnenlands Bestuur) dalam menentukan kebijakan dan prioritas untuk wilayah yang baru ditaklukkan.[6] Ini termasuk kebijakan relokasi dan penyatuan desa, penghapusan perbudakan, perburuan kepala dan dukun, dan adopsi sawah padi.[74]
Setelah kepulangannya ke Belanda, Kruyt menduduki berbagai posisi administratif, seperti keanggotaan dewan NZG dan posisi dalam manajemen inti dari lembaga misi yang bekerja sama.[75] Ia terus menghadiri pertemuan dewan sampai tahun 1949, tahun kematiannya. Kruyt, yang menduduki posisi sebagai direktur, menyuarakan berbagai pendapat terkait pekerjaan misionaris. Mereka yang ingin pergi untuk menjalankan misi pekabaran Injil harus lulus dari sekolah misionaris terlebih dahulu.[75] Ia berpendapat bahwa akademisi berpendidikan Barat tidak akan cukup mampu membuka gagasan orang Indonesia dan karena itu tidak cocok untuk memimpin orang-orang yang masih memeluk animisme untuk beralih ke agama Kristen.[76]
Teologi
Kruyt berpendapat bahwa Kristenisasi dan konversi ke agama Kristen tidak selamanya beriringan. Ia menyadari bahwa transisi ke iman dan kepercayaan Kristen akan berlangsung berdasarkan keputusan kolektif, yang akan diinisiasi oleh seseorang yang memiliki posisi penting di masyarakat. Kruyt menginginkan mereka yang mengakui iman dan kepercayaan Kristen adalah "orang-orang terbaik" dari suku yang masih kafir dan masih mempertahankan kebiasaan primitif. Ia yakin bahwa pertobatan individual hanya akan memainkan peran subordinat dalam transisi ke iman Kristen sehingga dia tidak mengharapkan pembalikan spiritual yang mendalam dalam diri mereka yang telah menjadi orang Kristen.[77] Kruyt mengharapkan iman "spiritual" yang sesungguhnya, yang mana unsur magis itu akan hilang dalam jangka pendek. Perhatiannya berlanjut pada pengembangan iman secara bertahap: karakter spiritual kepercayaan kepada Tuhan akan mulai tumbuh dalam proses yang lamban. Ido Hendricus Enklaar menulis dalam kaitan ini bahwa Kruyt benar-benar asing terhadap semua emosi dan pertobatan buta.[78]
Warisan
Kruyt secara luas dianggap sebagai pionir dalam bidang etnologi dan misiologi di Hindia Belanda, terutama di Sulawesi Tengah. Joost Coté menyebutnya sebagai misionaris "paling penting" di luar Pulau Jawa pada akhir era kolonial Hindia Belanda.[79] Ia menambahkan bahwa pengaruh Kruyt dalam membentuk wacana misionaris modern sangatlah penting.[80] Karya-karyanya disebut sebagai pembuka jalan baru untuk memahami adat tentang budaya kesukuan yang terasing dan mampu merintis jauh melampaui lingkup bidang aktivitasnya di Sulawesi Tengah.[81] Steven van Randwijck menyebutnya sebagai "pelopor", melalui pembaharuan metodologi misionarisnya dan melalui upayanya untuk lebih memahami masyarakat pagan dengan agama suku mereka, dan menambahkan bahwa Kruyt telah menerima otoritas yang "tidak tertandingi" di dalam lingkaran pekerjaan misi.[82]
"Kruyt —seorang misionaris, penerjemah alkitab, peneliti dan etnografer— sosok yang telah wafat, di kalangan masyarakat Belanda, menjadi sosok yang terkenal dan sangat terhormat."
Willem Rassers, Herdenking van Albertus Christiaan Kruyt[83]
Willem Rassers menyebut Kruyt menjadi sangat dikenal dan dihormati di Belanda.[83] Thomas van den End juga menunjukkan pengaruh besar Kruyt. Ia membahas visi Kruyt dalam dua pertimbangan umum tentang misi dan sejarah gereja di Indonesia. Pertimbangan pertama —tentang misionaris dan kebijakannya— berkaitan dengan munculnya pemikiran evolusioner dan pengaruhnya terhadap pemikiran misionaris perihal agama dan budaya. Van den End menyebut pengaruh Kruyt terhadap metodologi misionaris sangatlah hebat, namun juga menyebutkan bahwa misi Reformed dan evangelikal menolak visi evolusionernya. Gerrit Noort menganggap ini merupakan pengamatan yang benar, namun gagasan evolusioner Kruyt tidak dimiliki oleh siapa pun di kalangan Gereja Reformed.[84]
Karya
"Dorongan dari berbagai pihak agar saya menerbitkan tulisan saya dalam bentuk cetak, dan dengan pertimbangan bahwa saudara-saudara saya di Hindia Belanda dapat menguji pengalaman mereka sendiri dengan menggunakan tulisan saya, membuat saya memutuskan untuk menerbitkan materi-materi ini. Semoga edisi ini berfungsi untuk mempromosikan karya Misi yang menyenangkan dan indah."
Albertus Christiaan Kruyt, De Inlander en de Zending[85]
Pekerjaannya sebagai seorang misionaris dan etnografer, dituangkan dalam bentuk tulisan. Kruyt termasuk seorang penulis yang produktif, ratusan karya yang ditulisnya telah diterbitkan dalam berbagai bentuk.[54] Pada awal masa kerjanya, ia banyak menyumbangan kontribusi untuk majalah tahunan NZG, Mededeelingen van wege het Nederlandsch Zendelinggenootschap. Kruyt berpendapat karya-karyanya bukan hanya diterbitkan untuk meningkatkan minat dan ketertarikan orang terhadap pekabaran Injil, tetapi juga untuk mempromosikannya.[85]
Selain rangkaian artikelnya yang ditulisnya di majalah dan surat kabar, beberapa di antaranya telah diterbitkan dalam bentuk buku, seperti Het Animisme in den Indischen Archipel (1906), Van Heiden Tot Christen (1927), Zending en Volkskracht (1937) dan banyak artikel terpisah lainnya yang membahas kehidupan penduduk asli di Sulawesi Tengah. Karya besarnya adalah buku De Bare'e-sprekende Toradja's van Midden-Celebes yang diterbitkan pada tahun 1912. Kruyt menulis dua volume pertama dan Adriani menulis volume yang ketiga tentang bahasa Pamona.[86]
Setelah kematian Adriani, Kruyt melanjutkan terjemahan alkitab dalam bahasa Pamona yang tertunda. Proyek ini selesai pada tahun 1933, setahun setelah ia kembali ke Belanda. Kembalinya Kruyt ke Belanda meningkatkan produktivitasnya. Ia sekarang bisa menyusun dan menerbitkan sejumlah besar materi dan dokumen yang dikumpulkannya selama berada di Sulawesi Tengah. Kruyt juga menyiapkan edisi kedua versi revisi untuk buku De Bare'e-sprekende Toradja's van Midden-Celebes yang terbit pada tahun 1951.[54]
Produktivitas Kruyt yang begitu besar, membuat banyak orang terkejut. Saat ia ditanya perihal bagaimana mungkin dia bisa menemukan waktu untuk menulis begitu banyak artikel di tengah pekerjaannya sebagai seorang misionaris, dia memberikan jawaban berikut: "Ketika saya menghabiskan banyak waktu di rumah, saya sering kali kesulitan tidur. Saat saya bangun, ide untuk menulis artikel datang begitu saja kepada saya, dan kemudian akan terulang pada malam berikutnya. Ini membuat saya memiliki waktu untuk mengatur atau merevisi ulang tulisan yang saya buat. Dan saat saya pulang ke rumah, saya hanya perlu menuliskannya".[87]
Publikasi pilihan
Karyanya yang terkenal, antara lain:
- Het Animisme in den Indischen Archipel (1906)
- De Bare'e-sprekende Toradja's van Midden-Celebes (1912, 1914, 1951) dengan Adriani
- Van Heiden Tot Christen (1927)
- De West-Toradjas op Midden-Celebes (1938)
Kehidupan pribadi
Kontak yang dijalinnya dengan seorang mahasiswa teologi di Utrecht mempertemukan Kruyt dengan istrinya. Cornelis Didericus Moulijn, seorang mahasiswa —yang nanti akan menjadi iparnya— dan sekaligus teman dari Jan Gerretsen,[88] mulai menjalin kontak dengan Kruyt karena ia juga ingin menjadi misionaris. Moulijn kemudian diterima untuk mengikuti pelatihan misionaris.[89] Selama hari libur Paskah tahun 1889, Kruyt menghabiskan waktu di Nijmegen dengan keluarga Moulijn dan berkenalan dengan istrinya di masa depan —Johanna Hendrika Moulijn[90]— dan mulai menjalin hubungan dengannya. Pada tahun 1889, ia meminta izin kepada dewan NZG untuk bertunangan. Melalui surat bertanggal 30 Juni 1890, ia meminta izin untuk menikah tepat sebelum dikirim ke Hindia Belanda.[37] Dewan menerima permintaan ini, dan mereka menikah pada tanggal 12 November 1890.[38]
Lihat pula
Catatan
- ^ Menurutnya, tanpa pengetahuan etnologis yang memadai, usaha dalam mengabarkan Injil tidak mungkin berhasil. Kruyt berpendapat bahwa seorang misionaris harus memahami hubungan antara pemikiran dan kehidupan masyarakat tempatnya bekerja demi memenangkan hati mereka agar mau memeluk Kristen.[8] Ia lebih memilih penduduk lokal memeluk Kristen secara sukarela daripada melalui paksaan.[9]
- ^ Fiep Kruyt mencantumkan delapan anak (De Kruyten van Mojowarno, een familieverhaal, met herinneringen, Surabaya/Oegstgeest, 1982, hal 76). Data dari status sipil Gravenhage menunjukkan bahwa ini tidak benar. Fiep Kruyt tidak menyebut anak ketiga, Marinus —lahir pada tahun 1829 dan meninggal tak lama setelah dilahirkan— dalam gambaran umum. Seperti yang terjadi pada saat itu, anak kelahiran tahun 1831 ini juga bernama Marinus. Kebetulan, beberapa data dalam bagan silsilah keluarga tidak benar. Jadi, menurut gambaran umum, putri tertua Arie Kruyt dan Constantia Rooker lahir pada tahun 1882. Namun, arsip negara borjuis di Indonesia di Gravenhage menunjukkan bahwa Arie dan Constantia menikah pada tanggal 30 April 1885. Dorothea bukannya lahir pada tahun 1882, melainkan pada tahun 1886.
- ^ Kruyt menyatakan Roskes menjabat sebagai "Wakil Direktur".
- ^ Teman sekelasnya adalah J. K. Wijngaarden, A. Hulstra, E. W. G. Graafland, J. S. de Vries, Hein Hiebink Rooker, dan Tammo Jacob Bezemer.[34]
- ^ Klaas Jan Brouwer secara keliru melaporkan bahwa peristiwa ini terjadi pada tanggal 16 Juli 1890 di Rotterdam, dan di saat yang sama Kruyt juga menandatangani penunjukannya sebagai misionaris. Brouwer gagal membedakan antara kewajiban dan penahbisan Kruyt.
- ^ Dalam sebuah telegram dari Engelenberg, yang diterimanya tepat sebelum kembali ke Minahasa, melaporkan bahwa tujuh tentara yang berada di Kerajaan Mori, dilaporkan gugur dalam pertempuran. Penyelidikan pemerintah menunjukkan bahwa tentara Hindia Belanda yang memicu kerusuhan dengan berani menghina raja. Pemerintah kemudian mengirim ekspedisi yang didukung 120 tentara ke daerah tersebut. 100 orang prajurit Mori meninggal saat mereka mencoba melakukan perlawanan, dan peristiwa ini dikenal dengan nama Perang Wulanderi.[49]
- ^ Kruyt berbicara dengan gubernur jenderal saat kembali ke Belanda dan mengungkapkan keprihatinannya tentang masa depan sekolah rakyat yang dirintisnya. Ia juga menunjukkan keprihatinannya yang besar tentang kedatangan misi Katolik Roma ke Poso.
- ^ Menurut Kruyt, bagian tubuh manusia yang mengandung lebih banyak zielestof dari yang lain adalah kepala, rambut, kuku, pusat gigi, air liur, keringat, air mata, urine, dan kotoran.
Referensi
Catatan kaki
- ^ Enklaar 1978, hlm. 111; Schrauwers 2000, hlm. 5; Aragon 2000, hlm. 101.
- ^ Enklaar 1978, hlm. 111; Keane 2007, hlm. 97-98.
- ^ Aragon 2000, hlm. 101; Coté 2010, hlm. 12.
- ^ Henley 2005, hlm. 47.
- ^ Aragon 2000, hlm. 104.
- ^ a b c Schrauwers 2000, hlm. 9.
- ^ Kruyt 1915, hlm. 86-87.
- ^ Schoor-Lambregts 1992, hlm. 104.
- ^ Aragon 2000, hlm. 103.
- ^ Coté 2010, hlm. 14; Hefner 2001, hlm. 575.
- ^ Rassers 1949, hlm. 163.
- ^ Noort 2006, hlm. 502.
- ^ a b c Kruyt 1944, hlm. 1.
- ^ Noort 2006, hlm. 12.
- ^ Kruyt 1944, hlm. 2; Noort 2006, hlm. 13.
- ^ a b Kruyt 1944, hlm. 4.
- ^ Kruyt 1944, hlm. 5-6; Noort 2006, hlm. 18.
- ^ Kruyt 1944, hlm. 5.
- ^ Kruyt 1933, hlm. 4-5; Noort 2006, hlm. 19.
- ^ Schrauwers 2000, hlm. 52.
- ^ a b c d e Noort 2006, hlm. 19.
- ^ Kruyt 1939a, hlm. 4.
- ^ Kruyt 1939a, hlm. 6-7; Noort 2006, hlm. 23.
- ^ Kruyt 1884, hlm. 1.
- ^ a b c Noort 2006, hlm. 22.
- ^ Kruyt 1944, hlm. 12; Kruyt 1939b, hlm. 17-18.
- ^ Kruyt 1939b, hlm. 22.
- ^ Kruyt 1939b, hlm. 17; Kruyt 1939b, hlm. 32.
- ^ Kruyt 1939b, hlm. 17.
- ^ Kruyt 1939b, hlm. 17-18.
- ^ Noort 2006, hlm. 23.
- ^ Kruyt 1939b, hlm. 19-20.
- ^ Kruyt 1939b, hlm. 28.
- ^ Noort 2006, hlm. 24.
- ^ Noort 2006, hlm. 23-24.
- ^ Noort 2006, hlm. 26.
- ^ a b Noort 2006, hlm. 27.
- ^ a b Extract-Acten NZG 1890a, hlm. 116; Noort 2006, hlm. 27.
- ^ Noort 2006, hlm. 28; Blessing 2007.
- ^ a b Blessing 2007.
- ^ 1890b 1890c.
- ^ Noort 2006, hlm. 27-28.
- ^ Aanrakingen met den Djena van Todjo, De Bare'e-Sprekende de Toradja Van midden celebes jilid 1 halaman 139-140, [1].
- ^ silahkan Download Bukunya : De Bare'e-sprekende Toradja's van Midden-Celebes jilid 1, [2].
- ^ Sumber buku "POSSO" LIHAT & DOWNLOAD HALAMAN 151: MONANGU BUAJA (krokodilzwemmen), [3].
- ^ POSSO, HALAMAN 151: MONANGU BUAJA (krokodilzwemmen), [4].
- ^ Kruyt 1904, hlm. 1.
- ^ Noort 2006, hlm. 62.
- ^ a b c d e f Noort 2006, hlm. 69.
- ^ a b c d e Noort 2006, hlm. 105.
- ^ a b Noort 2006, hlm. 106.
- ^ Noort 2006, hlm. 106-107.
- ^ Noort 2006, hlm. 107.
- ^ a b c Enklaar 1978, hlm. 112.
- ^ Noort 2006, hlm. 115.
- ^ Noort 2006, hlm. 153.
- ^ Schrauwers 2000, hlm. 33-34.
- ^ Noort 2006, hlm. 161.
- ^ Noort 2006, hlm. 162.
- ^ Keane 2007, hlm. 98.
- ^ Keane 2007, hlm. 106.
- ^ a b Noort 2006, hlm. 164.
- ^ Keane 2007, hlm. 99; Limba et al. 2016, hlm. 1651.
- ^ Keane 2007, hlm. 99.
- ^ Limba et al. 2016, hlm. 1651.
- ^ Baal 1987, hlm. 136.
- ^ Schrauwers 2000, hlm. 31.
- ^ Kaudern 1925a, hlm. 26-27; Kaudern 1925b, hlm. 1; Aizawa 2014, hlm. 164.
- ^ Kaudern 1925b, hlm. 1.
- ^ a b Kaudern 1925b, hlm. 2-3; Aragon 2000, hlm. 53.
- ^ Aragon 2000, hlm. 2.
- ^ Coté 1995, hlm. 261; Coté 1995, hlm. 261-262.
- ^ Coté 1995, hlm. 262; Coté 1995, hlm. 98.
- ^ Coté 1996, hlm. 98.
- ^ a b Noort 2006, hlm. 108.
- ^ Noort 2006, hlm. 109.
- ^ Noort 2006, hlm. 328.
- ^ Noort 2006, hlm. 328-329.
- ^ Coté 2003, hlm. 172-173.
- ^ Coté 2003, hlm. 173.
- ^ Schreiner 1969, hlm. 92.
- ^ Randwijck 1981, hlm. 392-395; Randwijck 1981, hlm. 410-416.
- ^ a b Rassers 1949, hlm. 170.
- ^ End 1987, hlm. 280-320.
- ^ a b Schoor-Lambregts 1992, hlm. 101.
- ^ Boetzelaer 1949, hlm. 145.
- ^ Boetzelaer 1949, hlm. 144.
- ^ Antonides 1997, hlm. 15.
- ^ Extract-Acten NZG 1888, hlm. 117.
- ^ Kruyt 1944, hlm. 18.
Sumber
Buku
- Adriani, Nicolaas (1919). Posso (Midden-Celebes). Onze Zendingsvelden (2). Den Haag: Boekhandel van den Zendingsstudie-Raad. OCLC 568759182.
- Aragon, Lorraine (2000). Fields of the Lord: Animism, Christianity, and State Development in Indonesia. Honolulu: University of Hawai'i Press. ISBN 978-0-82-482303-0. LCCN 99058189.
- Aritonang, Jan Sihar; Steenbrink, Karel Adriaan (2008). A History of Christianity in Indonesia. Studies in Christian Mission (35). Leiden: Brill Publishers. ISBN 978-9-00-417026-1. LCCN 2008031321.
- Baal, Jan van (1987). Sejarah dan pertumbuhan teori antropologi budaya (hingga dekade 1970). Diterjemahkan oleh Piry, J. Gramedia. ISBN 978-9-79-403210-7.
- Boekhoven, Jerome W. (2011). Genealogies of Shamanism: Struggles for Power, Charisma and Authority. Groningen: Barkhuis. ISBN 978-9-07-792292-7. LCCN 2012450163.
- Coté, Joost (2008). Realizing the Dream of R.A. Kartini: Her Sisters' Letters from Colonial Java. Southeast Asia Series (114). Athens: Ohio University Press. ISBN 978-0-89-680253-7. LCCN 2007045856.
- Crawley, Alfred Ernest (1909). The Idea of the Soul. London: A & C Black. OCLC 609115719.
- Damousi, Joy; Plotkin, Mariano Ben (2008). The Transnational Unconscious: Essays in the History of Psychoanalysis and Transnationalism. Palgrave Macmillan Transnational History Series. New York: Palgrave Macmillan. doi:10.1057/9780230582705. ISBN 978-0-23-058270-5. LCCN 2008029954.
- Domenig, Gaudenz (2014). Religion and Architecture in Premodern Indonesia: Studies in Spatial Anthropology. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (294). Leiden: KITLV Press. doi:10.1163/9789004274075. ISBN 978-9-00-427407-5. LCCN 2014934643.
- End, Thomas van den (1987). Ragi carita 1. Ragi carita (edisi ke-1). BPK Gunung Mulia. ISBN 978-9-79-415188-4. LCCN 88940223.
- End, Thomas van den (1999). Ragi carita: 1860-sekarang. Ragi carita (edisi ke-2). BPK Gunung Mulia. ISBN 978-9-79-415606-3. LCCN 99503367.
- Hasan; Darwis; Mahid, Syakir; Sadi, Haliadi (2004). Sejarah Poso. Yogyakarta: Tiara Wacana. ISBN 978-979-9340-50-4. LCCN 2004336767.
- Hauser-Schäublin, Brigitta (2013). Adat and Indigeneity in Indonesia: Culture and Entitlements between Heteronomy and Self-Ascription. Göttingen Studies in Cultural Property (7). Groningen: Universitas Göttingen. ISBN 978-3-86-395132-0.
- Henley, David (2005). Fertility, Food and Fever: Population, Economy and Environment in North and Central Sulawesi, 1600-1930. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (201). Leiden: KITLV Press. ISBN 978-9-06-718209-6. LCCN 2006402352.[pranala nonaktif permanen]
- Kaudern, Walter (1925a). Structures and settlements in Central Celebes. Ethnographical studies in Celebes (1). Göteborg: Martinus Nijhoff. LCCN 30024017. OCLC 743498527.
- Kaudern, Walter (1925b). Migrations of the Toradja in Central Celebes. Ethnographical studies in Celebes (2). Den Haag: Elanders Boktryckeri Aktiebolag. OCLC 310897341.
- Kaudern, Walter (1927). Musical Instruments in Celebes. Ethnographical studies in Celebes (3). Göteborg: Elanders Boktryckeri Aktiebolag. OCLC 879557462.
- Kaudern, Walter (1929). Games and Dances in Celebes. Ethnographical studies in Celebes (4). Göteborg: Elanders Boktryckeri. OCLC 677024719.
- Kaudern, Walter (1938). Megalithic Finds in Central Celebes. Ethnographical studies in Celebes (5). Göteborg: Elanders Boktryckeri Aktiebolag. OCLC 677024721.
- Keane, Webb (2007). Christian Moderns: Freedom and Fetish in the Mission Encounter. The Anthropology of Christianity. Berkeley: University of California Press. ISBN 978-0-52-093921-9. LCCN 2006019220.
- Kuitenbrouwer, Maarten (2013). Poeze, Harry A., ed. Dutch Scholarship in the Age of Empire and Beyond: KITLV - The Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, 1851-2011. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (289). Diterjemahkan oleh Granger, Lorri. Leiden: Brill Publishers. ISBN 978-9-00-426036-8. LCCN 2013031403.
- Kutoyo, Sutrisno (2005). Sejarah Daerah Sulawesi Tengah. Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Tengah.
- Mahid, Syakir; Sadi, Haliadi; Darsono, Wilman (2012). Sejarah Kerajaan Bungku. Yogyakarta: Penerbit Ombak. ISBN 978-602-7544-09-3.
- Nooy-Palm, Hetty (1979). The Sa'dan Toraja: A Study of their Social Life and Religion. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (87). Den Haag: Martinus Nijhoff Publishers. doi:10.26530/OAPEN_613382. ISBN 978-9-00-428718-1. LCCN 80503174.
- Ooi, Keat Gin (2004). Southeast Asia: A Historical Encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor. 1. Santa Barbara: ABC-CLIO. ISBN 978-1-57-607770-2. LCCN 2004004813.
- Sarasin, Paul; Sarasin, Fritz (1905). Reisen in Celebes: Ausgeführt in den Jahren 1893-1896 und 1902-1903. Wiesbaden: C. W. Kreidel. OCLC 582320576.
- Schrauwers, Albert (2000). Colonial 'reformation' in the Highlands of Central Sulawesi, Indonesia, 1892–1995. Anthropological Horizons (14). Toronto: University of Toronto Press. ISBN 978-0-80-208303-6. LCCN 00698098.
- Schrauwers, Albert (1998). "Returning to the "Origin": Church and State in the Ethnogenesis of the "To Pamona"". Dalam Kahn, Joel S. Southeast Asian Identities: Culture and the Politics of Representation in Indonesia, Malaysia, Singapore, and Thailand. Singapura: I.B.Tauris. hlm. 203–226. ISBN 186-0642-43-8.
- Waterson, Roxana (2009). Paths and Rivers: Sa'dan Toraja society in transformation. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (253). Leiden: Brill Publishers. doi:10.26530/OAPEN_377535. ISBN 978-9-06-718307-9. LCCN 2009521561.
- Weber, Robert (2006). Kulturlandschaftswandel in Zentralsulawesi: historisch-geographische Analyse einer indonesischen Bergregenwaldregion. Göttingen: Universitas Göttingen. doi:10.17875/gup2006-224. ISBN 393-8616-52-0.
- Zwemer, Samuel Marinus (1920). The Influence of Animism on Islam: An Account of Popular Superstitions. New York: Palgrave Macmillan. LCCN 20008879.
Jurnal
- Acciaioli, Greg (2010). "Lake and Land at Lindu: Imposition, Accommodation and Contestation in the Revaluation of Resources in Upland Central Sulawesi". Asian Journal of Social Science. Brill. 38 (2): 239–257. doi:10.1163/156853110X490926.
- Cannell, Fenella (2008). "Reviewed Work(s): Christian Moderns: Freedom and Fetish in the Mission Encounter by Webb Keane". Indonesia. Southeast Asia Program Publications. 85: 147–159. JSTOR 40376450.
- Coté, Joost (1995). "Imperialism and the Progressive Education Movement: Schooling in Colonial Sulawesi". Paedagogica Historica. 31 (1): 253–277. doi:10.1080/00309230.1995.11434848.
- Coté, Joost (1996). "Colonising Central Sulawesi. The 'Ethical Policy' and Imperialist Expansion 1890–1910". Itinerario. 20 (3): 87–107. doi:10.1017/S0165115300003983.
- Coté, Joost (2003). "'A Conglomeration of […] often Conflicting Ideas': Resolving the 'Native Question' in Java and the Outer Islands in the Dutch East Indies, 1900-1925". Itinerario. 27 (3-4): 160–188. doi:10.1017/S0165115300020817.
- Coté, Joost (2011). "Creating Central Sulawesi: Mission Intervention, Colonialism and 'Multiculturality'". BMGN - Low Countries Historical Review. 126 (2): 2–29. doi:10.18352/bmgn-lchr.7308.
- End, Thomas van den (1983). "Dutch Protestant Mission Activity: A Survey". Itinerario. 7 (1): 86–108. doi:10.1017/S0165115300012213.
- Falikhah, Nur (2012). "Santet dan Antropologi Agama". Alhadharah: Jurnal Ilmu Dakwah. Universitas Islam Negeri Antasari. 11 (22): 129–138. doi:10.18592/alhadharah.v11i22.1777.
- Hefner, Robert W. (2001). "Fields of the Lord: Animism, Christian Minorities, and State Development in Indonesia". Book Reviews - Antropology of religion. Journal of the Royal Anthropological Institute. John Wiley & Sons. 7 (3): 575–576. doi:10.1111/1467-9655.00079.
- Henley, David (2004). "Conflict, Justice, and the Stranger-King Indigenous Roots of Colonial Rule in Indonesia and Elsewhere". Modern Asian Studies. Cambridge University Press. 38 (1): 85–144. doi:10.1017/S0026749X04001039.
- Hertz, Robert (1909). "Reviewed Work: Het Animisme in den Indischen Archipel by Alb. C. Kruijt". Revue de l'histoire des religions. Association de la Revue de l’histoire des religions. 60: 352–360. JSTOR 23662503.
- Ko, Kevin E. (2016). "The Anatomical Perspective: Epistemology and Ethics in a Colonial Missionary Clinic". Book Reviews - Southeast Asia. Comparative Studies in Society and History. Cambridge University Press. 58 (1): 211–241. doi:10.1017/S0010417515000626.
- Limba, Rekson Solo; Widayati, Weka; Ola, Taane La; Suyuti, Nasrudin (2016). "Local Wisdom of Indigenous Moronene in Shifting Cultivation System in Bombana District" (PDF). International Journal of Science and Research. 5 (3): 1649–1655.
- Mauss, M. (1909). "Reviewed Work: Het Animisme in den Indischen Archipel by Alb. C. Kruijt". L'Année sociologique (1896/1897-1924/1925). Presses Universitaires de France. 11: 214–218. JSTOR 27883165.
- Needham, Rodney (1976). "Skulls and Causality". Man. Royal Anthropological Institute of Great Britain and Ireland. 11 (1): 71–88. doi:10.2307/2800389. JSTOR 2800389.
- Randwijck, S. C. van (1971). "Enkele opmerkingen over de houding der zending tegenover de expansie van het Nederlands gezag". BMGN - Low Countries Historical Review. 86 (1): 55–61. doi:10.18352/bmgn-lchr.1648.
- Schrauwers, Albert (1997). "Houses, hierarchy, headhunting and exchange; Rethinking political relations in the Southeast Asian realm of Luwu". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 153 (3): 356–380. doi:10.1163/22134379-90003928. JSTOR 27865366.
- Schrauwers, Albert (2000). "Three weddings and a performance: marriage, households, and development in the highlands of Central Sulawesi, Indonesia". American Ethnologist. American Anthropological Association. 27 (4): 855–876. doi:10.1525/ae.2000.27.4.855.
- Tulius, Juniator (2012). "Stranded people: Mythical narratives about the first inhabitants of Mentawai Islands". Wacana. 40 (2): 215–240. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-02-20. Diakses tanggal 2018-02-20.
- Weber, Robert; Kreisel, Werner; Faust, Heiko (2003). "Colonial Interventions on the Cultural Landscape of Central Sulawesi by "Ethical Policy": The Impact of the Dutch Rule in Palu and Kulawi Valley, 1905–1942". Asian Journal of Social Science. Brill. 31 (3): 398–434. doi:10.1163/156853103322895324.
Laporan
- Aizawa, Risa (2014). Rulers, Adat and Religion: The Impact of Dutch Rule on Ideas regarding Religion among the Toraja People. 東洋文庫欧文紀要 / Memoirs of the Research Department of the Toyo Bunko (Laporan). Tokyo: Tōyō Bunko. hlm. 161–178.
- Commission IV, World Missionary Conference (1910). Report of Commission IV: The Missionary message in relation to non-Christian religions (Laporan). Edinburgh: Oliphant, Anderson and Ferrier.
- Gobée, Emile. Colonising Poso: The Diary of Controleur Emile Gobee, June 1909 - May 1910 (Laporan). Working Papers. Diterjemahkan oleh Coté, Joost. Monash University Press. ISBN 9781876924577.
- Tambunan, Dunas (1987). A Program For Training In Personal Christian Witnessing To The Muslim Of Indonesia. Project Documents (Laporan). Universitas Andrews.
Situs web
- Blessing, Maurice (Oktober 2007). "Zending in dienst van de koloniale overheid". Historisch Nieuwsblad (dalam bahasa Belanda) (edisi ke-10). Diakses tanggal 11 Maret 2018.
- "Refleksi Peradaban: Menyambut Pemimpin Baru Tana Poso". Poso Raya. 10 Februari 2016. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-05-09. Diakses tanggal 11 Agustus 2016.
- Lusikooy, Steve R. (21 Agustus 2015). "Misi Pekabaran Injil di Tanah Posso". Poso Mori. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-02-09. Diakses tanggal 9 Februari 2018.
Daftar pustaka
Sumber primer
- Kruyt, Albertus Christiaan (1892). Nederlandsch Zendeling Genootschap, ed. "Mijne reis van Gorontalo naar Poso (Posso), met den Gouvernementsstoomer „Zeeduif". 4-16 Febr. 1892". Mededeelingen van wege het Nederlandsch Zendelinggenootschap. Vol. 36. Zendingsbureau. hlm. 225–256; 369–406.
- Kruyt, Albertus Christiaan (1904). Dagboek 1904-1905 (Laporan).
- Kruyt, Albertus Christiaan (1905). Dagboek 1904-1905 (Laporan).
- Kruyt, Albertus Christiaan (1914). "Indonesians". Dalam Hastings, James. Encyclopaedia of Religion and Ethics. 7. Edinburgh: T & T Clark. hlm. 232–252.
- Kruyt, Albertus Christiaan (1915). "The Presentation of Christianity to Primitive Peoples: The Toradja Tribes of Central Sulawesi". International Review of Mission. 4 (1): 81–95. doi:10.1111/j.1758-6631.1915.tb00766.x.
- Kruyt, Albertus Christiaan (1929). "The influence of Western civilisation on the inhabitants of Poso (Central Celebes)". Dalam Schrieke, Bertram Johannes Otto. The Effect of Western Influence on Native Civilisations in the Malay Archipelago. Batavia: G. Kolff & Co.
- Kruyt, Albertus Christiaan (1939a). Beantwoording van enige zielkundige vragen met betrekking tot zijn eigen persoon door Alb. C. Kruyt, ten behoeven van zijn kinderen (Laporan).
- Kruyt, Albertus Christiaan (1939b). Mijn komst in het Zendelinghuis (Laporan).
- Kruyt, Albertus Christiaan (1944). Aantekeningen uit het leven van Alb. C. Kruyt (Laporan).
Publikasi primer
- Brouwer, Klaas Johan (1951). Dr A. C. Kruyt: dienaar der Toradja's. Den Haag: J. N. Voorhoeve.
- Boetzelaer, C. W. Th. van (1949). "Albertus Christiaan Kruyt (1869–1949)". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië. Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde. 105 (1): 144–146. doi:10.1163/22134379-90002492.
- Coté, Joost (2010). "Missionary Albert Kruyt and Colonial Modernity in the Dutch East Indies". Itinerario. 34 (3): 11–24. doi:10.1017/S0165115310000653.
- Enklaar, Ido Hendricus (1978). "Kruyt, Albertus Christiaan". Biografisch Lexicon voor de geschiedenis van het Nederlands Protestantisme. Nachruf. 1. Amsterdam: J. H. Kok. hlm. 111–113.
- Enklaar, Ido Hendricus (1981). "Kom over en help ons!" Twaalf opstellen over de Nederlandse zending in de negentiende eeuw. Den Haag: Boekencentrum.
- Noort, Gerrit (2006). De weg van magie tot geloof: Leven en werk van Albert C. Kruyt (1869-1949), zendeling-leraar in Midden-Celebes, Indonesië. Utrecht: Universitas Utrecht. ISBN 978-9-02-392155-4.
- Rassers, Willem Huibert (1949). "Herdenking van Albertus Christiaan Kruyt". Jaarboek, 1948-1949. Nachruf. 1948-1949. Amsterdam: Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen. hlm. 161–170.
- Schoor-Lambregts, A.J. van der (1992). "Het heerlijke en schoone werk der Zending: Alb. C. Kruyt over Celebes". Indische Letteren. Vol. 7 no. 4. Maatschappij der Nederlandse Letterkunde. hlm. 98–108.
Pranala luar
- Media tentang Albertus Christiaan Kruyt di Wikimedia Commons
- Albertus Christiaan Kruyt di Akademi Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Kerajaan Belanda