Tanah partikelir

Revisi sejak 13 Juni 2024 06.59 oleh TATANG ABIDIN (bicara | kontrib) (Pada masa penjajahan Cibarusah adalah Tanah Partikelir atau tanah swasta yang dimiliki oleh tuan tanah yang sangat luas bernama "Land Tjibaroesa".)

Tanah partikelir (Bahasa Belanda: particuliere landerijen atau particuliere landen) adalah bentuk kepemilikan tanah bersistem feodal yang diterapkan di sebagian Hindia Belanda (kini Indonesia).[1][2][3][4][5][6] Hukum Belanda mendeskripsikan tanah partikelir sebagai ‘daulat’ dan status hukumnya mirip dengan Vorstenlanden yang berada di bawah Kerajaan Belanda.[3] Pemilik tanah partikelir disebut sebagai "tuan tanah" (Bahasa Belanda: landheer) dan memegang "hak-hak ketuanan" (Bahasa Belanda: landsheerlijke rechten) atas penduduk di tanah tersebut, yang biasanya dipegang oleh pemerintah.[5][7][8]

Pada masa penjajahan Cibarusah adalah Tanah Partikelir atau tanah swasta yang dimiliki oleh tuan tanah yang sangat luas bernama "Land Tjibaroesa". Peta ini dibuat oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1933.

Sejarah

VOC, yang mengklaim telah menggantikan kerajaan-kerajaan di Jawa, mulai menjual tanah partikelir ke petinggi VOC, komprador, dan sekutunya antara dekade 1620-an hingga bangkrut pada tahun 1799.[2][5][6] Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda selama jeda kekuasaan Prancis dan Britania di Hindia Belanda dari tahun 1808 hingga 1811, dan suksesornya dari tahun 1811 hingga 1816, Sir Stamford Raffles, mengawasi penjualan tanah milik pemerintah secara besar-besaran sebagai tanah partikelir.[2][5] Penjualan tanah partikelir kemudian dihentikan pada tahun 1855.[3] Sebagian besar tanah partikelir terletak di sekitar Batavia (kini Jakarta), di Ommelanden dari Karesidenan Betawi, di Jawa Barat, serta di bagian lain Pulau Jawa dan sekitarnya.[4][6] Seperti Vorstenlanden, tanah partikelir tidak dikendalikan secara langsung oleh pemerintah kolonial, sehingga tidak wajib menerapkan sistem tanam paksa yang diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830.[9]

Hingga tahun 1901, terdapat 304 tanah partikelir, yang 101 di antaranya dimiliki oleh orang-orang Eropa, sementara sisanya sebagian besar dimiliki oleh orang-orang Tionghoa, terutama dari Cabang Atas.[6][10][11] Sekitar 800.000 petani hidup di ratusan tanah partikelir tersebut, dan secara administratif diatur oleh para tuan tanah masing-masing, bukannya pemerintah kolonial.[3][5][6] Sehingga tanah partikelir juga terkenal akan kekejaman para tuan tanahnya.[2][3][5] Serangkaian peraturan kemudian diterbitkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk memperketat pengaturan tanah partikelir, yakni Staatsblad No. 19 tahun 1836 dan Staatsblad No. 422 tahun 1912.[5]

Sebagai bagian dari politik etis pada awal abad ke-20, pemerintah Hindia Belanda berencana membeli kembali tanah-tanah partikelir dari para tuan tanahnya.[3][5][6] Motivasi pembelian tersebut adalah untuk menyetarakan para penduduk di tanah tersebut dengan penduduk lain di Hindia Belanda pada umumnya.[3] Pembelian tersebut dimulai pada tahun 1912, namun terhenti akibat Depresi Besar (1929-1939).[3] Pada tahun 1935, pemerintah Hindia Belanda mendirikan NV Javasche Particuliere Landerijen Maatschappij untuk membeli tanah partikelir.[3]

Walaupun pembelian dilanjutkan, sejumlah tanah partikelir belum berhasil dibeli hingga Jepang menduduki Indonesia selama Perang Dunia II (1942-1945) serta hingga Revolusi Indonesia (1945-1949).[5] Pada tahun 1958, Pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang No. 1 tahun 1958, yang secara resmi menghapus semua tanah partikelir yang tersisa.[5]

Administrasi dan struktur

Tanah partikelir dibagi menjadi tanah kongsi yang digunakan sendiri oleh tuan tanahnya, dan tanah usaha yang digunakan oleh penduduk tanah tersebut.[5] Selain itu, terdapat juga hutan yang tidak dapat diklaim atau digarap tanpa persetujuan tuan tanah.[5] Rumah milik tuan tanah disebut sebagai rumah kongsi (Bahasa Belanda: landhuis).[12][13] Pada konteks ini, 'Kongsi' berarti 'Tuan' atau 'Ketuanan', dan adalah gelar yang digunakan oleh tuan tanah Tionghoa, yang biasanya adalah keturunan dari Cabang Atas.[14]

Birokrasi di dalam tanah partikelir juga diangkat dan digaji oleh tuan tanah masing-masing, bukan oleh pemerintah.[15] Seorang administrateur diangkat oleh tuan tanah untuk mengawasi manajemen tanah partikelir.[15] Tuan tanah juga mengangkat camat, birokrat lain, serta kepala desa yang biasa disebut sebagai mandor.[15] Kejahatan ringan yang terjadi di dalam tanah partikelir biasanya diproses dan diadili oleh pengadilan yang dibentuk oleh tuan tanah.[15] Tuan tanah juga bertanggung jawab menyediakan layanan pendidikan, layanan kesehatan, dan layanan sosial lainnya, serta infrastruktur untuk para penduduk tanahnya.[2][3][5]

Sebagai bagian dari hak-hak ketuanan, tuan tanah berhak memperoleh pendapatan dari para penduduk tanahnya, termasuk tjoekee atau contingent, berupa 20% dari hasil panen penduduknya.[1][7][8] Tuan tanah juga dapat memungut padjeg, yang berupa sebagian dari hasil panen penduduknya dalam jangka waktu tertentu.[1][7][8] Pungutan tersebut diawasi oleh pegawai yang disebut Potia, dan dibantu oleh deputi yang disebut Komitier.[15]

Sebagai bagian dari hak-hak ketuanan juga, tuan tanah berhak mengenakan kompenian atau corvée kepada para penduduknya, yang dapat berupa 60 hari kerja tanpa dibayar dalam satu tahun, sesuai kebijakan dari tuan tanah atau birokratnya.[1][7][8][15] Kompenian meliputi pengerjaan infrastruktur, seperti jalan dan jembatan di dalam tanah partikelir, atau bekerja di dalam tanah kongsi milik tuan tanah.[1][7][8][15] Di Ommelanden, para penduduk hanya boleh melakukan panen setelah mendapat izin dari tuan tanahnya.[3]

Contoh tanah partikelir

Referensi

  1. ^ a b c d e Kropveld, D. C. J. H. (1911). The Laws of Netherland East India Relating to Land: Being a Short Exposition of Their Leading Principles and Chief Provisions, and an Explanation of Dutch Terms, with Chapters on Netherland East India and Its Laws in Gereral and on Dutch East Indian Mining Law (dalam bahasa Inggris). Stevens. Diakses tanggal 15 July 2020. 
  2. ^ a b c d e Anderson, Benedict Richard O'Gorman (2006). Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946 (dalam bahasa Inggris). Equinox Publishing. ISBN 978-979-3780-14-6. Diakses tanggal 15 July 2020. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k Cribb, Robert (2008). Gangsters and Revolutionaries: The Jakarta People's Militia and the Indonesian Revolution, 1945-1949 (dalam bahasa Inggris). Singapore: Equinox Publishing. ISBN 978-979-3780-71-9. Diakses tanggal 15 July 2020. 
  4. ^ a b Creutzberg, P. (2012). Indonesia's Export Crops 1816–1940 (dalam bahasa Inggris). Springer Science & Business Media. ISBN 978-94-011-6437-5. Diakses tanggal 15 July 2020. 
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m Nola, Luthvi Febryka (November 2013). [jurnal.dpr.go.id "Sengketa Tanah Partikelir"] Periksa nilai |url= (bantuan). Jurnal DPR RI. 4 (2): 183–196. Diakses tanggal 15 July 2020. 
  6. ^ a b c d e f Kahin, Audrey (2015). Historical Dictionary of Indonesia (dalam bahasa Inggris). Rowman & Littlefield. ISBN 978-0-8108-7456-5. Diakses tanggal 15 July 2020. 
  7. ^ a b c d e Gautama, Sudargo; Harsono, Budi (1972). Agrarian Law (dalam bahasa Inggris). Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi, Universitas Padjadjaran. Diakses tanggal 15 July 2020. 
  8. ^ a b c d e Indonesia Circle (dalam bahasa Inggris). Indonesia Circle, School of Oriental and African Studies. 1996. Diakses tanggal 15 July 2020. 
  9. ^ Goh, Taro (1998). Communal Land Tenure in Nineteenth-century Java: The Formation of Western Images of the Eastern Village Community (dalam bahasa Inggris). Department of Anthropology, Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University. ISBN 978-0-7315-3200-1. Diakses tanggal 17 July 2020. 
  10. ^ Dick, Howard; Sullivan, Michael; Butcher, John (1993). The Rise and Fall of Revenue Farming: Business Elites and the Emergence of the Modern State in Southeast Asia (dalam bahasa Inggris). Springer. ISBN 978-1-349-22877-5. Diakses tanggal 15 July 2020. 
  11. ^ Rush, James R. (2007). Opium to Java: Revenue Farming and Chinese Enterprise in Colonial Indonesia, 1860-1910 (dalam bahasa Inggris). Equinox Publishing. ISBN 978-979-3780-49-8. Diakses tanggal 15 July 2020. 
  12. ^ Milone, Pauline Dublin (1967). "Indische Culture, and Its Relationship to Urban Life". Comparative Studies in Society and History. 9 (4): 407–426. doi:10.1017/S0010417500004618. ISSN 0010-4175. JSTOR 177686. 
  13. ^ Heuken, Adolf (2007). Historical Sites of Jakarta (dalam bahasa Inggris). Cipta Loka Caraka. Diakses tanggal 15 July 2020. 
  14. ^ Salmon, Claudine (2006). "Women's Social Status as Reflected in Chinese Epigraphs from Insulinde (16th-20th Centuries)". Archipel. 72 (1): 157–194. doi:10.3406/arch.2006.4030. 
  15. ^ a b c d e f g Peratoeran baroe atas tanah-tanah particulier di tanah Djawa seblah Roelan Tjimanoek (Staatsblad 1912 No. 422). Batavia: Landsdrukkerij. 1913. hlm. 24.