Perang Aceh I
Perang Aceh Pertama, adalah kampanye militer yang dilakukan oleh Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) melawan kesultanan Aceh di utara Sumatera pada tahun 1873. Ekspedisi ini diluncurkan sebagai tindakan hukuman oleh Belanda. pemerintah kolonial sebagai respons terhadap tantangan yang mereka rasakan terhadap kendali mereka atas wilayah tersebut dan perlawanan Aceh terhadap campur tangan Belanda dalam urusan-urusan di wilayah tersebut.[1]
Perang Aceh Pertama | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
| |||||||
Pihak terlibat | |||||||
Netherlands | Kesultanan Aceh | ||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||
J.H.R. Köhler † |
Panglima Polim Sultan Alauddin Mahmud Syah II |
Kampanye tersebut menghasilkan kemenangan Belanda. Namun hal ini merugikan kedua belah pihak, dengan banyak korban jiwa di kedua belah pihak dan kerusakan parah pada infrastruktur dan perekonomian Aceh.[2]
Pada awal tahun 1873, Konsul Amerika di Singapura berdiskusi dengan seorang utusan Aceh tentang kemungkinan perjanjian Aceh-Amerika, yang dianggap oleh Belanda sebagai pembenaran untuk melakukan intervensi. Pada bulan Maret 1873, Belanda mengebom ibu kota Aceh Banda Aceh (Kutaraja) dan pada bulan April mereka mendaratkan 3.000 tentara yang dipimpin oleh Johan Harmen Rudolf Köhler. Karena salah menilai perlawanan orang Aceh, Belanda terpaksa mundur karena kehilangan Köhler dan delapan puluh orangnya. Mereka kemudian melakukan blokade dan pasukan Aceh (yang diperkirakan berjumlah 10.000 hingga 100.000 orang) bersiap untuk berperang.
Hal ini disusul dengan Ekspedisi Aceh Kedua pada akhir tahun 1873.
Blokade Pantai Sumatra
Melalui pengesahan Perjanjian Sumatra, Belanda berhak mendapatkan pantai utara Sumatra yang di situ banyak terjadi perompakan. Komisaris Pemerintah Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen yang mengatur Aceh mencoba mengadakan perundingan dengan Sultan Aceh namun tidak mendapatkan apa yang diharapkan sehingga ia menyatakan perang pada Aceh atas saran GubJen James Loudon. Blokade pesisir tidak berjalan sesuai yang diharapkan.
Ekspedisi pertama
Belanda kemudian memerintahkan ekspedisi pertama ke Aceh, di bawah pimpinan Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler dan setelah kematiannya tugasnya digantikan oleh Kolonel Eeldert Christiaan van Daalen. Dalam ekspedisi tersebut dipergunakan senapan Beaumont untuk pertama kalinya namun ekspedisi tersebut berakhir dengan kembalinya pasukan Belanda ke Jawa. Tak dapat disangkal bahwa Masjid Raya Baiturrahman direbut 2 kali (dan di saat yang kedua kalinya tewaslah Köhler). Terjadi serbuan beruntun ke istana pada tanggal 16 April di bawah pimpinan Mayor F.P. Cavaljé namun tidak dapat menduduki lebih lanjut karena keunggulan orang Aceh serta banyaknya serdadu yang tewas dan terluka.
Sebab kegagalan ekspedisi pertama
Serdadu Belanda tidak cukup persiapan yang harus ada untuk serangan tersebut. Di samping itu, jumlah artileri (berat) tidak cukup dan mereka tidak cukup mengenali musuh. Mereka sendiri harus menarik diri dari pesisir dan atas petunjuk Komisaris F.N. Nieuwenhuijzen (yang menjalin komunikasi dengan GubJen Loudon) dan kembali ke Pulau Jawa.
Menurut George Frederik Willem Borel, kapten artileri, serdadu dapat memperoleh pesisir bila mendapatkan titik lain yang agak lebih kuat, tetapi Komandan Marinir Koopman tidak dapat memberikan kepastian bahwa ada hubungan yang teratur antara bantaran sungai dan saat itu sedang berlangsung muson yang buruk, yang karena itulah kedatangan pasukan baru jadi sulit.
Penyelidikan
Setelah kembalinya ekspedisi itu, angkatan tersebut banyak disalahkan akibat kegagalan ekspedisi itu. Dari situlah GubJen James Loudon mengadakan penyelidikan di mana para bawahan harus memberikan penilaian atas atasan mereka. Penyelidikan tersebut kemudian juga banyak menuai kontroversi dan menimbulkan "perang kertas" setelah Perang Aceh I (dokumen dan tulisan pro dan kontra penyelidikan tersebut terjadi terus menerus).
Peristiwa Van Daalen
Penyelidikan itu masih berawal, setelah Perang Aceh II, ketika kapten dan kepala staf Brigade II GCE. van Daalen menolak untuk ditekan GubJen Loudon. Alasan sebelumnya adalah selama itu Loudon telah memerintahkan penyelidikan yang untuk itu pamannya EC. van Daalen, yang merupakan panglima tertinggi ekspedisi pertama setelah kematian panglima tertinggi sebelumnya Johan Harmen Rudolf Kohler, sebagai orang genius yang malang setelah kegagalan ekspedisi tersebut, dihadirkan dan selama penyelidikan itu (meskipun kemudian meninggal) Van Daalen, komandan Pasukan Hindia, Willem Egbert Kroesen mengetahui bahwa pemerintah Hindia Belanda tidak diberi cukup informasi atas terganggunya pembekalan senjata pada pasukan itu. Loudon tak mengizinkan Van Daalen (keponakan) mendapatkan Militaire Willems-Orde dan untuk itu memandang bahwa Van Daalen harus terus dikirimi uang tunjangan pensiun.
Penghargaan
Raja Willem II mulai menganugerahkan Medali Aceh 1873-1874 pada tanggal 12 Mei 1874. Yang khas adalah pembawa medali tersebut juga dapat diberi gesper bertulisan "ATJEH 1873-1874" pada pita Ereteken voor Belangrijke Krijgsbedrijven. Terdapat pula salib Militaire Willems-Orde dan Medaille voor Moed en Trouw.
Lihat pula
Rujukan
- 1874. De oorlog tussen Nederland en Atchin. Redaksi: George Kepper. Nijgh en van Ditmar
- 1874. Bijlage: Een slechte verdediging. Nog iets over Atjeh door generaal De Stuers in de Gids 1875, nr. 4. C.A. Jeekel. Het Vaderland Jumat 23 april 1875.
- 1875. Mr. J. Loudon en zijn Bestuur. Pengantar oleh I.C. van Lie (Batavia. Bruining en Wijt).
- 1878. Onze vestiging in Atjeh. Critisch beschreven door G.F.W. Borel. D.A. Thieme
- 1879. De Waarheid over onze vestiging in Atjeh. J. van Swieten. Joh. Noman en Zoon
- 1879. Een woord over "De Waarheid" van generaal Van Swieten. F.N. Nieuwenhuizen. D.A. Thieme.
- 1879. Open brieven aan den heer G.F.W. Borel naar aanleiding van zijn boek Onze Vestiging in Atjeh (overgedrukt uit de Locomotief). Niclou. De Groot, Kolff en Co. Semarang
- 1879. Open Brief van Generaal J. van Swieten aan Generaal P.G. Booms. Nijgh en van Ditmar
- 1879. Eenige beschouwingen over "De Waarheid over onze vestiging in Atjeh van den luitenant generaal J. van Swieten. Christiaan Antoon Jeekel. Henri J. Stemberg.
- 1880. Drogredenen zijn geen waarheid: Naar aanleiding van het werk van den Luitenant-Generaal Van Swieten over onze vestiging in Atjeh. G.F.W. Borel. Henri J. Stemberg
- 1880. Generaal van Swieten en de Waarheid oleh Gustave Verspijck. Henri J. Stemberg.
- 1880. De luitenant-generaal J. van Swieten contra den luitenant generaal G.M. Verspijck. oleh Jan van Swieten. Joh. Noman en Zoon.
- 1889. De verovering van Atjeh's groote Missigit. J.F.D. Bruinsma. Sneek. H. Pyttersen.
- ^ "Aceh: History, Politics and Culture". ISEAS Publishing Online Bookshop.
- ^ Saleh, I. A., The Dutch-Indonesian Aceh War (1873-1904): The Dutch Perspective, Southeast Asian Journal of Social Science, 9(1), 1-23