Tidur menurut Islam

Revisi sejak 19 Juni 2024 12.29 oleh JumadilM (bicara | kontrib) (membuat halaman baru)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Tidur menurut Islam merupakan salah satu fitrah pada makhluk ciptaan Allah. Pada manusia, tidur dijadikan oleh Allah sebagai waktu beristirahat dari segala usaha yang dilakukan dalam kehidupan. Kondisi jiwa ketika tidur dibuat oleh Allah menjadi tanpa kesadaran seperti mengalami kematian. Adab ketika hendak tidur dan ketika bangun tidur telah diatur dan dicontohkan oleh Muhammad sebagai nabi dalam Islam. Tidur menjadi syarat tertentu bagi pelaksanaan salat di malam hari dan pembataln wudu pada kondisi tertentu. Dalam syariat Islam, seseorang yang tertidur juga tidak diberlakukan hukum pidana. Tidur menurut Islam menjadi salah satu tanda kekuasaan Allah.

Tujuan

sunting

Tidur merupakan salah satu fitrah yang dimiliki oleh manusia menurut agama Islam.[1] Allah menjadikan tidur sebagai salah satu penopang kehidupan bagi segala makhluk yang diciptakan oleh-Nya. Sifat penopangan kehidupan yang dialami makhluk ketika tidur bersifat tidak sadar.[2] Tidur menjadi salah satu pemenuhan hak tubuh atas istirahat dan libur kerja dalam syariat Islam. Hak ini dinyatakan dalam beberapa ayat Al-Qur'an.[3]

Dalam Surah An-Naba' ayat 9-11 dinyatakan mengenai tujuan tidur untuk istirahat. Tujuan ini disertai pernyataan bahwa malam merupakan pakaian dan siang sebagai waktu untuk mencari penghidupan.[4] Kecukupan kebutuhan atas tidur membuat tubuh memiliki fisik yang mampu melaksanakan sunnah yang dicontohkan oleh Muhammad sebagai nabi dalam Islam.[5]

Kondisi

sunting

Al-Qur'an menyatakan bahwa jiwa manusia yang sedang tertidur berada pada kondisi yang sangat dekat dengan Allah. Kondisi ini terjadi karena jiwa orang yang tertidur digenggam oleh Allah.[6] Pernyataan ini disebutkan dalam Surah Az-Zumar ayat ke-42. Kondisi tidur diserupakan dengan kematian yang menghilangkan gerakan dan kesadaran.[7] Jiwa orang yang tidur akan kembali ketika dilepas lagi oleh Allah untuk memasuki tubuhnya.[8] Penahanan jiwa dan pengembaliannya menandakan bahwa orang yang tidur tidak dimatikan oleh Allah.[9]

Pengaturan Islam terhadap kehidupan manusia dimulai ketika manusia bangun tidur hingga tidur kembali.[10] Perihal tidur merupakan salah satu bagian dari kehidupan manusia yang diatur ketentuannya dalam ajaran Islam.[11] Tidur memiliki adab tertentu yang telah dibuatkan ketentuannya oleh para ulama dalam Islam dengan mengikuti tuntunan dari Al-Qur'an dan hadis.[12] Muhammad sebagai nabi dalam Islam juga telah memberikan sunnah yang berkaitan dengan tidur.[13]

Adab sebelum tidur

sunting

Sebelum tidur, adab yang berlaku ialah membaca doa yang ditujukan kepada Allah. Adab ini mulai diajarkan oleh orang tua kepada anak-anaknya untuk membentuk akhlak mulia.[14] Metode pembiasaannya dengan peniruan dengan pemberian contoh.[15] Ketika hendak tidur, doa yang dibacakan ialah penyebutan nama Allah sebagai pemberi kehidupan dan penyebab kematian manusia. Doa hendak tidur ini diriwayatkan dalam Hadis Bukhari dan Imam Muslim.[16]

Sebuah hadis periwayatan Ibnu Sunni dan Ibnu Marduwaih dari Anas bin Malik menyebutkan bahwa membaca akhir Surah Al-Hasyr sebelum tidur akan terhitung syahid ketika mengalami kematian setelahnya.[17] Dalam hadis periwayatan Imam Bukhari dari Aisyah disebutkan bahwa Muhammad juga selalu membaca tiga surah kemudian menyapu bacaannya ke seluruh anggota tubuh yang mampu dijangkaunya. Ketiganya yakni Surah Al-Ikhla, Surah Al-Falaq dan Surah An-Nas.[18]

Muhammad telah memberikan sunnah dengan sifat kebolehan untuk tidur dengan tubuh menghadap ke sisi kanan.[19]

Adab bangun tidur

sunting

Ketika bangun tidur, dibacakan doa yang menyatakan bahwa segala pujian hanya milik Allah yang telah menghidupkan setelah mematikan ketika tubuh sedang tertidur. Doa ini diakhiri dengan pernyataan bahwa Allah adalah tempat kembali.[20] Pada kondisi terkejut ketika bangun tidur, Abu Dawud dan Imam At-Tirmidzi meriwayatkan sebuah doa. Isi doa ini menyatakan permohonan perlindungan kepada Allah atas kemarahan-Nya, kejahatan hamba-hamba-Nya, dan dari kehadiran dan gangguan setan.[21]

Tempat tidur

sunting

Pemisahan

sunting

Pemisahan tempat tidur diwajibkan kepada anak yang telah mengetahui perbedaan jenis kelamin bagi anak berstatus saudara kembar yang berbeda jenis kelamin.[22]

Penentu jenis ibadah dan pembatalannya

sunting

Tidur bernilai ibadah ketika dilakukan sesuai dengan keridaan Allah.[23] Dalam ibadah, tidur menjadi bentuk salah satu bentuk keseimbangan yang dicontohkan oleh Muhammad sebagai nabi dalam Islam.[24] Tidur pada malam hari merupakan tindakan yang harus dilakukan sebelum pelaksanaan salat tahajud.[25] Kemudian menjelang pagi hari setelah malam hari dalam masa puncak kenikmatan tidur, manusia diwajibkan melaksanakan salat subuh ketika fajar.[26]

Tidur juga dapat membatalkan wudu pada kondisi yang menghilangkan akal.[27] Para ulama terbagi tiga pendapat mengenai hukum pembatalannya. Pendapat pertama menyatakan bahwa tidur dalam waktu yang singkat maupun lama bersifat membatalkan wudu. Pendapat kedua menyatakan bahwa tidur tidak membatalkan wudu jika diyakini ketika tidur tidak keluar hadas. Pendapat ketiga menyatakan bahwa tidur yang lama membatalkan wudu dan tidur yang singkat tidak membatalkan wudu.[28]

Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa pembatalan wudu berlaku pada orang yang tidur dengan tingkat kenyenyakan yang tinggi dan menyebabkan buang angin. Kondisinya antara lain tidur dengan membaringkan bahu atau tidur di tempat duduk dengan posisi badan tidak tetap. Kedua mazhab ini juga menetapkan tidak terjadinya pembatalan wudu ketika tidur dalam posisi duduk dengan posisi pinggul yang tidak berubah dari posisi awalnya.[29]

Sementara itu, Mazhab Maliki berpendapat bahwa tidur yang nyenyak membatalkan wudu. Kondisi tidur lama tapi tidak nyenyak tidak membatalkan wudu. Sebaliknya, tidur sebentar tetapi nyenyak membatalkan wudu. Kondisi nyenyak dinyatakan dengan tidak mendengar suara di sekelilingnya ketika tidur, tidak merasakan sesuatu jatuh dari tangannya, atau tidak merasakan air ludah mengalir dari mulutnya.[30] Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembatalan wudu hanya berlaku bagi orang yang tidur dalam keadaan berbaring, menyandarkan dagu ke lutut atau bersandar ke dinding.[31]

Pembatalan hukum pidana

sunting

Kekuasaan atas tidur termasuk yang tidak dimiliki oleh manusia dalam syariat Islam.[32] Sehingga orang yang tertidur diberi penghapusan hukum pidana dalam syariat Islam. Aturan ini merupakan bagian dari asas moralitas dalam ajaran Islam.[33]

Hikmah

sunting

Bukti kekuasaan Allah

sunting

Tidur menjadi salah salah satu bukti kekuasaan Allah kepada manusia. Surah Ar-Rum ayat 23 menyatakan tidur di malam hari sebagai salah satu tanda kekuasan Allah yang menjadi salah satu nikmat yang diberikan kepada manusia. Tidur menjadi proses penghentian sementara dari kehidupan yang terbebani oleh tubuh dan akal setelah melakukan usaha. Setelah penghentian ini, tubuh dan akal manusia akan kembali memiliki semangat.[34]

Penanda akhlak

sunting

Para sufi menganggap bahwa orang yang sedikit tidurnya menjadi salah satu tanda orang yang baik.[35] Kebaikan ini berkenaan dengan akhlak.[36]

Referensi

sunting

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Sahriansyah 2014, hlm. 118.
  2. ^ Sya'rawi 2015, hlm. 19.
  3. ^ Baderin, Mashood A. (2010). Kazhim, M., dan Arifin, E., ed. Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam (PDF). Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. hlm. 189. ISBN 978-979-26-1433-6. 
  4. ^ Nashori dan Wulandari 2017, hlm. 3.
  5. ^ Hidayat 2016, hlm. 16-17.
  6. ^ Nashori dan Wulandari 2017, hlm. 1.
  7. ^ Sya'rawi 2015, hlm. 21.
  8. ^ Bakhtiar 2018, hlm. 33.
  9. ^ Bakhtiar dan Marwan 2016, hlm. 44.
  10. ^ Rahman, Taufik (2021). "Cara Menyaring Sebelum Sharing Informasi dalam Islam untuk Dakwah yang Berkeadaban". Dalam Restendy, Mochammad Sinung. Dakwah Islam Rahmatan Lil 'Alamin: Kumpulan Naskah Ceramah Kolaboratif (PDF). Literasi Bangsa. hlm. 112. ISBN 978-623-98380-4-1. 
  11. ^ Hamzani, A. I., dan Aravik, H. (2021). Khasanah, Nur, ed. Politik Islam: Sejarah dan Pemikiran (PDF). Pekalongan: PT. Nasya Expanding Management. hlm. 3. ISBN 978-623-6906-37-8. 
  12. ^ Hidayat 2016, hlm. 53.
  13. ^ Anam, Wahidul (2017). Risalah al-Qur’an: Empat Puluh Hadits Shahih tentang Keutamaan al-Qur’an (PDF). Blitar: MSN-Press. hlm. 71. 
  14. ^ Gade, Syabuddin (2019). Gunawan, ed. Membumikan Pendidikan Akhlak Mulia Anak Usia Dini (PDF). Lembaga Naskah Aceh. hlm. 196. ISBN 978-602-0824-52-9. 
  15. ^ Sahriansyah 2014, hlm. 110-111.
  16. ^ Tim Penyusun Kementerian Agama Republik Indonesia 2013, hlm. 61.
  17. ^ Dewal, dkk. 2018, hlm. 54.
  18. ^ Dewal, dkk. 2018, hlm. 97.
  19. ^ Darmalaksana, Wahyudin (2022). Hukum Islam: Suatu Tinjauan Filosofis. Bandung: Sentra Publikasi Indonesia. hlm. 79. 
  20. ^ Tim Penyusun Kementerian Agama Republik Indonesia 2013, hlm. 53.
  21. ^ Tim Penyusun Kementerian Agama Republik Indonesia 2013, hlm. 62.
  22. ^ Muslim, Abu (2012). 1001 Hal yang Paling Sering Ditanyakan tentang Islam. Jakarta: Penerbit Kalil. hlm. 251. ISBN 978-979-22-8699-1. 
  23. ^ Hambali 2017, hlm. 25.
  24. ^ Maimun dan Kosim, M. (2019). Haris, Faidi, ed. Moderasi Islam di Indonesia (PDF). Bantul: LKiS. hlm. 28. 
  25. ^ Sahriansyah 2014, hlm. 13-14.
  26. ^ Sya'rawi 2015, hlm. 284.
  27. ^ Hambali 2017, hlm. 53.
  28. ^ Abror 2019, hlm. 44.
  29. ^ Abror 2019, hlm. 44-45.
  30. ^ Abror 2019, hlm. 45.
  31. ^ Abror 2019, hlm. 46.
  32. ^ Munif, Ahmad (2021). DKHAP, Rustam, ed. Ushul Fiqh: Hukum Ekonomi Syari’ah (PDF). Semarang: CV Rafi Sarana Perkasa. hlm. 17. ISBN 978-602-7969-74-2. 
  33. ^ Nur, Muhammad (2020). Nurdin, ed. Pengantar dan Asas- Asas Hukum Pidana Islam (PDF). Banda Aceh: Yayasan PeNA Aceh. hlm. 42–43. ISBN 978-623-7923-00-8. 
  34. ^ Sya'rawi 2015, hlm. 20-21.
  35. ^ Bakhtiar 2018, hlm. 134-135.
  36. ^ Bakhtiar dan Marwan 2016, hlm. 90.

Daftar pustaka

sunting