Mahmud Badaruddin I
Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo atau Sultan Mahmud Badaruddin I adalah sultan keempat dari Kesultanan Palembang Darusssalam yang memerintah antara 1724-1757.[1] Pengangkatannya mengakhiri periode perebutan kekuasaan antar kerabat kerajaan yang telah berlangsung sejak wafatnya Sultan Abdurrahman pada tahun 1706.[1]
Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Sultan Palembang Ke-4 | |||||||||
Berkuasa | 1724–1757 | ||||||||
Pendahulu | Sultan Agung Komaruddin | ||||||||
Penerus | Sultan Ahmad Najamuddin I | ||||||||
Kelahiran | Kesultanan Palembang | ||||||||
Kematian | 1757 Kesultanan Palembang. | ||||||||
Keturunan | |||||||||
| |||||||||
Wangsa | Azmatkhan | ||||||||
Ayah | Sultan Muhammad Mansyur | ||||||||
Ibu | Nyimas Sunguk dari Negeri Kesultanan Jambi | ||||||||
Agama | Islam |
Selama masa pemerintahan Mahmud Badaruddin, peranan lada sebagai komoditas utama Palembang berangsur-angsur digantikan oleh timah.[1] Mahmud Badaruddin berhasil memastikan kekuasaan Palembang atas Bangka dan Belitung sebagai penghasil timah, yang sebelumnya dikelola terutama oleh para penambang Bugis.[1] Tahun 1731, dengan bantuan VOC ia mengalahkan pemberontakan orang Bugis di Bangka, dan sejak saat itu ia mendatangkan para penambang Tionghoa ke sana.[1] Mahmud Badaruddin sendiri menikahi peranakan Tionghoa sebagai salah seorang istrinya, dan juga menunjuk beberapa orang Tionghoa muslim sebagai pejabat urusan pertambangan timah di Bangka.[2] Di akhir masa pemerintahannya, diperkirakan telah terdapat 25.000-30.000 orang Tionghoa yang menetap di Bangka.[1]
Mahmud Badaruddin dianggap sebagai seorang sultan yang berhasil memerintah dengan baik dan bijaksana.[3] Ia mendapatkan dukungan dari para bangsawan, serta bertukar-pikiran dengan mereka dalam menjalankan pemerintahannya.[3] VOC tidak terlalu mencampuri pemerintahannya karena kondisi keuangan yang memburuk pada saat itu, serta adanya persaingan dengan Inggris dan Bugis yang telah cukup menguat pula di belahan barat nusantara.[3] Konflik utama Kesultanan Palembang pada masa pemerintahannya ialah dengan Kesultanan Banten; yaitu memperebutkan kekuasaan atas Lampung, yang selain merupakan penghasil lada juga telah mulai memproduksi emas sejak tahun 1730-an.[3] Meskipun VOC tahun 1738 menengahi perselisihan tersebut dan memenangkan klaim Banten; Mahmud Badaruddin tetap memberikan hadiah, piagam, dan gelar kepada para kepala adat (ponggawa) Tulang Bawang dan sekitarnya, sehingga mereka menyukainya dan sebagian hasil komoditas Lampung mereka jual kepada para pedagang Palembang.[4]
Mahmud Badaruddin dimakamkan di komplek pemakaman Kawah Tengkurep, terletak di kawasan 3 Ilir, Palembang, yang dibangunnya sendiri sebagai tempat pemakaman bagi dirinya, sanak keluarga, serta para pejabat tinggi kesultanan.[5] Beberapa sultan penerusnya ada pula yang dimakamkan di sana.[5]
Didahului oleh: Sultan Agung Komaruddin |
Sultan Palembang 1724-1757 |
Diteruskan oleh: Sultan Ahmad Najamuddin I |
Lihat pula
suntingCatatan kaki
sunting- ^ a b c d e f Ricklefs 2001, hlm. 88.
- ^ Ong & Nonini 2004, hlm. 67.
- ^ a b c d Ricklefs 2001, hlm. 89.
- ^ Ōta 2006, hlm. 87, 111.
- ^ a b Nas & Nas 2003, hlm. 188-189.
Referensi
sunting- Nas, Peter J.M.; Nas, Peter (2003), The Indonesian Town Revisited, Münster: LIT Verlag, ISBN 981-230-184-4
- Ong, Aihwa; Nonini, Donald (2004), Ungrounded Empires: The Cultural Politics of Modern Chinese Transnationalism, London: Routledge, ISBN 0-203-42666-5
- Ōta, Atsushi (2006), Changes of Regime And Social Dynamics in West Java: Society, State And the Outer World of Banten, 1750-1830, Leiden: BRILL, ISBN 90-04-15091-9
- Ricklefs, Merle Calvin (2001), A History of Modern Indonesia Since C. 1200 (edisi ke-Third), Stanford, California: Stanford University Press, ISBN 0-8047-4480-7