Suku Serawai
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. (November 2020) |
Suku Serawai[1] adalah suku bangsa dengan populasi terbesar kedua yang hidup di daerah Bengkulu. Sebagian besar masyarakat suku Serawai berdiam di kabupaten Bengkulu Selatan, yakni di kecamatan Sukaraja, Seluma, Talo, Pino, Kelutum, Manna, dan Seginim, Kedurang Padang Guci, Kinal. Suku Serawai mempunyai mobilitas yang cukup tinggi, saat ini banyak dari mereka yang merantau ke daerah-daerah lain untuk mencari penghidupan baru, seperti ke kabupaten Kepahiang, kabupaten Rejang Lebong, kabupaten Bengkulu Utara, dan sebagainya.
Daerah dengan populasi signifikan | |
---|---|
Bengkulu Selatan Kepahiang Lebong Rejang Lebong | |
Bahasa | |
Melayu Tengah | |
Agama | |
Islam Animisme Kristen | |
Kelompok etnik terkait | |
Suku Rejang Suku Lembak Suku Besemah |
Secara tradisional, suku Serawai hidup dari kegiatan di sektor pertanian, khususnya perkebunan. Banyak di antara mereka mengusahakan tanaman perkebunan atau jenis tanaman keras, misalnya cengkih, kopi, kelapa, dan karet. Meskipun demikian, mereka juga mengusahakan tanaman pangan, palawija, hortikultura, dan peternakan untuk kebutuhan hidup.
Sejarah
SERAWAI Ejaan Aslinya adalah SARAUWAI bergeser menjadi SERAUWAI kemudian menjadi SERAWAI dalam Kamus Bahasa Indonesia dan umum mejadi Ejaan yang di pakai untuk Penulisan Selanjutnya
Sebelum kita mengetahui asal kata tentang Serawai ini yang kemudian menjadi nama Suku di Bengkulu selatan, yang dikenal dengan Nama Suku Serawai, maka ada baiknya kita mengetahui dengan baik sejarahnya sehingga Asal Kata Serawai ini agar menjadi Jelas, karena sangat di kenal oleh Suku bangsa Rejang, Lintang dan Pasemah yang mereka ini secara Geografis Mengelilingi Daerah Serawai
Adapun Ciri-ciri orang Serawai ini dalam beberapa Literatur ataupun Cerita yang diturunkan dari nenek moyang Dahulu baik dalam catatan ataupun Guritan ataupun Andai-andai adalah ORANG SERAWAI BERCIRIKAN BAHASA NYA SUSAH DITIRU dan hal itu sudah diketahui secara umum oleh orang tua zaman dahulu, dan dari masa ke masa Serawai itu Cirinya adalah inti Katanya yaitu “BAHASANYA SUSAH/SARAU UNTUK DITIRUKAN” dan orang Serawai Asli Biasanya Lidahnya Fasih untuk menirukan Bahasa lainnya di Luar Bahasa Serawai
Kata SERAWAI ini pertama kali dikenal oleh Masyarakat Suku Lintang, Suku Besemah, Suku Rejang dalam Sebuah Kisah Yaitu Ketika Pernikahan Poyang Bagin anak dari Ramau Ratu Minak Kertabumi di Kerajaan Pepinau Dengan Dayang Rohaina yang berasal dari Hulu Sungai Ketahun Sekitar Tahun 1580an Masehi, dalam pesta pernikahan yang dilaksanakan 7 hari 7 malam itu, Hadirlah Sanak Saudara mereka dari Zuriat Remanjang di Besemah, Zuriat dari Enim, Zuriat Indang di lintang dan pihak Besan dari Keluarga Ajai Rejang di Ulu Sungai Ketahun, Keluarga Makhudum dari Pagaruyung, Keluarga Anak Semidang di Kerajaan Selebar dan ketika mereka berkumpul disitu mereka berbicara dengan bahasanya masing-masing sehingga terkadang tidak saling memahami bahasanya satu dengan yang lainnya, adapun Bahasa di Kerajaan Pepinau pun Sudah berubah Dialegnya dari Bahasa awal pendirinya yang mendekati Bahasa Rambang dan Besemah, tetapi Sudah bercampur dengan Bahasa Rejang, Besemah, Lintang, Selebar, Jawa, Minangkabau menjadi Bahasa tersendiri yang tidak sama dengan bahasa lainnya
Ketika mereka saling berkomukasi inilah mereka mengatakan sambil menirukan bahasanya masing masing sambil menirukan bahasa di Kerajaan Pepinau ini sudah tidak sama dengan bahasa mereka, dan mereka susah meniru bahasa itu, Sedangkan orang Pepinau masih sangat Mahir Menirukan Bahasa Mereka karena merupakan Bahasa Asal, Sehingga adik sanak dari Lintang dan Besemah serta dari Rejang ini mengatakan “SARAU WAI MENIRUKAN BAHASA KAMU NI”.
Setelah Pesta Pernikahan itu Sebagian Kaum Zuriat Saudara dari Lintang dan Besemah tadi kemudian kembali ke daerahnya masing-masing, tapi sebagian lagi diminta Ramau Ratu untuk tetap tinggal, Keluarga yang tinggal itu kemudian di Buatkan Petalangan dan Dusun yang Baru, Keluarga Dari Lintang kemudian banyak membuat Talang atau Dusun kearah Perbatasan Kerajaan Selebar di sekitar Seluma Sekarang dan Bahasa mereka pun Tetap Mirip dengan Bahasa Lintang, Sedangkan Keluarga dari Besemah tadi Membuat Talang ke arah Selatan di arah Padang Guci Kinal Sehingga Bahasa Merekapun Tetap Mirip Dengan Bahasa Besemah, adapun di Sekitar Sungai Pepinau dan Sungai Deras Sendiri keluarga mereka istilahkan sebagai Jeme/Jemo Berbahasa Sare/Saro atau Berbahasa SARAU artinya Bahasanya Susah di Tiru, jadi ketika mereka bertemu selalu mengatakan “SARAUWAI NDAK NIRUKAN BAHASA KAMU TU”, Akhirnya dikenalilah mereka ini dengan “DAERAH JEMO/JEME BERBAHASA SARAUWAI” sehingga dikenal diluar daerah sebagai NEGERI ORANG BERBAHASA SARAUWAI yang di kemudian harinya orang-orang dari luar mengenalnya dengan sebutan ejaan “Cepat” Menjadi NEGERI ORANG/JEME/JEMO “SERAUWAI”, Sehingga Negeri Ramau Ratu Minak Kertabumi ini kemudian dikenal sebagai NEGERI SERAUWAI yang Ketika inggris Masuk Tahun 1670 M di mereka sebutkan dalam sebuah Plakat Kuning sebagai NEGERI SERAWAI yang Penduduk aslinya terdiri dari orang Besemah dan Rejang Serta Lintang dari Anak Semidang
Sehingga dimasa setelah kemerdekaan ada yang di anggap orang Serawai Asli yang mana Bahasanya Susah/Sarau untuk ditiru, dan orang yang Nyerawai yang artinya mengikut menjadi orang Serawai karena tinggal di Dekat Negeri Orang Serawai. Seperti daerah bekas Kerajaan Selebar mereka menurut Beberapa Pasirah di Marga Andelas era kemerdekaan bahwa mereka ini dalah orang Selebar bukan orang Serawai tetapi telah ikut nyerawai, yang artinya ikut dikenal sebagai Serawai
Adapun di Negeri orang Rejang, Lintang dan Besemah, mereka dahulunya mengenal Negeri di Pesisir Selatan Bengkulu ini sebagai NEGERI ORANG SERAWAI, yang kemudian di zaman kemerdekaan Akhirnya Semua Eks Kabupaten Bengkulu Selatan itu di sebut Sebagai SUKU yaitu SUKU SERAWAI, tetapi tidak diketahui dengan Jelas Kapan dan Siapa yang pertama kali menyebutnya sebagai SUKU, dimungkinkan hanya penyebutan sebagai identitas saja
Adapun Ketika Sebelum Kabupaten Bengkulu Selatan dimekarkan menjadi 3 (Tiga) Kabupaten, maka tidak ada permasalahan krusial tentang dimana Serawai Asli ini, sehingga tidak ada yang memperebutkan dan mempermasalahkan dimanakah yang dianggap Serawai Asli, Tetapi Setelah Setelah Kabupaten Bengkulu Selatan di Mekarkan Menjadi 3 Kabupaten Yaitu Kabupaten Bengkulu Selatan Sebagai Kabupaten Induk, Kabupaten Seluma dan Kabupaten Kaur Sebagai Kabupaten Pemekaran, Barulah kemudian ada sedikit gesekan antara para politikus nya yang sedang mencari IDENTITAS JATI DIRI daerahnya, Dengan menyatakan “Bahwa Kamilah Serawai Asli”, Padahal yang benar itu adalah ke-3 Kabupaten Itu “SEMUANYA ADALAH SERAWAI ASLI”
Adapun mengenai Kisah Lain Yaitu
1. Cerita yang menyatakan bahwa serawai itu dari Kata Sawai yang katanya berarti Cabang sungai Musi dan Sungai Seluma di Bukit Campang, maka tidak diketahui ini kapan terjadinya dan dimasa siapa, tapi yang jelas Sungai Musi tidak tercabang ke Sungai Seluma dan tidak ada keterkaitanya sama sekali dengan Bukit Campang
2. Cerita Yang menyatakan Bahwa Serawai Itu dari Kata Rawai, Juga belum Jelas itu Rawai Siapa, dimana, mengapa, Bagaimana dan Ada kejadian apa dengan Rawai Tersebut sehingga menjadi Serawai
3. Cerita yang menyatakan bahwa Serawai itu dari Kata Selawai yang artinya Gadis Perawan, yang dari Bahasa lebong, maka tidaklah pernah orang dari Lebong itu mengatakan tentang orang Selawai, Tetapi mereka tetap mengenal Bengkulu Selatan, Seluma, Kaur itu Sebagai ORANG SERAWAI bukan Selawai
4. Adapun Kisah Puteri Tenggang dan Semidang Empat Dusun itu adalah Kisah Legenda Serunting Sakti yang tidak pernah menyebutkan tentang Asal Muasal Nama dan Kata Serawai.
Tetapi Jika ada yang mengatakan Semidang Empat Dusun, Semidang Alas, Maras itu adalah Bagian dari Serawai maka itu adalah BENAR, Karena KERIAU NGIDAP atau BIRIANG KECIAK BIN REMINDANG yang bermakam di Jambat Akar adalah Saudara dari Kakek Ramau Ratu Minak Kerta Bumi dari SERAWAI
Definisi Serawai
Kata Serawai sendiri masih belum jelas artinya, sebagian orang mengatakan bahwa Serawai berarti "satu keluarga", hal ini tidak mengherankan apabila dilihat rasa persaudaraan atau kekerabatan antar sesama suku Serawai sangat kuat (khususnya mereka yang menumpang hidup di komunitas suku bangsa lainnya/merantau). Selain itu ada pula tiga pendapat lain mengenai asal kata Serawai, yaitu:
- Serawai berasal dari kata Sawai yang berarti cabang. Cabang di sini maksudnya adalah cabang dua buah sungai yakni sungai Musi dan sungai Seluma yang dibatasi oleh bukit Campang;
- Serawai berasal dari kata Seran. Kata Seran sendiri bermakna celaka, hal ini dihubungkan dengan legenda anak raja dari hulu yang dibuang karena terkena penyakit menular. Anak raja ini dibuang ke sungai dan terdampar di muara, kemudian di situlah anak raja tersebut membangun negeri.
- Serawai berasal dari kata selawai yang berarti gadis atau perawan. Pendapat ini berdasarkan pada cerita yang mengatakan bahwa suku Serawai adalah keturunan sepasang suami-istri. Sang suami berasal dari Rejang Sabah (penduduk asli pesisir pantai Bengkulu) dan istrinya adalah seorang putri atau gadis yang berasal dari Lebong. Dalam bahasa Rejang dialek Lebong, putri atau gadis disebut selawai. Kedua suami-isteri ini kemudian beranak-pinak dan mendirikan kerajaan kecil yang oleh orang Lebong dinamakan Selawai.
Aksara Serawai
Suku bangsa Serawai juga telah memiliki tulisan sendiri. Tulisan itu, seperti halnya aksara Kaganga, disebut oleh para ahli dengan nama huruf Rencong. Suku Serawai sendiri menamakan tulisan itu sebagai Surat Ulu. Susunan bunyi huruf pada Surat Ulu sangat mirip dengan aksara Kaganga. Pada masa lalu para pemimpin-pemimpin suku Rejang dan Serawai dapat saling berkomunikasi dengan menggunakan aksara tersebut.
Referensi
- ^ "Serawai (suku)". kbbi.kemdikbud.go.id. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 17 Juni 2021.
Serawai merupakan suku bangsa yang mendiami daerah-daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu.
- Dr. Zulyani Hidayah. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015, pp. 349-350: Serawai ISBN 978-979-461-929-2