Songkok

penutup kepala khas dinasti Song
Revisi sejak 3 Juli 2024 09.41 oleh Inufact (bicara | kontrib) (merapikan typo)

Songkok atau kopiah adalah topi umat Islam Nusantara yang berasal dari Jawa dipakai di Indonesia, Brunai, Malaysia, Singapura, Filipina selatan, dan Thailand selatan, paling umum di kalangan pria Muslim. Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia, songkok adalah penutup kepala kaum lelaki yang terbuat dari bahan kain beludru.[1] Di Indonesia, peci Songkok juga diasosiasikan dengan gerakan nasionalis.[2]

Sukarno memakai songkok
Gambar resimen Melayu memakai songkok ketika latihan

Nama lain

Songkok atau Sungkuk mengadopsi sebutan dari topi mahkota bangsawan Jawa yaitu Teng Kuluk atau Teng Kulok. Sedangkan di Jawa pedesaan disebut "kopiah" atau "kopeah".[3] Ini juga dikenal luas di Indonesia sebagai "peci", meskipun peci memiliki bentuk yang lebih elips dan kadang-kadang dihiasi.[4]

Sejarah

Awalnya disebut ketopong songkok sebuah topi mahkota beludru dihiasi orenamen emas yang merupakan mahkota Raja Majapahit. Kemudian turut digunakan oleh raja-raja Jawa yang disebut teng kuluk Jawa dengan bentuk lebih minimalis, Selanjutnya topi mahkota tetap digunakan pada kesultanan Demak, Kesultanan Mataram Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Kadipaten Pakualam, Kadipaten Mangkunegaran hingga digunakan oleh bupati-bupati serta bangsawan Jawa Madura Sunda pada era Kolonial Belanda.

Hingga pada ada seorang bangsawan dari Ponorogo yang melepas gelar bangsawannya, ialah Hos Tjokroaminoto yang kemudian menjadi Ketua Sarekat Islam. Menurutnya bangsa Indonesia sudah waktunya merdeka dan tidak tunduk kepada Kolonial maupun budaya Feodalisme, sehingga memodifikasi topi bangsawan Teng Kuluk Jawa menjadi lebih pendek tanpa ada hiasan warna emas sehingga dapat digunakan oleh masyarakat biasa, terutama anggota Sarekat Islam yang tersebar diseluruh Nusantara, topi hasil modifikasi Hos Tjokroaminoto disebut dengan Kupluk, maka dari itu mendapat julukan dari kolonial Belana sebagai De Ongekroonde Van Java yang berarti Raja Jawa Tanpa Mahkota.[1] [2]

Untuk memenuhi kebutuhan permintaan topi Songkok untuk anggota Sarekat Islam, Maka Hos Tjokroaminoto mengerahkan Sarekat Islam Afdeling Gresik untuk memproduksi Topi Songkok, hingga saat ini Gresik dikenal sebagai industri Songkok terbesar di dunia.[3]

Maka dari itu Soekarno yang menjadi murid dari HOS Tjokroaminoto meneruskan perjuangan dengan mengenakan Songkok sebagai simbol gerakan Nasionalis bangsa Indonesia, sehingga peci songkok mendapat sebutan Songkok Nasional.

Jenis Peci Songkok

Dikatakan sebuah peci songkok apabila berwarna hitam terbuat dari kain beludru, tetapi memiliki berbagai bentuk model seperti:

  1. Songkok Nasional atau Songkok polos, bentuknya lurus persegi panjang
  2. Songkok Susun, pada bagian tengah terdapat punuk seperti setengah lingkaran
  3. Songkok Perahu, pada bagian ujung peci lebih tinggi
  4. Songkok Tinggi, memiliki tinggi diatas 15 cm. Biasanya digunakan oleh Masyarakat Madura di Jawa terutama yang berada di Gresik, kemudian tren mengenkan Songkok tinggi diikuti Masyarakat Madura di Pulau Madura sebagai ciri khas.
  5. Songkok Kecil, memiliki tinggi songkok dibawah 7cm. Biasanya digunakan Masyarakat Panaragan.
  6. Songkok Mandarin atau Ceng Ho, merupakan kreasi baru dengan bentuk mirip songkok susun tetapi mengkerucut lancip segitiga
  7. Songkok Hias, memiliki orenamen dan motif yang menghiasi pada sisi peci Songkok, biasanya bordir benang untuk motif.
  8. Songkok Warna, menggunakan warna selain hitam. seperti warna merah yang lebih dikenal dengan songkok khas Betawi.

Catatan Lain

Kopiah (kupiah) dicatat digunakan pasukan khusus Majapahit (Bhayangkara), dicatat dalam Hikayat Banjar yang ditulis pada (atau tidak lama setelah) tahun 1663.[5]:181[6]:204[7] Kopiah direkam dalam catatan kosakata Italia-Melayu buatan Antonio Pigafetta tahun 1521 (terbit tahun 1524) sebagai cophia.[8]:132[9]:235 Kupiah tercatat dalam Hikayat Iskandar Zulkarnain, naskah aslinya ditulis sebelum tahun 1600 M:[10]:39

Maka tatkala memeliharakan disuruhnya anaknya memakai perhiasan seperti pakaian laki-laki dan dikenakan kepada kepalanya kupiah ros yang keemasan.

Salah satu akun surat kabar Brunei secara keliru menyatakan bahwa songkok menjadi umum di Kepulauan Melayu pada abad ke-13 dengan masuknya Islam di wilayah tersebut.[4] Dalam kesusteraan Melayu, kata "songkok" telah disebut dalam Syair Siti Zubaidah (1840) "...berbaju putih bersongkok merah...."[11]

Songkok juga dipakai oleh tentara dan polisi di Indonesia, Malaysia dan Brunei pada upacara-upacara tertentu.[12]

Referensi

  1. ^ "Arti kata songkok - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online". kbbi.web.id. Diakses tanggal 2022-04-26. 
  2. ^ Hendri F. Isnaeni (10 September 2010). "Nasionalisme Peci". Yahoo Indonesia News. Diakses tanggal 10 September 2010. 
  3. ^ Abdullah Mubarok (21 February 2016). "PDIP: Kopiah Bagian Dari identitas Nasional". Inilah.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 April 2016. Diakses tanggal 13 April 2016. 
  4. ^ a b Rozan Yunos (23 September 2007). "The origin of the songkok or 'kopiah'". The Brunei Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 December 2008. Diakses tanggal 13 April 2016. 
  5. ^ Ras, Johannes Jacobus (1968). Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography. The Hague: Martinus Nijhoff. )
  6. ^ Nugroho, Irawan Djoko (2011). Majapahit Peradaban Maritim. Suluh Nuswantara Bakti. ISBN 978-602-9346-00-8. 
  7. ^ Hikayat Banjar, 6.3: Maka kaluar dangan parhiasannya orang barbaju-rantai ampat puluh sarta padangnya barkupiah taranggos sakhlat merah, orang mambawa astenggar ampat puluh, orang mambawa parisai sarta padangnya ampat puluh, orang mambawa dadap sarta sodoknya sapuluh, orang mambawa panah sarta anaknya sapuluh, yang mambawa tumbak parampukan barsulam amas ampat puluh, yang mambawa tameng Bali bartulis air mas ampat puluh. (Lihat Ras 1968, hlm. 302)
  8. ^ Pigafetta, Antonio (1956). "Vocaboli de Questi Popoli Mori". Dalam Manfroni, Camillo. Relazione del primo viaggio intorno al mondo, Antonio Pigafetta, 1524. Istituto Editoriale Italiano. 
  9. ^ Bausani, Alessandro (December 1960). "The First Italian-Malay Vocabulary by Antonio Pigafetta". East and West. 11: 229–248 – via JSTOR. 
  10. ^ Hussain, Khalid Muhammad, ed. (1986). Hikayat Iskandar Zulkarnain (edisi ke-2). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa. 
  11. ^ Syair Siti Zubaidah MCP text
  12. ^ Journal of the Society for Army Historical Research. Society for Army Historical Research. 1996.