Delsy Syamsumar seorang pelukis “Neoklasik” Indonesia berasal dari Sungai Puar, Sumatra Barat. Pelukis kelahiran 7 Mei 1935 ini telah menampakkan bakat melukisnya sejak usia 5 tahun. Di waktu revolusi keluarganya memilih tinggal di Bukittinggi dimana Delsy melalui sekolah dasar dan menengah umum bahkan pendidikan agama Islam, ia selalu menonjol dalam pelajaran seni lukis dan menjadi juara pertama setiap sayembara di sekolah sekolah di Sumatera Barat.

Dalam usia 17 tahun Delsy telah mampu melukis komik berdasarkan sejarah dan karangan sendiri serta dikirimkan per pos ke majalah ibukota. Komik “Mawar Putih” tentang “Bajak Laut Aceh” dimuat di majalah “Aneka” membuat ia terkenal diseluruh Indoensia dalam usia muda.

Kalau perantau-perantau Minang umumnya mengadu nasib sebagai pedagang, maka Delsy di panggil ke Jakarta oleh penerbit dengan fasilitas cukup. Barulah ibunya mau melepas Delsy dan menginginkan Delsy jadi “terkenal(ahli gambar)” seperti Raden Saleh dan Basuki Abdullah. (Karena Delsy sejak di SD sudah dibelikan cat minyak oleh ayahnya yang pengukir Rumah Gadang) Meskipun Delsy terkenal sebagai pelukis komik, sejarah illustrator, Pers dan Penata visual dari sekian banyak Film nasional, ia tidak meninggalkan kanvas dan cat minyak.

Ilustrasinya banyak mendapat sambutan literature-literatur seni di Australia dan Perancis sebagai pembuat kartun pers dan cover cover novel Indonesia dan di perfilman sebagai Art Director senior, memenangkan penghargaan Festival Nasional dan Asia. Disanggarnya selain mendidik pelukis pelukis muda berbakat juga membimbing mereka menjadi tenaga perfilman handal (peraih Piala Film dan Sinetron). Pameran tunggal delsy di tahun 1985 di Balai Budaya dianggap kejutan nasional karena gaya cat minyaknya selaras membawakan ilustrasinya yang telah terlebih dahulu dikenal, ekspresif dan ekstensial dan selalu di ingat orang (pengamat Seni Rupa Agus Darmawan T. dalam “Suara Pembaharuan”)

Khas lukisan Delsy banyak dianggap terletak pada kemahirannya melukiskan wanita. Namun sebenarnya kemampuan melukiskan ekpresi dan gerak tokoh-tokohnya yang komunikatif dengan pemandangan karyanya. Namun dalam melukiskan wanita, pengamat karyanya itu mengambil kesimpulan bahwa anatomi wanita-wanita dalam kanvas Delsy bagai menemukan “medan yang tepat dan kuat” menangkap daya hidup. Sudut pandang lukisan Delsy terkadan filmis, karena ia juga orang film. Komposisisnya terletak enak seperti sudut kamera.

Pameran tunggal Delsy pernah diadakan di Hotel Indonesia, Gedung Kesenian Jakarta. Ia juga pernah surprise dengan keberhasilan menjual lukisan nya sebagai lukisan termahal di TIM waktu itu. Pada pameran-pameran bersama di Balai Budaya pada pra reformasi, lukisan-lukisan Delsy selalu rekor dalam diminati para kolektor. 1992 pernah pameran bersama dengan Basuki Abdullah.

Dunia film telah membenamkan delsy cukup lama dalam kreatifitasnya dan puncaknya menjadi Art director di beberapa film legenda Indonesia, antara lain “Saur Sepuh”. Terlalu lama mendalami dunia film yang bertema legenda sejarah mendorong kreativitas Delsy didalam melukis banyak bertemakan legenda dan sejarah, termasuk didalamnya merekam perjuangan bangsa Indonesia disekitar tahun 1945. Karya beliau antara lain: Sentot Alibasya Prawiradirdja (cergam), Gadjah Mada (Cergam), Christina Maria Tiahahu (cergam) dan beberapa lukisan yang menggambarkan Heroisme Cut Mutia, Kereta Api terakhir Yogyakarta, Sepasang mata bola, Dapur Umum dan karya terakhirnya ditahun 2000 diakui kolosal “Gelar Perang Sentot Alibasya Prawiradirdja.

Bio Data

  • Nama: Delsy Syamsumar
  • Tempat/tanggal lahir: 7 mei 1935 : Lahir di Medan Asal Minang (Sungai Pua) Sumatra Barat.
  • 1945 - 1949 : Basis pendidikan dari guru Arifin Zainun Exs INS Kayu Tanam 1950 –
  • 1954 : Bergabung dalam SEMI (seniman Muda Indonesia) d/p Zetka dan A.A. Navis. Menjuarai berturut turut lomba melukis
  • 1954 : Dipanggil ke Jakarta oleh penerbit, untuk mengarang dan melukis komik
  • 1955 – 1959 : Mendapat sambutan baik dariinstansi PP&K seluruh Indonesia mengenai komik sejarah Pahlawan. Tergabung dalam “Seniman Senen” orang orang Film, teater dan pers melibatkannya kerja di panggung, dapur film dan kewartawanan sekaligus illustrasi di berbagai majalah dan Surat Kabar. Mendapat sambutan baik Instansi PP&K dan Japen hampir dari seluruh Indonesia mengenai serial “Komik Sejarah Pahlawan Tanah Air
  • 1960 : Pertama sekali sebagai Art Director film
  • 1961 : Mendapat penghargaan kritisi melukis credit title film perfini “Pejuang” dalam bentuk sketsa
  • 1962 : Sebagai Art director film “Holiday in Bali”. Persari memenangkan dekor tata warna terbaik dalam Festival Film Asia, Tokyo. Memenangkan hadiah I sayembara karikatur PWI.
  • 1964 – 1966 : Dekorator Hotel Indonesia d/p Teguh Karya.
  • 1966 – 1970 : Sebagai wartawan dan illustrator tetap majalah “caraka” Ditpom, Memperoleh predikat “I’exellent Dessinateur” (lecture seni Paris)
  • 1970 – 1978 : Kembali sebagai Art Director Film. Mempelopori teknik cetak poster film dan majalah (“Lavita”, “Variasi” dan “Kartini”)
  • 1978 – 1982 : Terpilih jadi wakil ketua kelompok seluruh Art Director Film dan Televisi (KFT), sebagai art director film “Buaya Deli” yang mendapat penghargaan latar belakang sejarah.
  • 1982 : Terpilih jadi wakil ketua “Yayasan Bengkel Seni”
  • 1983 : Menata artistik 3 film (Jayaprana” dll). Ikut pameran ikatan illustrator Indonesia, Menjadi Art Director untuk Film legenda Saur Sepuh (seri 3,4,5)
  • 1985 - 1986  : Pameran tunggal di Balai Budaya – Sarinah – TIM (surprise nasional) * 1991  : Masuk nominasi artistic film “Saur Sepuh” bersama El Badrun (FFI 1991)
  • 1992 - 1994  : Training animasi film kartun. Pameran lukisan bersama Basuki Abdullah. Pameran Tunggal Hotel Indonesia, Gedung kesenian.
  • 1995  : Sebagai Production Designer beberapa sinetron Televisi.
  • 1996  : Supervisor artistik dan arkeologi film kolosal Fatahilah.
  • 1997-1998  : Pameran-pameran bersama di balai budaya – Menteng Parada dan lain lain.
  • 1999 - : Diusia 64 menyatukan kreasi pada melukis cat minyak.
  • 2000  : Menyelesaikan karya kolosal : Gelar Perang Sentot Prawirodirjo.
  • 2002 : Awal tahun 2002 sebagai aksi sosial bantuan bencana alam di Bengkulu dengan meneruskan goresanan Abdul Rahman Wahid (Gusdur) dan Megawati sebagai Presiden dan Wakil Presiden Reformasi. Dimana lukisan ini dilelang sebagai sumbangan bencana Bengkulu.
  • 2002 : tepat tanggal 7 Juni 2002 Delsy Syamsumar dipanggil Yang Maha Kuasa, dimakamkan di TPU Klender.

Prestasi

Delsy Syamsumar adalah pelukis dengan segudang prestasi mulai dari cergamis Unggul, Art Director Film Legenda Indonesia seperti Saur Sepuh dan film sejenisnya, yang terakhir berpredikat sebagai pelukis neo klasik. Predikat ini muncul karena kecendrungannya melukis dengan tema klasik dan teknik modern.

Dimulai Dengan Komik

Bergaya, ekspresip dan romantik. Itulah cirri lukisan-lukisan komik ciptaan Delsy Syamsumar di awal kariernya yang sekaligus mengkatrol popularitasnya dalam usia masih belasan. Pasukan Sentot Alibasya bermonouver mengacaukan resimen Jenderal Vol Jett dekat selarong, sementara pasukan besar Diponegoro menyerbu Yogyakarta. Atau Srikandi Ambon Martha Tiahahu berhasil menbakar kapal Belanda, lalu dengan gesitnya berayun di tempali sambil “menggigit pedang”. Apa boleh buat fantasi Delsy dengan argumentasi sejarah cukup cukupan dan kecanduannya nonton film-film Amerika semacam “Aphace atau “ The buccaneer” mungkin, telah menghadirkan suatu temperamen yang khas dalam pertumbuhan ilustrasi penerbitan kita kemudian, menjadikannya “applied illustrator” pertama yg digandrungi begitu banyak publik pembaca di Tanah Air. Namun tentu saja didukung oleh bakat dan kemampuan ber improvisasi melukiskan ekspresi dan situasi yang merupakan dinamika cirri lukisan-lukisannya hingga di akhir hayatnya, ilustrasi maupun cat minyak.

Seniman Senen

Delsy alias Dalasi Syamsumar asal Minang berada di Senen Jakarta sekitar 1955, bukannya berdagang di kaki lima, malah melongo sepanjang malam di warung kopi menyimak diskusi-diskusi “Seniman Senen” berkepanjangan, melalui tahun-tahun yang panjang pameo kelompok seniman gondrong yang terusir dari warung ke warung itu, hingga berkali-kali terpaksa mangkal di trotoar dan pom bensin. Agaknya tidak diharapkan oleh guru-gurunya melukis cat minyak ex. INS Kayutanam di Sumatera Barat yang menjagoinya untuk terus di ASRI jogja agar menjadi Delacroix atau Goya yang “momentum schilderij” kata gurunya. Delsy sendiri tidak mengerti apa itu. Malah ia lebih paham kemudian omongan rekan-rekan senior orang-orang film dan teater atau wartawan di senen seperti ceramah Misbach tentang neo realisme Italia, teater Ibsen dan Lorca bahas W. Sihombing, Sukarno M. Noor dan Wim Umboh, lalu hal pers film oleh Zulharmans sampai debat keras mengenai batu cincin Wahid Chan. Biasanya Delsy memang jarang bicara apa-apa, cukup mojok dengan sobatnya Harmoko dan Khaidir sambil corat-coret di kertas bekas atau balikin bungkus rokok. “Awas ada BKM liwat!” semua terkesima, melihat satu keluarga dalam beca, bapak, ibu, anak semua berkacamata. “Barisan Kaca Mata” kata Harmoko. Suasana Riuh. “Senen…Senen tercinta!” tulis bait sajak Misbach atau memori sketsa Delsy ini merekam ekspresi Alm. Bintang Film Wahid Chan dan kesibukan pedagang sayur pukul empat pagi di kertas bekas yang dikorek dari Lumpur stasiun. “Inilah neo realisme Indonesia, lukisan-lukisan Lumpur!” teriak sobatnya lagi.

Story Board

Gatal tangannya bikin sketsa dari sketsa masyarakat dan mungkin ikut berkubang di lumpurnya, barangkali telah makin memantapkan Delsy pada pelukisan karakter bangsa sendiri yang juga penuh “Action”, keuletan, kesatrian, sok jago, licik atau kecantikan yang pasrah dan bebal. Namun komplikasi gatal tangannya telah meningkat pada realismu bahkan karikatural, seperti komiknya sesudah itu mengangkat drama sobatnya seperguruan Motinggo Busye “Malam Jahanam” yang senafas dan ketika itu masih mondar mandir Malioboro-Pasar Senen. Pengulangan versi Pangeran Diponegoro dalam komik berwarna Delsy kemudian percuma saja. Pangeran itu sebenarnya memang tidak menyerah di Magelang, tapi kalah total di pemasaran komik menyaingi “Pangerannya Cinderella” atau pahlawan baru “Superman”. Tetap dalam lingkaran rekan yang itu-itu juga dalam diskusi nasib Delsy pernah di ajak Sihombing dan Sukarno M. Noor bikin dekor panggung musikal, lalu Sitompul suruh bikin kritik film dalam karikatur artis untuk koran mingguan sampai 1963. Teguh Karya kemudian menarik Delsy ke sanggar Karya Hotel Indonesia untuk dekor entartaiment sampai 1966. Namun Misbach lah yang menobatkan jadi Art director film mulai “Holiday in Bali” yang memenangkan dekor tata warna terbaik festival Asia, Tokyo. Ini diteruskan oleh sobatnya Motinggo Busye lagi, yang sutradara mulai 1969, dan mencoba sistem story-board Delsy (semacam komik) untuk pengarahan yang tepat adegan penting di film. Ini sangat membantu rekan-rekannya sutradara lain pula.

Ilustrasi

Meledaknya novel-novel Motinggo Busye sekitar tahun 70 an membuat Delsy ikut membludak kata pers gossip di Tanah Air. Bila lektur-lektur di Perancis mengenai pengarang-pengarang di Indonesia, tak luput menyebut “I’exellent dessinatur Delsy Syamsumar” terutama untuk illustrasi-illustrasi untuk Motinggo Busye sesuai dengan tuntutan cerita, maka penerbitan gossip yang tadinya menyorot artis film, dengan popularitas Delsy melihat peluang lain untuk meningkatkan oplag. Disinyalir bahwa illustrasi-illustrasi Delsy yang sexy identik dengan wanita-wanita, isteri atau modelnya yang silih berganti meninggalkannya. Beberapa Koran dan majalah mingguan saling mengutip, dan polemik tak dapat dihindarkan termasuk karikatur Delsy sendiri mempertahankan diri. Dia bukan artis film, malah kuli film, katanya. Ia bukan milioner Picasso yang mampu memelihara banyak model bantahnya. Setelah kegaduhan ranjangnya ini memuncak pula jadi problem kode etik pers nasional (ditutup oleh topik majalah “Tempo” Desember 1973), maka kehidupan Delsy yang selalu stabil dalam kesulitan, suksesnya itu malah sebagai pelengkap penderita.

Pra Design

Kegatalan Tangan membuat poster film langsung oleh Delsy telah dimulai sejak ikut mendekor Film. Usmar Ismail Sendiri juga memesan langsung poster pertama “Pejuang” kepada Delsy untuk diteruskan oleh studio poster biasa. Dengan sanggar pertama bekas garasi sepeda yang terletak di pusat republik ini, di Menteng Raya untuk bekerja, Delsy lebih tertarik membuat eksperimen-eksperiment poster, kerja artistic, dan sebagainya, daripada membuat biro reklame yang selalu gagal. Namun ciptaan-ciptaan merek terkenal seperti logo pesawat terbang “Bouraq”, majalah jantung “Sartika” dan yang paling terkenal logo huruf majalah “Kartini” adalah gaya Delsy dalam eksperiment huruf. Eksperimen huruf berbentuk rumah minang yang dikirimnya buat Koran “Singgalang” di padang ditiru mulai dari hotel, restoran-restoran Padang, para tailor sampai gerobak-gerobak sate Padang diseluruh pelosok Tanah Air. Untuk kalender dan poster temple serta brosur, gaya Delsy dikenali di puskesmas dari peringatan digigit nyamuk sampai burut dan penyakit kaki gadjah. Imaginasi lukisannya “”penggunaan minyak pertama dalam pertempuran laut Aceh” untuk pertamina dibicarakan sampai kini dalam peringatan ditemuinya minyak pertama di Indonesia. Teristimewa dalam eksperimen poster film (1 sheet), dalam peralihan dari cetak klise timah ke offset 1970. Delsy muncul dengan poster pertamanya yang di offset “Biarkan Musim Berganti” Penyutradaraan Motinggo Busye” Konon 1975 rekannya sejak di senen binta film komedi Alm, Mansursyah mengajaknya bikin perusahaan poster film secara serius. Tapi lapangan yang disediakan Mansur untuk Studio di Sention sering Banjir dan banyak kambing penduduk.

Tata Artistik Film

Suatu hari masih tahun 70 an, sebuah ledakan menembus genteng sanggarnya, percobaan untuk ledakan “sedang” yang harusnya dilakukan Rano Karno untuk film Busye “Usia Tujuh Belas” ternyata terlalu “keras” melenyapkan sepotong tangan staff Delsy di produksi Film. Jika tahun 50 – 60 an sanggar ini sering didatangi seniman senen, seniman ATNI dan pangkalan seniman dari Yogja seperti Idrus Ismail, M.Nizar, Sumantri, apalagi Motinggo Busye, maka sesudah 1970 sejumlah kader artistic film seperti Iman Tantaowi, El Badrun, Taslim dan lain-lain mulai belajar praktek disini dengan segala eksperimen. Terutama di film-film nasional sejak 1965, Delsy sebagai art director yang membawahi juru rias, decorator, penata pakaian, dan efek-efek tipuan, selalu lebih tekun untuk film-film realisme sepereti “biarkan musim berganti” atau film sejarah “buaya deli” dan lain-lain. Namun Delsy akhirnya bukanlah art director yang banyak di minta oleh produser. Terakhir di Bali 1983 untuk film “Jayaprana” versi baru, terlalu banyak menyita kesedihannya, katanya. Sebuah set perkampungan bali yang siap untuk adegan kebakaran, lebih dahulu harus diruntuhkan, karena ternyata izin shooting dari Deppen Jakarta belum di urus produser. Ketika itu sebuah telegram dari Padang menyatakan ibunya meninggal, kemudian dari KFT kehadiran anaknya sendiri sebagai juru rias dan mengawalnya karena sakit sakitan tidak dibenarkan karena status “Elsa” masih magang juru Rias, meskipun berbakat dan telah banyak magang di film. Dalam rapat KFT kemudian yang memutuskan skorsing buat Delsy, diakuinya ini suatu kesalahan dalam profesi. Melukis dan melukis selalu tumpuan Delsy merekam segala kegembiraan, ketegangan atau kesedihan. Itu berlaku sejak dulu coret coret di senen, lalu dipindahkan ke canvas cat minyak. Periode demi periode secara kronologis reproduksi lukisan-lukisan yang mewakilinya sebisanya ditampilkan disini.

Menjelang tahun 1970 Dunia seni rupa Indonesia pernah diguncang dengan munculnya manifestasi ilustrasi yang tertampilkan dengan ekpresif dan penuh gerak. Ilustrasi itu adalah karya Delsy Syamsumar. Seorang illustrator dan pelukis kelahiran Bukittinggi yang mengadu nasib keberuntungan seni di Jakarta. Dan karya ilustrasinya nampak di berbagai majalah serta buku cerita bahkan dalam bentuk komik.

Jojing Lukisan ini bisa dianggap terbaik Delsy dalam karya cat minyaknya, bukan Cuma pada kebinalan wanita montok berjoget yang digambarkan, tetapi juga pada isi yang ingin disampaikan. Seperti sebuah karya realisme sosial. Jojing bercerita tentang seorang lurah yang sedang mengadakan pesta hura-hura untuk menyertai penandatanganan surat tanah seharga ratusan juta rupiah. Disini segala keseronokan wanita wanita Delsy bagai menemukan medan yang kuat menggenggam daya hidup. Tak tepat benar apabila mau membandingkan dengan realisme Sudjojono yang berani terus terang menguak dunia kelam seperti itu. Kehidupan yang unik dalam bidang kanvas Seni Rupa Indonesia.. Bila dikaitkan dengan gaya penuturan spontan serta ekspresitas-kegarisan yg menggebu, sekilas pintas ada satu dua lukisan potret wanitanya dengan manifestasi Antonio Blanco, pelukis kelahiran Spanyol yg menetap di Bali. Namun Delsy Syamsumar masih kuat berdiri pada dirinya sendiri. Dengan terus mengorek dan menekuni gaya tutur yang dibawa dunia ilustrasinya, lukisan lukisannya berusaha memadatkan pribadi khas, penuh gerak dan kemelut tersebut.

Syamsumar meninggal pada tanggal 7 Juni 2001.