Suraprabhawa

Revisi sejak 11 Juli 2024 00.49 oleh Nusantara1945 (bicara | kontrib) (perbaikan pengetikan)

Suraprabhawa atau Singhawikramawardhana Dyah Suraprabhawa atau Bratanjung atau Sri Mokta ring kedhaton atau Bhre Pandan salas II (Brawijaya IV)

Suraprabhawa
Sri Adi Suraprabhawa Singhawikramawardhana Giripati Pasutabhupati Ketubhuta
Maharaja Majapahit ke 10
Berkuasa Majapahit (1466-1468)
PendahuluGirishawardhana
PenerusBhre Kertabhumi
KelahiranDyah Suraprabhawa
Kematianc. 1474
PasanganRajasawardhanadewi Dyah Sripura, Bhre Singhapura
Keturunan
Nama takhta
Pāduka Çri Mahārāja Rājādhirājā Prajaikanātha Çrimacchrī Bhattarā Prabhu Dyah Suraprabhāwa Çri Singhawikramawarddhana
AyahWijayaparakramawardhana Dyah Kertawijaya
IbuJayawardhanī Dyah Jayeswari, Bhre Daha

adalah maharaja Majapahit yang memerintah tahun 1466-1468, bergelar Sri Adi Suraprabhawa Singhawikramawardhana Giripati Pasutabhupati Ketubhuta. Tokoh ini identik dengan Bhre Pandansalas dalam Pararaton yang naik takhta tahun 1466.

Asal-usul Suraprabhawa

Dyah Suraprabhawa juga dianggap identik dengan Bhre Pandansalas, tercatat namanya dalam prasasti Waringin Pitu (1447) sebagai putra ke 3 Dyah Kertawijaya. Istrinya bernama Rajasawardhanadewi Dyah Sripura yang identik dengan Bhre Singhapura. Peninggalan sejarah Suraprabhawa setelah menjadi raja berupa prasasti Pamintihan tahun 1473.

Dalam Pararaton ditemukan beberapa orang yang menjabat sebagai Bhre Pandansalas. Yang pertama adalah Raden Sumirat putra Raden Sotor (saudara tiri Hayam Wuruk). Raden Sumirat bergelar Ranamanggala menikah dengan Surawardhani adik Wikramawardhana. Dari perkawinan itu lahir Ratnapangkaja, Bhre Mataram, Bhre Lasem, dan Bhre Matahun. Ratnapangkaja kemudian kawin dengan Suhita (raja wanita Majapahit, 1427-1447) putri Wikramawardhana. Bhre Pandansalas yang pertama tersebut setelah meninggal dicandikan di Sri Wisnupura di Jinggan.

Bhre Pandansalas yang lain diberitakan menjadi Bhre Tumapel, kemudian menjadi raja Majapahit tahun 1466. Istrinya menjabat Bhre Singhapura, putri Bhre Paguhan, putra Bhre Tumapel, putra Wikramawardhana.

Diberitakan dalam Pararaton, setelah Bhre Pandansalas menjadi raja selama dua tahun, keponakannya Bhre Kertabhumi melakukan kudeta untuk mengambil alih kekuasaan pada tahun 1468.

Akhir Riwayat Kerajaan Majapahit

Pemberontakan Anak-Anak Sang Sinagara

Menurut Pararaton, pada tahun 1466 M, Girisawardhana dikabarkan wafat dan digantikan oleh Singhawikramawardhana Dyah Suraprabhawa, yang merupakan adik dari Giriśawardhana Dyah Suryawikrama. Hal ini menyebabkan kekecewaan anak-anak Rājasawardhana Sang Sināgara, diantaranya Bhre Kahuripan Sang Munggwin Jinggan, Bhre Mataram Dyah Wijayakusuma, Bhre Lasem, Bhre Pamotan, dan yang bungsu Bhre Kretabhūmi Dyah Raņawijaya untuk pergi atau minggat dari kedaton (sah saking kadaton) pada tahun 1468 M, kemudian mereka mendirikan benteng pertahanan di Jinggan. Hal ini berpuncak pada tahun 1478 M, berdasarkan prasasti Sidotopo dan prasasti Petak mereka berlima pun menyerang kedaton yang dibantu oleh Śrī Brahmārāja Ganggadhara. Perlawanan inilah yang membuat Suraprabhawa gugur di kadaton, lantas menjadi akhir riwayat dari Kerajaan Majapahit. Selanjutnya menurut Suma Oriental, yang menggantikan Suraprabhawa sebagai raja Wangsa Rajasa ialah Batara Mataram/Bhre Mataram, putra Batara Sinagara yang dalam prasasti Jiyu III memiliki gelar, Śrī Mahārāja Bhatāre Kling Girīndrawarddhana Dyah Wijayakusuma Śrī Singhawarddhana, yang kemudian memindahkan ibukota ke Kĕling/Daha/Kadhiri.[1][2] :

bhre paṇḍan salas añjĕnĕng ing tumapĕl, anuli prabhu i śaka brahmana-naga-kaya-tunggal, 1388 (1466M), prabhu rong tahun. tumuli sah saking kaḍaton. putranira sang sinagara, bhre koripan, {Bhre Lasem{?}, bhre mataram, bhre pamotan, pamungsu bhre kṛtabhūmi, kapĕrnah paman, bhre prabhu sang mokta ring kaḍaton i śaka śunya-nora-yuganing-wong, 1400(1478M).

(Terjemahan Ibu Nia K.S. Irfan) :

Bhre Paṇḍan Salas menjadi Bhre Tumapĕl, kemudian menjadi bhre prabhu pada śaka brahmana-naga-kaya-tunggal, 1388 (1466M). Ketika ia baru bertakhta dua tahun, pergilah dari istana, anak-anak Sang Sinagara, yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, {Bhre Lasem{?}, Bhre Pamotan, dan yang bungsu Bhre Kṛtabhūmi, terhitung paman mereka, bhre prabhu yang meninggal di istana pada śaka śunya-nora-yuganing-wong, 1400(1478M).

(Terjemahan Bapak Hasan Djafar) :

Bhre Paṇḍan Salas menjadi Bhre Tumapĕl, kemudian menjadi bhre prabhu pada śaka brahmana-naga-kaya-tunggal, 1388 (1466M). Baru bertakhta dua tahun, kemudian pergi dari istana karena diserang anak-anak Sang Sinagara, yaitu Bhre Kahuripan, {Bhre Lasem{?}, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan yang bungsu, Bhre Kṛtabhūmi, terhitung paman Bhre Paṇḍan Salas, adalah bhre prabhu yang meninggal di istana pada śaka śunya-nora-yuganing-wong, 1400(1478M).

Hal ini berlawanan dengan tafsir bapak Hasan Djafar (1972, 1975), beliau menyebutkan Suraprabhawa, putra Girisawardhana bertakhta pada tahun 1466 M, baru bertakhta 2 tahun terusir dari kedaton/istana. Kemudian takhta Majapahit di ambil alih oleh Bhre Kretabhūmi (Paman nya) pada tahun 1468 M. Setelah terusirnya Suraprabhawa dari Majapahit, anak-anaknya, yaitu Girindrawardhana Dyah Raņawijaya dan Dyah Wijayakaraņa menyusun benteng untuk memerangi Bhre Kretabhūmi. Jadi, menurut beliau yang pergi dari istana adalah Suraprabhawa, bukan anak-anak Sang Sinagara. Pak Hasan Djafar (1972, 1975) kemudian menghubungkan berita dalam Pararaton dengan Prasasti Jiyu III yang dikeluarkan oleh seorang raja bernama Girīndrawarddhana Dyah Raņawijaya yang mengadakan upacara Śraddha 12 tahun meninggalnya Bhatāra ring Dahanapura, yang ditafsirkan sebagai ayahnya, Suraprabhawa. Beliau menjelaskan bahwa sesudah di usir dari Majapahit pada tahun 1468 M, ia kemudian pindah ke Daha sehingga berjuluk Bhatāra ring Dahanapura, dan pada tahun 1473 M mengeluarkan prasasti Pamintihan yang menyatakan diri sebagai satu-satunya raja agung yang memimpin rakyat. Kemudian pada 1474 ia meninggal dunia dan digantikan putranya Dyah Raṇawijaya sebagai penguasa Daha. Tokoh ini pun menyerang Majapahit, yang menyebabkan Bhre Kretabhūmi terbunuh di kedaton.[3] Belakangan teori ini dibantah oleh ibu Nia K. S Irfan (2008), yang mengidentifikasikan "Bhatāra ring Dahanapura, Sang Mokteng Indranibhawana" sebagai ibu dari Bhre Kretabhūmi Dyah Raņawijaya dan istri dari Rajasawardhana, yaitu Manggalawardhanī Dyah Suraghāriņī.

Kematian Suraprabhawa

Pararaton tidak menyebutkan dengan pasti kapan Bhre Pandansalas alias Suraprabhawa meninggal. Ia hanya diberitakan meninggal di dalam keraton, dan merupakan paman dari Bhre Kertabhumi.

Tahun kematian Suraprabhawa kemudian ditemukan dalam prasasti Trailokyapuri yang dikeluarkan oleh putranya, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya. Menurut prasasti tersebut, Suraprabhawa alias Singhawikramawardhana meninggal tahun 1474.[4]

Kemudian Dyah Ranawijaya menjadi raja Majapahit tahun 1474, ia mengaku sebagai pewaris tahta Singhawikramawardhana. Hal ini dapat diperkuat adanya unsur kata Giripati dalam gelar abhiseka Singhawikramawardhana yang sama artinya dengan Girindra, yaitu raja gunung.

Referensi

Didahului oleh:
Girishawardhana
Raja Majapahit
1466—1478
Diteruskan oleh:
Dyah Wijayakusuma
  1. ^ Heri Purwanto (2023) Pararaton: Biografi Para Raja Singhasāri-Majapahit
  2. ^ Nia K.S. Irfan (2008) Pararaton Revisited: Tafsir Baru Atas Sejarah Keluarga Majapahit
  3. ^ Hasan Djafar (1972) Girīndrawardhana: Beberapa Masalah Akhir Majapahit
  4. ^ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 448-451.