Pasukan Internasional Timor Timur

Revisi sejak 13 Juli 2024 15.18 oleh AABot (bicara | kontrib) (Mil)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

INTERFET (International Force East Timor, bahasa Indonesia: Pasukan Internasional Timor Timur) adalah satuan tugas penjaga perdamaian multinasional non-Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dibentuk dan dipimpin oleh Australia sesuai dengan resolusi PBB untuk mengatasi krisis kemanusiaan dan keamanan yang berlangsung di Timor Timur dari tahun 1999-2000 sampai kedatangan pasukan penjaga perdamaian PBB.[1] INTERFET dipimpin oleh perwira tinggi Australia, Mayor Jenderal Peter Cosgrove.

International Force East Timor
Nama lainINTERFET
PemimpinMayor Jenderal Peter Cosgrove
Waktu operasi20 September 1999 (1999-09-20)20 Februari 2000 (2000-02-20)
NegaraLihat daftar
Mematuhi Australia
StatusMenyerahkan komando operasi militer kepada UNTAET
Jumlah anggota11.500 personel (pada puncak penerapan)
Pertempuran dan perangKrisis Timor Timur 1999
Dilanjutkan oleh
UNTAET →
Presiden Indonesia BJ Habibie mengambil sumpah jabatan presiden pada 21 Mei 1998.
Xanana Gusmão, salah satu pemimpin gerakan kemerdekaan Timor Timur (gambar tahun 2002).
Mayor Jenderal Peter Cosgrove (kanan) komandan INTERFET.

Latar belakang

sunting

Indonesia menginvasi Timor Timur pada tahun 1975 dan menganeksasi bekas koloni Portugis tersebut. Aneksasi itu diakui oleh beberapa negara (termasuk Australia pada waktu itu) namun ditentang oleh banyak warga Timor Timur. Kekuatan asing mendukung langkah Indonesia dan sebagian besar enggan untuk membantu dorongan agar terjadinya kemerdekaan bagi Timor Timur. Menyusul jatuhnya Presiden Indonesia Soeharto, Presiden baru, BJ Habibie, siap untuk memberikan otonomi khusus bagi Timor Timur.[2]

Pada akhir 1998, Perdana Menteri Australia John Howard bersama dengan Menteri Luar Negeri Alexander Downer menulis surat kepada Habibie yang mendukung gagasan otonomi tetapi menyarankan agar Timor Timur diberikan kesempatan untuk menentukan nasibnya sendiri dengan mengadakan plebisit setelah otonomi cukup lama berlangsung.[3] Habibie marah dengan surat tersebut, namun ia menanggapinya dan mengumumkan referendum akan dilakukan dalam waktu enam bulan.[4]

Hal tersebut memicu reaksi kekerasan di Timor Timur dari milisi pro-Indonesia. TNI tidak melakukan intervensi untuk memulihkan ketertiban. Pada sebuah pertemuan di Bali, John Howard mengatakan kepada Habibie bahwa pasukan penjaga perdamaian PBB harus mengawasi proses. Habibie menolak usulan tersebut, karena itu akan menghina militer Indonesia.[5]

Referendum Otonomi Khusus Timor Timur

sunting

Misi PBB untuk Timor Timur (UNAMET) didirikan untuk menyelenggarakan dan melakukan referendum mengenai masalah kemerdekaan. UNAMET terdiri dari polisi dan pengamat. Referendum yang disponsori PBB diadakan pada tanggal 30 Agustus 1999 menunjukkan adanya persetujuan untuk kemerdekaan Timor Leste dari Indonesia. Setelah hasilnya diumumkan pada tanggal 4 September, bentrokan dan kekerasan terjadi, yang dicurigai karena dihasut oleh milisi anti-kemerdekaan, memicu krisis kemanusiaan dan keamanan di kawasan itu, pada hari yang sama Xanana Gusmão menyerukan Dewan Keamanan PBB untuk segera mengirimkan pasukan penjaga perdamaian PBB.[6] Banyak warga Timor Timur tewas, sebanyak 500.000 mengungsi dan sekitar separuhnya melarikan diri dari wilayah tersebut.[1]

Resolusi PBB

sunting

Kekerasan yang terjadi di Timor Timur menimbulkan kemarahan publik yang luas di Australia, Portugal dan di tempat lainnya. Para aktivis di Portugal, Australia, Amerika Serikat dan negara-negara lain menekan pemerintah mereka untuk mengambil tindakan. Juru Bicara Urusan Luar Negeri Oposisi Australia, Laurie Brereton, sangat vokal dalam menyoroti bukti keterlibatan militer Indonesia dalam kekerasan pro-integrasi dan menganjurkan penjaga perdamaian PBB untuk mendukung pemungutan suara Timor Timur. Gereja Katolik di Australia mendesak Pemerintah Australia untuk mengirim pasukan penjaga perdamaian bersenjata ke Timor Timur untuk mengakhiri kekerasan.[7]

Perdana Menteri Australia, John Howard mendapat dukungan dari Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan dan Presiden AS, Bill Clinton agar pasukan penjaga perdamaian internasional dipimpin oleh Australia untuk segera memasuki Timor Timur guna mengakhiri kekerasan disana. Amerika Serikat menawarkan sumber daya logistik dan intelijen, tetapi mereka tidak melakukan kekuatan untuk operasi. Akhirnya, pada 11 September, Bill Clinton mengumumkan:[8]

Saya telah membuat jelas bahwa kesediaan saya untuk mendukung bantuan ekonomi masa depan dari masyarakat internasional akan tergantung pada bagaimana Indonesia menangani situasi dari hari ini.

Indonesia, mengalah dalam kesulitan ekonomi yang mengerikan. Di bawah tekanan internasional untuk mengizinkan pasukan perdamaian internasional, Presiden Indonesia BJ Habibie mengumumkan pada 12 September bahwa ia akan melakukannya.[9] Dia mengatakan dalam konferensi pers:

Beberapa menit yang lalu saya menelepon Sekretaris Jenderal PBB, Mr Kofi Annan, untuk menginformasikan tentang kesiapan kita untuk menerima pasukan perdamaian internasional melalui PBB, dari negara sahabat, untuk memulihkan perdamaian dan keamanan di Timor Timur.

Pada 15 September 1999, Dewan Keamanan PBB menyatakan keprihatinan atas situasi yang memburuk di Timor Timur dan mengeluarkan Resolusi 1264 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyerukan pembentukan pasukan multinasional untuk memulihkan perdamaian dan keamanan di Timor Timur, serta untuk melindungi dan mendukung misi PBB di sana, dan untuk memfasilitasi bantuan operasional kemanusiaan sampai waktu pasukan penjaga perdamaian PBB bisa disetujui dan disebarkan di daerah.[10] Resolusi tersebut juga menyambut surat Australia yang menyatakan akan menerima kepemimpinan pasukan multinasional di Timor Timur dan berkontribusi banyak dalam pasukan tersebut.[11]

Negara-negara INTERFET

sunting

Australia menyediakan kontingen terbesar pasukan, perangkat keras dan peralatan untuk INTERFET dengan 5.500 personel lalu diikuti oleh Selandia Baru.[12] Selandia Baru mengirim 1.100 personel NZDF, dan hampir 4.000 orang Selandia Baru bertugas di Timor Timur. Ini adalah penyebaran militer di luar negeri terbesar Selandia Baru sejak Perang Korea. Logistik misi ini menjadi tantangan sendiri karena pasukan terdiri dari berbagai negara, Australia yang militernya belum terbiasa menjadi pemimpin koalisi internasional, dan kondisi geografi dan infrastruktur Timor Timur yang menylitkan pengiriman pasokan.

22 negara memberikan kontribusi terhadap INTERFET yang akhirnya tumbuh menjadi kekuatan yang terdiri dari lebih 11.000 personel. Negara-negara lain yang berkontribusi adalah (dalam urutan abjad), Amerika Serikat, Bangladesh, Brasil, Britania Raya, Filipina, Irlandia, Italia, Jerman, Kanada, Kenya, Korea Selatan, Malaysia, Norwegia, Pakistan, Prancis, Portugal, Singapura, Thailand.

Sebagian besar negara peserta diberikan Medali Pasukan Internasional Timor Timur oleh Pemerintah Australia.

Lihat pula

sunting

Catatan kaki

sunting

Referensi

sunting

Pranala luar

sunting