Perang Aceh–Belanda (1599)
Perang Aceh-Belanda adalah konflik antara Kesultanan Aceh dan Belanda yang terjadi karena Sultan Alauddin Riayat Syah tidak senang dengan perdagangan mereka
Perang Aceh–Belanda (1599) | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Bagian dari Ekspedisi Kedua Belanda ke Hindia Timur | |||||||
| |||||||
Pihak terlibat | |||||||
Kesultanan Aceh | Belanda | ||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||
Sultan Alauddin Riayat Syah Malahayati |
Cornelis de Houtman † Frederick de Houtman (POW) Paulus van Caerden Jacob Corneliszoon van Neck Laurens Bicker Gerard de Roy | ||||||
Korban | |||||||
beberapa kapal Aceh dibajak | lebih banyak |
Latar Belakang
Pada 22 Juni 1586, Cornelis de Houtman memimpin pelayaran pertamanya bersama empat buah kapal Belanda dan berlabuh di Pelabuhan Banten. Setelah kembali ke Belanda, pada pelayaran yang kedua, ia memimpin armada dagang Belanda yang juga dilengkapi dengan kapal perang. Hal itu dilakukan untuk menghadapi kontak senjata dengan Kesultanan Aceh pada 21 Juni 1599. Dua buah kapal Belanda bernama de Leeuw dan de Leeuwin yang dipimpin oleh dua orang bersaudara, Cornelis de Houtman den Frederick de Houtman, berlabuh di ibu kota Kesultanan Aceh. Pada awalnya, kedatangan rombongan tersebut mendapat perlakuan yang baik dari pihak kesultanan karena adanya kepentingan hubungan perdagangan.[1]
Pertempuran
Penyerangan Kapal Belanda
Sultan Alauddin Riayat Syah tidak senang dengan kehadiran rombongan tersebut dan memerintahkan untuk menyerang orang-orang Belanda yang masih ada di kapal-kapalnya. Ada dugaan bahwa sikap sultan tersebut banyak dipengaruhi oleh hasutan seseorang berkebangsaan Portugis yang kebetulan menjadi penerjemahnya. Serangan tersebut dipimpin sendiri oleh Laksamana Malahayati. Alhasil, Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh, sedangkan Frederick de Houtman tertangkap dan dimasukkan ke dalam penjara (selama 2 tahun).[2]
Penyerangan Belanda pertama
Pada 21 November 1600, rombongan bangsa Belanda yang dipimpin Paulus van Caerden datang ke Kesultanan Aceh Darussalam. Sebelum memasuki pelabuhan, rombongan ini menenggelamkan sebuah kapal dagang Aceh dengan terlebih dahulu memindahkan segala muatan lada yang ada di dalamnya ke kapal mereka.[3]
Penyerangan Belanda kedua
Setelah itu, datang lagi rombongan bangsa Belanda kedua yang dipimpin oleh Laksamana Jacob Corneliszoon van Neck. Mereka mendarat di Pelabuhan Aceh pada 31 Juni 1601. Mereka memperkenalkan diri sebagai bangsa Belanda yang datang ke Aceh untuk membeli lada. Setelah mengetahui bahwa yang datang adalah bangsa Belanda, Laksamana Malahayati langsung memerintahkan anak buahnya untuk menahan mereka. Tindakan tersebut mendapat persetujuan Sultan Alauddin Riayat Syah karena sebagai ganti rugi atas tindakan rombongan Belanda sebelumnya(Penyerangan Belanda Pertama).[4]
Pengajakan damai Belanda
Pada 23 Agustus 1601, tiba rombongan bangsa Belanda ketiga yang dipimpin oleh Komisaris Gerard de Roy dan Laksamana Laurens Bicker dengan empat buah kapal (Zeelandia, Middelborg, Langhe Bracke, dan Sonne) di Pelabuhan Aceh. Kedatangan mereka memang telah disengaja dan atas perintah Pangeran Maurits. Kedua pimpinan rombongan mendapat perintah untuk memberikan sepucuk surat dan beberapa hadiah kepada Sultan Alauddin Riayat Syah. Sebelum surat diberikan, sebenarnya telah terjadi perundingan antara Laksamana Malahayati dengan dua pimpinan rombongan Belanda. Isi perundingan tersebut adalah terwujudnya perdamaian antara Belanda dan Kesultanan Aceh, dibebaskannya Frederick de Houtman, dan sebagai imbalannya [[Belanda[[ harus membayar segala kerugian atas dibajaknya kapal Aceh oleh Paulus van Caerden (akhirnya Belanda mau membayar kerugian sebesar 50.000 gulden[5]